SE Menaker Soal THR Dianggap Jalan Tengah Menghindari Konfrontasi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Surat Edaran (SE) No. M/6/HK.04/IV/2021 tentang pemberian tunjangan hari raya (THR) di tahun 2021 yang dikeluarkan Menteri Ketenagakerjaan, merupakan surat rutin yang dikeluarkan tiap tahun menjelang Hari Raya Idul Fitri.
"Namun di SE tahun ini yang ditandatangani tanggal 12 April 2021, khususnya yang terkait dengan perusahaan yang terdampak Covid-19 sehingga tidak mampu membayar THR 2021 sesuai waktu yang ditentukan, menimbulkan ketidakpastian dan tidak masuk logika berpikir yang normal," ujar Ketua Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar di Jakarta, Rabu (12/4/2021). ( Baca juga:Pimpinan DPR Minta Perusahaan Bayar THR Pekerja Sesuai Aturan )
Alasannya, lanjut Timboel, pada poin 1 (bagi perusahaan yang tidak mampu dan membuat kesepakatan dengan buruh) disebutkan kesepakatan dibuat secara tertulis yang memuat waktu pembayaran THR dengan syarat paling lambat dibayar sebelum hari raya keagamaan 2021.
"Dengan klausula tersebut saya menilai pengusaha yang tidak mampu karena terdampak Covid 19 dipaksa membayarkan THR paling lambat H-1 (sebelum hari raya). Saya nilai klausula ini sangat membingungkan dan sangat sulit dilaksanakan oleh perusahaan. Poin 1 ini hanya mengubah waktu pembayaran dari H-7 ke H-1. Point 1 ini tidak membuka ruang perusahaan yang tidak mampu untuk mencicilnya," terang Timboel.
Dia mempertanyakan bagaimana logika berpikir yang dibangun dalam SE ini, bila perusahaan tidak mampu membayar THR pada H-7 karena terdampak Covid dan tidak diberi ruang mencicil, diwajibkan membayar THR di H-1. "Saya kira perusahaan akan sangat sulit mencari dana dalam waktu 6 hari," ucapnya.
Kewajiban pembayaran H-1 bagi perusahaan yang terdampak Covid-19, tentunya akan juga menjadi masalah bagi buruh karena bila H-1 tidak juga dibayarkan oleh perusahaan, apa yang bisa dilakukan Pengawas Ketenagakerjaan karena pada H-1 dipastikan Pengawas Ketenagakerjaan, manajemen dan pekerja sudah libur.
"Andaikata pun pembayaran THR di H-1 dilakukan maka kapan waktu pekerja untuk berbelanja mempersiapkan makan minum dan kebutuhan anak-anak untuk hari raya, karena besoknya sudah rari raya. Dana THR berpotensi tidak bisa dibelanjakan sehingga harapan Menko Perekonomian dana THR untuk mendukung konsumsi masyarakat tidak tercapai," tambah Timboel.
Dia menyebutkan, dengan fakta ini perubahan waktu pembayaran THR dari H-7 ke H-1 maka peluang pengusaha yang terdampak Covid-19 untuk mengemplang bayar THR akan semakin besar, karena tidak diberi ruang untuk membangun kesepakatan membicarakan termin pembayaran.
Kalau hanya mengubah waktu pembayaran dari H-7 ke H-1 maka Poin 2, 3 dan 4 akan relatif percuma, mengingat akan ada kesulitan perusahaan yang terdampak Covid-19 untuk membayar THR pada H-1. Kalaupun poin 2 yang memberikan kewenangan gubernur/walikota/bupati meminta laporan keuangan sebagai bukti bahwa perusahaan tidak mampu membayar THR, seharusnya perusahaan diberikan batas waktu pembuktian paling lambat H-14, sehingga Pengawas Ketenagakerjaan bisa mendorong kesepakatan dengan pekerja.
"Karena tidak ada batas waktu paling lambat maka bisa saja penyerahannya diberikan H-8 sehingga kesepakatan akan sulit dicapai karena waktu sudah sempit, dekat dengan H-7. Dengan tidak adanya ketentuan waktu di poin 2 maka poin 4, yaitu manajemen dan pekerja yang melakukan kesepakatan melaporkan hasil kesepakatan ke pemerintah H-7, akan sulit dilakukan juga," ucap Timboel. ( Baca juga:Ular Sanca Sepanjang 3,5 Meter Gegerkan Warga Pulau Tidung )
SE ini membuat ketidakpastian pembayaran THR bagi buruh oleh perusahaan terdampak Covid semakin besar, dan menurut dia, SE ini sepertinya “jalan tengah” yang diambil Menteri Ketenagakerjaan yang tidak mau “berkonfrontasi” dengan Menko Perekonomian yang meminta THR tidak boleh dicicil.
