Tata Niaga Ayam Tak Sehat, Kementerian Perdagangan Diminta Turun Tangan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kementerian Perdagangan (Kemendag) diminta turun tangan membenahi tata niaga komoditas ayam di dalam negeri yang rantai distribusinya terlalu panjang. Pembenahan ini diperlukan untuk menyelamatkan para peternak ayam mandiri atau peternak ayam rakyat dari kerugian yang kian besar.
“Harus ada gebrakan dari Kemendag untuk memberi peringatan atau memanggil mereka yang bermain di rantai pasar ayam ini,” kata Ketua Dewan Pembina Gabungan Organisasi Peternak Ayam Nasional (Gopan) Tri Hardiyanto kepada SINDONEWS, Kamis (25/3/2021).
(Baca juga:Perusahaan Peternakan Ayam Cari Duit di Bursa Saham)
Tri Hardiyanto mengatakan selama ini terjadi praktik perdagangan ayam yang tidak sehat. Praktik yang tidak sehat itu terutama terjadi pada perdagangan ayam yang masih hidup.
Menurutnya, kondisi itu bermula ketika perusahaan besar di industri perunggasan nasional atau biasa disebut integrator menggunakan broker untuk menyuplai ayam hidup ke pasar becek (wet market) yang umumnya berada di pasar-pasar tradisional.
(Baca juga:Lupa Padamkan Api Tungku, Rumah-Peternakan Ayam di Cimahi Jadi Abu)
“Ironisnya, mereka membuat kondisi di pasar perunggasan nasional itu layaknya bottle nect. Di kandang, ayam hidupnya itu tidak terkendali, tapi broker membuat supply di pasar yang dia kuasai dia kendalikan,” ujarnya.
Broker ayam ini, kata Tri Hardiyanto, memiliki lima rantai distribusi. Mulai dari pedagang besar, penangkap ayam kecil, pemotong kecil, selanjutnya ke pelapak.
(Baca juga:Dugaan Kartel Harga Bibit Ayam, Peternak Rugi Rp5,4 Triliun)
Menurut Tri Hardiyanto, harga di lapak selalu tinggi, tidak mengikuti jatuh bangunnya harga ayam di kandang. “Makanya jangan heran ibu-ibu beli ayam di pasar tradisional Rp35.000 per kg, sementara kami di kandang teriak-teriak harga ayam jatuh hanya Rp10.000,” katanya.
Perlu diketahui bahwa sekitar 80% populasi ayam di Indonesia itu diperdagangkan dalam kondisi hidup untuk menyuplai ke wet market. Karena diperdagangkan dalam kondisi hidup, posisi tawar peternak mandiri memang sangat lemah.
(Baca juga:Agar Harga Tak Menggelepar, Kementan Kendalikan Pasokan Ayam Hidup)
Apabila ayam yang ada dikandangnya tidak dibeli pedagang di hari itu, maka peternak akan menanggung kerugian. Sebab dia akan menanggung biaya pakan yang besar. Di mana dalam budidaya perunggasan, biaya untuk pakan itu mencapai 70% dari total biaya produksi.
“Sehingga mau tidak mau biasanya peternak itu menjual ayamnya walaupun dia harus jual rugi atau jual impas,” kata Tri Hardiyanto.
(Baca juga:Komisi VI DPR Minta Kebijakan GPS Ayam Broiler Sesuai PP 5/2021)
Tri Hardiyanto mengatakan, broker yang diberikan kekuasaan oleh integrator untuk menyuplai ayam ke pasar itulah yang mengacaukan harga ayam di masyarakat. Di pihak peternak ayam mandiri mengalami kerugian, lantaran ayamnya dihargai murah. Sementara broker tersebut bisa menjual ayam ke masyarakat dengan harga yang tinggi.
Over supply
Bagi peternak mandiri, dirinya merasakan kerugian paling besar itu pada tahun 2019. Setahun kemudian, yakni di 2020 kondisinya sendikit membaik, walaupun di kalangan peternak ayam mandiri ada yang mengalami kerugian juga.
Tahun ini, mereka berharap kondisinya akan lebih baik dibandingkan dengan di dua tahun belakang ini. Harapan itu menyusul mulai pulihnya kondisi perekonomian seiring dengan dilakukannya vaksinasi Covid-19 kepada masyarakat.
(Baca juga:Curhat Peternak Ayam Rakyat Nasional, Dua Tahun Rugi Rp5,4 Triliun)
Sejatinya pangkal persoalan kerugian peternak mandiri itu lantaran terjadi kelebihan pasokan (over supply) ayam ke masyarakat pada 2019. Di satu sisi pasokan melimpah yang mengakibatkan harga ayam turun, di sisi lain harga sarana produksi peternakan (sapronak) melonjak.
Tahun 2019 ada kebijakan afkir dini yang digulirkan Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) Kementerian Pertanian (Kementan). “Tapi itu tidak menolong karena harga sapronak sudah kelewat tinggi,” katanya.
(Baca juga:Jabar Butuh 400 Apartemen Ayam Demi Penuhi 2 Juta Ekor Ayam)
Perlu diketahui bahwa biaya sapronak yang terdiri dari biaya DOC (day old chicken), pakan dan obat-obatan itu mencapai 80% dari total produksi peternakan ayam. “Bagaimana kami bisa untung kalau biaya sapronak kelewat tinggi, sementara harga jual ayam dihargai rendah sekali,” katanya.
