Benarkah Radikalisme Merasuki Perusahaan Pelat Merah? Ini Kata Pakar BUMN
loading...
A
A
A
JAKARTA - Isu radikalisme di badan usaha milik negara (BUMN) belakangan ini menyeruak. Hal itu dipicu dua peristiwa yang muncul di internal BUMN yang dikait-kaitkan dengan paham radikal.
Kejadian pertama adalah kabar pencopotan dua pejabat PT Pelayaran Nasional Indonesia (Persero) atau Pelni karena menggelar pengajian Ramadhan tanpa izin dan pemberitahuan kepada dewan direksi.
Persoalan itu mengemuka ke publik setelah Komisaris Independen Pelni Kristia Budiyarto alias Kang Dede menyebut, ada pejabat Pelni yang diberi sanksi agar menjadi peringatan bagi seluruh insan BUMN agar tak terlibat radikalisme.
"Ini pelajaran sekaligus warning kepada seluruh BUMN, jangan segan-segan mencopot ataupun memecat pegawainya yang terlibat radikalisme. Jangan beri ruang sedikit pun, berangus!" tulisnya melalui akun sosial medianya beberapa waktu lalu.
Belakangan, kabar ini diluruskan Kepala Kesekretariatan Perusahaan Pelni, Opik Taufik, yang menyebutkan bahwa tidak ada pemecatan yang dilakukan direksi perseroan terhadap pejabat terkait.
Tak lama berselang, publik kembali dikejutkan dengan pengunduran diri Kuntjoro Pinardi yang baru lima hari menjabat sebagai Direktur Pemeliharaan dan Perbaikan PT PAL Indonesia (Persero). Keputusan itu diambil setelah dirinya dikaitkan dengan isu pendukung gerakan radikalisme dan pemulangan eks-ISIS ke Indonesia.
Kuntjoro tegas menepis dirinya merupakan pendukung Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Namun, dia mengaku, pernah menjadi calon anggota legislatif (caleg) dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) saat pesta demokrasi pada 2014 lalu.
Dua kejadian tersebut lantas memicu pertanyaan publik, apakah hal itu bisa disimpulkan bahwa paham radikalisme memang telah berkembang di BUMN sehingga tindakan tegas kerap diambil?
Kejadian pertama adalah kabar pencopotan dua pejabat PT Pelayaran Nasional Indonesia (Persero) atau Pelni karena menggelar pengajian Ramadhan tanpa izin dan pemberitahuan kepada dewan direksi.
Baca Juga
Persoalan itu mengemuka ke publik setelah Komisaris Independen Pelni Kristia Budiyarto alias Kang Dede menyebut, ada pejabat Pelni yang diberi sanksi agar menjadi peringatan bagi seluruh insan BUMN agar tak terlibat radikalisme.
"Ini pelajaran sekaligus warning kepada seluruh BUMN, jangan segan-segan mencopot ataupun memecat pegawainya yang terlibat radikalisme. Jangan beri ruang sedikit pun, berangus!" tulisnya melalui akun sosial medianya beberapa waktu lalu.
Belakangan, kabar ini diluruskan Kepala Kesekretariatan Perusahaan Pelni, Opik Taufik, yang menyebutkan bahwa tidak ada pemecatan yang dilakukan direksi perseroan terhadap pejabat terkait.
Tak lama berselang, publik kembali dikejutkan dengan pengunduran diri Kuntjoro Pinardi yang baru lima hari menjabat sebagai Direktur Pemeliharaan dan Perbaikan PT PAL Indonesia (Persero). Keputusan itu diambil setelah dirinya dikaitkan dengan isu pendukung gerakan radikalisme dan pemulangan eks-ISIS ke Indonesia.
Kuntjoro tegas menepis dirinya merupakan pendukung Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Namun, dia mengaku, pernah menjadi calon anggota legislatif (caleg) dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) saat pesta demokrasi pada 2014 lalu.
Dua kejadian tersebut lantas memicu pertanyaan publik, apakah hal itu bisa disimpulkan bahwa paham radikalisme memang telah berkembang di BUMN sehingga tindakan tegas kerap diambil?