"Menteri Ketenagakerjaan bersepakat dengan Menko Perekonomian dengan mengorbankan buruh. Ini salah satu prestasi buruk Menteri Ketenagakerjaan yang gagal memberikan kepastian bagi pekerja untuk mendapatkan THR," pungkasnya.
"Namun di SE tahun ini yang ditandatangani tanggal 12 April 2021, khususnya yang terkait dengan perusahaan yang terdampak Covid-19 sehingga tidak mampu membayar THR 2021 sesuai waktu yang ditentukan, menimbulkan ketidakpastian dan tidak masuk logika berpikir yang normal," ujar Ketua Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar di Jakarta, Rabu (12/4/2021). ( Baca juga:Pimpinan DPR Minta Perusahaan Bayar THR Pekerja Sesuai Aturan )
Alasannya, lanjut Timboel, pada poin 1 (bagi perusahaan yang tidak mampu dan membuat kesepakatan dengan buruh) disebutkan kesepakatan dibuat secara tertulis yang memuat waktu pembayaran THR dengan syarat paling lambat dibayar sebelum hari raya keagamaan 2021.
"Dengan klausula tersebut saya menilai pengusaha yang tidak mampu karena terdampak Covid 19 dipaksa membayarkan THR paling lambat H-1 (sebelum hari raya). Saya nilai klausula ini sangat membingungkan dan sangat sulit dilaksanakan oleh perusahaan. Poin 1 ini hanya mengubah waktu pembayaran dari H-7 ke H-1. Point 1 ini tidak membuka ruang perusahaan yang tidak mampu untuk mencicilnya," terang Timboel.
Dia mempertanyakan bagaimana logika berpikir yang dibangun dalam SE ini, bila perusahaan tidak mampu membayar THR pada H-7 karena terdampak Covid dan tidak diberi ruang mencicil, diwajibkan membayar THR di H-1. "Saya kira perusahaan akan sangat sulit mencari dana dalam waktu 6 hari," ucapnya.
Kewajiban pembayaran H-1 bagi perusahaan yang terdampak Covid-19, tentunya akan juga menjadi masalah bagi buruh karena bila H-1 tidak juga dibayarkan oleh perusahaan, apa yang bisa dilakukan Pengawas Ketenagakerjaan karena pada H-1 dipastikan Pengawas Ketenagakerjaan, manajemen dan pekerja sudah libur.
"Andaikata pun pembayaran THR di H-1 dilakukan maka kapan waktu pekerja untuk berbelanja mempersiapkan makan minum dan kebutuhan anak-anak untuk hari raya, karena besoknya sudah rari raya. Dana THR berpotensi tidak bisa dibelanjakan sehingga harapan Menko Perekonomian dana THR untuk mendukung konsumsi masyarakat tidak tercapai," tambah Timboel.
Dia menyebutkan, dengan fakta ini perubahan waktu pembayaran THR dari H-7 ke H-1 maka peluang pengusaha yang terdampak Covid-19 untuk mengemplang bayar THR akan semakin besar, karena tidak diberi ruang untuk membangun kesepakatan membicarakan termin pembayaran.
Kalau hanya mengubah waktu pembayaran dari H-7 ke H-1 maka Poin 2, 3 dan 4 akan relatif percuma, mengingat akan ada kesulitan perusahaan yang terdampak Covid-19 untuk membayar THR pada H-1. Kalaupun poin 2 yang memberikan kewenangan gubernur/walikota/bupati meminta laporan keuangan sebagai bukti bahwa perusahaan tidak mampu membayar THR, seharusnya perusahaan diberikan batas waktu pembuktian paling lambat H-14, sehingga Pengawas Ketenagakerjaan bisa mendorong kesepakatan dengan pekerja.
"Karena tidak ada batas waktu paling lambat maka bisa saja penyerahannya diberikan H-8 sehingga kesepakatan akan sulit dicapai karena waktu sudah sempit, dekat dengan H-7. Dengan tidak adanya ketentuan waktu di poin 2 maka poin 4, yaitu manajemen dan pekerja yang melakukan kesepakatan melaporkan hasil kesepakatan ke pemerintah H-7, akan sulit dilakukan juga," ucap Timboel. ( Baca juga:Ular Sanca Sepanjang 3,5 Meter Gegerkan Warga Pulau Tidung )
SE ini membuat ketidakpastian pembayaran THR bagi buruh oleh perusahaan terdampak Covid semakin besar, dan menurut dia, SE ini sepertinya “jalan tengah” yang diambil Menteri Ketenagakerjaan yang tidak mau “berkonfrontasi” dengan Menko Perekonomian yang meminta THR tidak boleh dicicil.
"Menteri Ketenagakerjaan bersepakat dengan Menko Perekonomian dengan mengorbankan buruh. Ini salah satu prestasi buruk Menteri Ketenagakerjaan yang gagal memberikan kepastian bagi pekerja untuk mendapatkan THR," pungkasnya.
(uka)