Menakar Penyebab Kredit Perbankan Belum Mengucur Deras
loading...
A
A
A
JAKARTA - Data OJK (Otoritas Jasa Keuangan) per Februari 2021 menunjukkan kinerja penyaluran kredit perbankan terkontraksi sebesar -2,15% yoy seiring dengan tingginya tren pelunasan kredit serta belum pulihnya permintaan sektor usaha. Dari sisi Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) di periode yang sama turun tipis sebesar 101 bps (dari 11,32% menjadi 10,32%) dan Suku Bunga Kredit (SBK) turun sebesar 95 bps (dari 12,99% menjadi 12,03%).
Penurunan tersebut berasal dari penurunan Harga Pokok Dana untuk Kredit (HPDK) sebesar 86 bps (dari 5,61% ke 4,75%) dan penurunan overhead cost sebesar 29 bps (dari 3,18% ke 2,89%). Sementara profit margin dan premi risiko naik masing-masing 14 bps (2,53% ke 2,68%) dan 5 bps (1,66% ke 1,71%). Hal tersebut menunjukkan masih terdapat potensi penurunan SBDK dan SBK dari penurunan profit margin.
Chief Economist TanamDuit, Ferry Latuhihin menilai, perbankan baru akan mengucurkan kredit dengan beberapa prasyarat yaitu exchange rate yang stabil dan harga komoditas yang juga stabil bahkan trennya naik.
"Dari sisi bantalan atau capital buffer bank-bank kita memang kuat. Tapi dua syarat itu harus dipenuhi dulu, baru kredit mengucur," ujar Ferry saat dihubungi MNC Portal Indonesia di Jakarta, Sabtu (27/3).
Tidak hanya itu tapi kekhawatiran bank juga ditambah sentimen dari kondisi pasar uang AS. "Apalagi sekarang yield curve di Amerika Serikat naik sangat signifikan. Bank-bank pasti takut kasih kredit ke debitur-debitur yang margin EBITDA nya kurus dan masih impor bahan baku," tambahnya.
OJK juga memahami dari sisi perekonomian AS, perbaikan ekonomi diperkirakan berlangsung lebih cepat didorong oleh stimulus fiskal senilai USD1,9 triliun dan tingginya laju vaksinasi yang diperkirakan akan menciptakan herd immunity di semester 2-2021. Optimisme pemulihan ekonomi di AS mendorong kenaikan yield US Treasury dan meningkatkan volatilitas pasar keuangan global, terutama di pasar obligasi dan nilai tukar negara Emerging Markets.
Penurunan tersebut berasal dari penurunan Harga Pokok Dana untuk Kredit (HPDK) sebesar 86 bps (dari 5,61% ke 4,75%) dan penurunan overhead cost sebesar 29 bps (dari 3,18% ke 2,89%). Sementara profit margin dan premi risiko naik masing-masing 14 bps (2,53% ke 2,68%) dan 5 bps (1,66% ke 1,71%). Hal tersebut menunjukkan masih terdapat potensi penurunan SBDK dan SBK dari penurunan profit margin.
Chief Economist TanamDuit, Ferry Latuhihin menilai, perbankan baru akan mengucurkan kredit dengan beberapa prasyarat yaitu exchange rate yang stabil dan harga komoditas yang juga stabil bahkan trennya naik.
"Dari sisi bantalan atau capital buffer bank-bank kita memang kuat. Tapi dua syarat itu harus dipenuhi dulu, baru kredit mengucur," ujar Ferry saat dihubungi MNC Portal Indonesia di Jakarta, Sabtu (27/3).
Tidak hanya itu tapi kekhawatiran bank juga ditambah sentimen dari kondisi pasar uang AS. "Apalagi sekarang yield curve di Amerika Serikat naik sangat signifikan. Bank-bank pasti takut kasih kredit ke debitur-debitur yang margin EBITDA nya kurus dan masih impor bahan baku," tambahnya.
OJK juga memahami dari sisi perekonomian AS, perbaikan ekonomi diperkirakan berlangsung lebih cepat didorong oleh stimulus fiskal senilai USD1,9 triliun dan tingginya laju vaksinasi yang diperkirakan akan menciptakan herd immunity di semester 2-2021. Optimisme pemulihan ekonomi di AS mendorong kenaikan yield US Treasury dan meningkatkan volatilitas pasar keuangan global, terutama di pasar obligasi dan nilai tukar negara Emerging Markets.
(akr)