Banyak Miliarder Berbondong-bondong Ingin Tinggalkan India
loading...
A
A
A
JAKARTA - Miliarder India telah menduduki puncak daftar orang yang ingin pindah ke luar negeri melalui program visa yang menawarkan kewarganegaraan atau hak tinggal di negara lain sebagai imbalan atas investasi. Tidak sedikit yang seperti Rahul (bukan nama sebenarnya), saat Ia membuat pilihan sulit untuk meninggalkan India enam tahun lalu.
Ia merupakan keturunan generasi kedua dari keluarga kaya yang berbasis di Delhi. Mereka memiliki bisnis ekspor yang berkembang hingga memonopoli, apa yang disebut dengan 'sektor matahari terbit' -sebutan bagi industri yang memiliki prospek cerah.
Tetapi Rahul memilih untuk meninggalkan semuanya dan pindah ke Dubai pada tahun 2015, untuk menjaga ekspansi perusahaan di luar negeri. Dia juga mendapat kewarganegaraan dengan investasi di salah satu negara Karibia. Pelecehan oleh otoritas pajak di Direktorat Penegakan India menjadi alasan utama, katanya.
"Saya bisa melihatnya sebagai masalah bagi seseorang yang memiliki bisnis yang tersebar di seluruh dunia. Dengan paspor asing, pita merah telah berkurang secara substansial. Kekhawatiran saya berkurang terkait pajak," ujarnya kepada BBC.
'Teror pajak' telah menjadi keluhan rutin di kalangan taipan perusahaan India. Ketika pendiri dan pemilik ritel toko kopi terbesar di India, Cafe Coffee Day meninggal pada 2019, ia menuduh seorang mantan direktur jenderal departemen pajak penghasilan.
Tetapi pemerintah terus memperketat jeratnya di sekitar pemilik bisnis dalam beberapa tahun terakhir. Menurut laporan, pencarian pajak oleh departemen pajak penghasilan India telah meningkat tiga kali lipat dalam beberapa tahun terakhir.
Pemerintah berpendapat apa yang sedang mereka lakukan untuk memberantas "uang hitam - uang tunai ilegal, yang tersembunyi dari otoritas pajak - dan meningkatkan kepatuhan pajak. Tetapi para kritikus mengatakan overreach juga sering karena tekanan pada birokrat untuk memenuhi target pendapatan.
Namun kejaran dari petugas pajak hanyalah salah satu alasan kepindahannya, kata Rahul. Keputusannya juga didorong oleh tren "politik memecah belah" yang berkembang di India, katanya kepada kami. Dia tidak ingin anak-anaknya tumbuh di lingkungan India yang semakin terpolarisasi.
Baru-baru ini, sebuah laporan Global Wealth Migration Review mengungkapkan bahwa hampir 5.000 miliarder, atau setara 2% dari jumlah total individu yang memiliki kekayaan besaar di India meninggalkan negara itu pada tahun 2020 saja.
Lalu orang India menduduki puncak daftar yang disusun oleh penasihat kewarganegaraan dan tempat tinggal global yang berkantor pusat di London, yakni Henley & Partners (H&P). Dalam catatan mereka, orang India berada di posisi teratas yang mencari kewarganegaraan atau tempat tinggal di negara lain sebagai imbalan atas investasi.
Covid-19 telah menjadi pendorong besar dari apa yang merupakan tren berkelanjutan dari orang-orang kaya India yang berusaha untuk "menduniakan kehidupan dan aset mereka" menurut H&P. Sedemikian banyak peminatnya sehingga perusahaan mendirikan kantornya di India di tengah lockdown tahun lalu untuk memenuhi permintaan yang meningkat.
"Saya pikir mereka (klien) menyadari bahwa mereka tidak ingin menunggu gelombang kedua atau ketiga pandemi. Mereka ingin memiliki surat-surat mereka sekarang, saat mereka duduk di rumah. Kami menyebutnya sebagai polis asuransi atau Rencana B," ujar Dominic Volek, Group Head of Private di Henley & Partners kepada BBC melalui panggilan video dari Dubai.
Menurut Volek, pandemi bisa menjadi pengubah permainan, karena itu membuat orang kaya berpikir tentang migrasi dengan cara yang lebih holistik. Ini bukan lagi hanya tentang perjalanan bebas visa, atau kemudahan akses ke pasar global, tetapi tentang diversifikasi kekayaan, perawatan kesehatan dan pendidikan yang lebih baik, untuk melindungi dari ketidakpastian yang dibawa oleh pandemi.
Negara-negara seperti Portugal, yang menjalankan program 'visa emas' serta negara-negara seperti Malta dan Siprus menjadi tujuan yang lebih disukai oleh orang kaya India menurut H&P.
Eksodus uang dalam jumlah besar diyakini tidak permanen, orang hanya menginvestasikan uang di negara lain sebagai pilihan. Tapi itu tidak menjadi pertanda baik bagi negara berkembang seperti India, kata para ahli.