“Harus ada gebrakan dari Kemendag untuk memberi peringatan atau memanggil mereka yang bermain di rantai pasar ayam ini,” kata Ketua Dewan Pembina Gabungan Organisasi Peternak Ayam Nasional (Gopan) Tri Hardiyanto kepada SINDONEWS, Kamis (25/3/2021).
(Baca juga:Perusahaan Peternakan Ayam Cari Duit di Bursa Saham)
Tri Hardiyanto mengatakan selama ini terjadi praktik perdagangan ayam yang tidak sehat. Praktik yang tidak sehat itu terutama terjadi pada perdagangan ayam yang masih hidup.
Menurutnya, kondisi itu bermula ketika perusahaan besar di industri perunggasan nasional atau biasa disebut integrator menggunakan broker untuk menyuplai ayam hidup ke pasar becek (wet market) yang umumnya berada di pasar-pasar tradisional.
(Baca juga:Lupa Padamkan Api Tungku, Rumah-Peternakan Ayam di Cimahi Jadi Abu)
“Ironisnya, mereka membuat kondisi di pasar perunggasan nasional itu layaknya bottle nect. Di kandang, ayam hidupnya itu tidak terkendali, tapi broker membuat supply di pasar yang dia kuasai dia kendalikan,” ujarnya.
Broker ayam ini, kata Tri Hardiyanto, memiliki lima rantai distribusi. Mulai dari pedagang besar, penangkap ayam kecil, pemotong kecil, selanjutnya ke pelapak.
(Baca juga:Dugaan Kartel Harga Bibit Ayam, Peternak Rugi Rp5,4 Triliun)
Menurut Tri Hardiyanto, harga di lapak selalu tinggi, tidak mengikuti jatuh bangunnya harga ayam di kandang. “Makanya jangan heran ibu-ibu beli ayam di pasar tradisional Rp35.000 per kg, sementara kami di kandang teriak-teriak harga ayam jatuh hanya Rp10.000,” katanya.
Perlu diketahui bahwa sekitar 80% populasi ayam di Indonesia itu diperdagangkan dalam kondisi hidup untuk menyuplai ke wet market. Karena diperdagangkan dalam kondisi hidup, posisi tawar peternak mandiri memang sangat lemah.
(Baca juga:Agar Harga Tak Menggelepar, Kementan Kendalikan Pasokan Ayam Hidup)
Apabila ayam yang ada dikandangnya tidak dibeli pedagang di hari itu, maka peternak akan menanggung kerugian. Sebab dia akan menanggung biaya pakan yang besar. Di mana dalam budidaya perunggasan, biaya untuk pakan itu mencapai 70% dari total biaya produksi.
“Sehingga mau tidak mau biasanya peternak itu menjual ayamnya walaupun dia harus jual rugi atau jual impas,” kata Tri Hardiyanto.
(Baca juga:Komisi VI DPR Minta Kebijakan GPS Ayam Broiler Sesuai PP 5/2021)
Tri Hardiyanto mengatakan, broker yang diberikan kekuasaan oleh integrator untuk menyuplai ayam ke pasar itulah yang mengacaukan harga ayam di masyarakat. Di pihak peternak ayam mandiri mengalami kerugian, lantaran ayamnya dihargai murah. Sementara broker tersebut bisa menjual ayam ke masyarakat dengan harga yang tinggi.
Over supply
Bagi peternak mandiri, dirinya merasakan kerugian paling besar itu pada tahun 2019. Setahun kemudian, yakni di 2020 kondisinya sendikit membaik, walaupun di kalangan peternak ayam mandiri ada yang mengalami kerugian juga.
Tahun ini, mereka berharap kondisinya akan lebih baik dibandingkan dengan di dua tahun belakang ini. Harapan itu menyusul mulai pulihnya kondisi perekonomian seiring dengan dilakukannya vaksinasi Covid-19 kepada masyarakat.
(Baca juga:Curhat Peternak Ayam Rakyat Nasional, Dua Tahun Rugi Rp5,4 Triliun)
Sejatinya pangkal persoalan kerugian peternak mandiri itu lantaran terjadi kelebihan pasokan (over supply) ayam ke masyarakat pada 2019. Di satu sisi pasokan melimpah yang mengakibatkan harga ayam turun, di sisi lain harga sarana produksi peternakan (sapronak) melonjak.
Tahun 2019 ada kebijakan afkir dini yang digulirkan Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) Kementerian Pertanian (Kementan). “Tapi itu tidak menolong karena harga sapronak sudah kelewat tinggi,” katanya.
(Baca juga:Jabar Butuh 400 Apartemen Ayam Demi Penuhi 2 Juta Ekor Ayam)
Perlu diketahui bahwa biaya sapronak yang terdiri dari biaya DOC (day old chicken), pakan dan obat-obatan itu mencapai 80% dari total produksi peternakan ayam. “Bagaimana kami bisa untung kalau biaya sapronak kelewat tinggi, sementara harga jual ayam dihargai rendah sekali,” katanya.
(dar)