Lihat Juga: Negara Pendiri BRICS yang Mulai Ragu Tinggalkan Dolar AS, Salah Satunya Musuh Amerika Serikat
Ia merupakan keturunan generasi kedua dari keluarga kaya yang berbasis di Delhi. Mereka memiliki bisnis ekspor yang berkembang hingga memonopoli, apa yang disebut dengan 'sektor matahari terbit' -sebutan bagi industri yang memiliki prospek cerah.
Tetapi Rahul memilih untuk meninggalkan semuanya dan pindah ke Dubai pada tahun 2015, untuk menjaga ekspansi perusahaan di luar negeri. Dia juga mendapat kewarganegaraan dengan investasi di salah satu negara Karibia. Pelecehan oleh otoritas pajak di Direktorat Penegakan India menjadi alasan utama, katanya.
"Saya bisa melihatnya sebagai masalah bagi seseorang yang memiliki bisnis yang tersebar di seluruh dunia. Dengan paspor asing, pita merah telah berkurang secara substansial. Kekhawatiran saya berkurang terkait pajak," ujarnya kepada BBC.
'Teror pajak' telah menjadi keluhan rutin di kalangan taipan perusahaan India. Ketika pendiri dan pemilik ritel toko kopi terbesar di India, Cafe Coffee Day meninggal pada 2019, ia menuduh seorang mantan direktur jenderal departemen pajak penghasilan.
Tetapi pemerintah terus memperketat jeratnya di sekitar pemilik bisnis dalam beberapa tahun terakhir. Menurut laporan, pencarian pajak oleh departemen pajak penghasilan India telah meningkat tiga kali lipat dalam beberapa tahun terakhir.
Pemerintah berpendapat apa yang sedang mereka lakukan untuk memberantas "uang hitam - uang tunai ilegal, yang tersembunyi dari otoritas pajak - dan meningkatkan kepatuhan pajak. Tetapi para kritikus mengatakan overreach juga sering karena tekanan pada birokrat untuk memenuhi target pendapatan.
Namun kejaran dari petugas pajak hanyalah salah satu alasan kepindahannya, kata Rahul. Keputusannya juga didorong oleh tren "politik memecah belah" yang berkembang di India, katanya kepada kami. Dia tidak ingin anak-anaknya tumbuh di lingkungan India yang semakin terpolarisasi.
Baru-baru ini, sebuah laporan Global Wealth Migration Review mengungkapkan bahwa hampir 5.000 miliarder, atau setara 2% dari jumlah total individu yang memiliki kekayaan besaar di India meninggalkan negara itu pada tahun 2020 saja.
Lalu orang India menduduki puncak daftar yang disusun oleh penasihat kewarganegaraan dan tempat tinggal global yang berkantor pusat di London, yakni Henley & Partners (H&P). Dalam catatan mereka, orang India berada di posisi teratas yang mencari kewarganegaraan atau tempat tinggal di negara lain sebagai imbalan atas investasi.
Covid-19 telah menjadi pendorong besar dari apa yang merupakan tren berkelanjutan dari orang-orang kaya India yang berusaha untuk "menduniakan kehidupan dan aset mereka" menurut H&P. Sedemikian banyak peminatnya sehingga perusahaan mendirikan kantornya di India di tengah lockdown tahun lalu untuk memenuhi permintaan yang meningkat.
"Saya pikir mereka (klien) menyadari bahwa mereka tidak ingin menunggu gelombang kedua atau ketiga pandemi. Mereka ingin memiliki surat-surat mereka sekarang, saat mereka duduk di rumah. Kami menyebutnya sebagai polis asuransi atau Rencana B," ujar Dominic Volek, Group Head of Private di Henley & Partners kepada BBC melalui panggilan video dari Dubai.
Menurut Volek, pandemi bisa menjadi pengubah permainan, karena itu membuat orang kaya berpikir tentang migrasi dengan cara yang lebih holistik. Ini bukan lagi hanya tentang perjalanan bebas visa, atau kemudahan akses ke pasar global, tetapi tentang diversifikasi kekayaan, perawatan kesehatan dan pendidikan yang lebih baik, untuk melindungi dari ketidakpastian yang dibawa oleh pandemi.
Negara-negara seperti Portugal, yang menjalankan program 'visa emas' serta negara-negara seperti Malta dan Siprus menjadi tujuan yang lebih disukai oleh orang kaya India menurut H&P.
Eksodus uang dalam jumlah besar diyakini tidak permanen, orang hanya menginvestasikan uang di negara lain sebagai pilihan. Tapi itu tidak menjadi pertanda baik bagi negara berkembang seperti India, kata para ahli.
Lihat Juga: Negara Pendiri BRICS yang Mulai Ragu Tinggalkan Dolar AS, Salah Satunya Musuh Amerika Serikat
(akr)