Kebijakan Cukai yang Eksesif Dorong Peredaran Rokok Ilegal
loading...
A
A
A
Jika dihubungkan prevalensinya terus meningkat, padahal pertumbuhan produksi dan penjualan rokok sudah menurun.
“Kalau dilihat tujuan target cukai adalah pengendalian konsumsi, tapi yang terjadi justru dengan penerapan cukai yang eksesif yang menurun bukan konsumsinya tapi produksinya,” imbuhnya.
Dampak kebijakan cukai yang eksesif akan meningkatkan peredaran rokok ilegal. Merujuk hasil kajian Indef, Enny mengatakan sebenarnya antara penurunan produksi dengan penjualan masih jauh drastis produksi, pejualannya menurun tidak terlalu drastis. Artinya demand itu tidak terlalu terjadi penurunan. Yang mengisi kekosongan adalah rokok ilegal yang tidak membayar cukai.
“Ada korelasi antara harga rokok legal dengan peredaran rokok ilegal, begitu rokok legal naik pasti peredaran rokok ilegal naik. Ini artinya, target untuk menurunkan prevalensi perokok tidak tercapai,” tegas Enny.
Berdasarkan simulasinya, diasumsikan kalau ada peredaran rokok ilegal 5%, utuk 2020 potential loss dari penerimaan cukai sudah 4,38 triliun. Padahal data Bea Cukai prosentase peredaran rokok ilegal di 2018 adalah 7%, 2017 adalah 10,9% dan sebelumnya di 2016 sebesar 12%, sedangkan di 2020 katanya sekitar 4%.
“Sehingga tadi asumsinya kalau 5% saja potensi kebocoran sudah Rp4 triliun, kalau 10% seperti hasil penindakan 2017 sudah hampir Rp10 triliun. Akhirnya kalau kita lihat ini pasti mempengaruhi target penerimaan cukai,” jelasnya.
Ketua umum Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (DPN APTI), Agus Parmuji menegaskan, kebijakan kenaikan cukai berdampak pada volume rokok turun. Akibatnya penyerapan tembakau turun. Turunnya penyerapan tembakau sangat dirasakan petani.
Merujuk data resmi DPN APTI, kenaikan cukai tahun 2019, menyebabkan serapan bahan baku (tembakau) lokal sangat merosot tajam sehingga ekonomi petani babak belur. Tahun 2020, di masa pandemi, pemerintah justru membuat aturan yang menghantam petani tembakau.
“Kenaikan cukai 2020, kami tidak bisa memberikan masukan pada pemerintah secara langsung (tatap muka). Kami mau unjuk rasa dihadang. Berkirim surat tidak mempan. Kemudian, visit government juga tidak mempan. Makanya petani itu kadang dari desa ke Jakarta tapi satu tahun ini tidak bisa, sehingga ini dimanfaatkan oleh penentu kebijakan untuk membuat aturan yang tidak pro dengan keadaan pertanian tembakau,” ungkap Agus.
DPN APTI berharap, tahun 2021 ini pemerintah memiliki itikad baik (good will) untuk merumuskan formula kebijakan yang memayungi para pelaku pertembakauan, yakni petani, dan pelaku industri nasional.
“Ini adalah perang ekonomi dan perdagangan, korbannya adalah rakyat pertembakauan. Untuk mengakhiri perang ini, kita harus bersatu, orang-orang yang berdaulat dan tahu kemanusiaan ini dituntut untuk memiliki rasa kemanusiaan untuk menolong penjajahan kemanusiaan ini,” tukasnya.
“Kalau dilihat tujuan target cukai adalah pengendalian konsumsi, tapi yang terjadi justru dengan penerapan cukai yang eksesif yang menurun bukan konsumsinya tapi produksinya,” imbuhnya.
Dampak kebijakan cukai yang eksesif akan meningkatkan peredaran rokok ilegal. Merujuk hasil kajian Indef, Enny mengatakan sebenarnya antara penurunan produksi dengan penjualan masih jauh drastis produksi, pejualannya menurun tidak terlalu drastis. Artinya demand itu tidak terlalu terjadi penurunan. Yang mengisi kekosongan adalah rokok ilegal yang tidak membayar cukai.
“Ada korelasi antara harga rokok legal dengan peredaran rokok ilegal, begitu rokok legal naik pasti peredaran rokok ilegal naik. Ini artinya, target untuk menurunkan prevalensi perokok tidak tercapai,” tegas Enny.
Berdasarkan simulasinya, diasumsikan kalau ada peredaran rokok ilegal 5%, utuk 2020 potential loss dari penerimaan cukai sudah 4,38 triliun. Padahal data Bea Cukai prosentase peredaran rokok ilegal di 2018 adalah 7%, 2017 adalah 10,9% dan sebelumnya di 2016 sebesar 12%, sedangkan di 2020 katanya sekitar 4%.
“Sehingga tadi asumsinya kalau 5% saja potensi kebocoran sudah Rp4 triliun, kalau 10% seperti hasil penindakan 2017 sudah hampir Rp10 triliun. Akhirnya kalau kita lihat ini pasti mempengaruhi target penerimaan cukai,” jelasnya.
Ketua umum Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (DPN APTI), Agus Parmuji menegaskan, kebijakan kenaikan cukai berdampak pada volume rokok turun. Akibatnya penyerapan tembakau turun. Turunnya penyerapan tembakau sangat dirasakan petani.
Merujuk data resmi DPN APTI, kenaikan cukai tahun 2019, menyebabkan serapan bahan baku (tembakau) lokal sangat merosot tajam sehingga ekonomi petani babak belur. Tahun 2020, di masa pandemi, pemerintah justru membuat aturan yang menghantam petani tembakau.
“Kenaikan cukai 2020, kami tidak bisa memberikan masukan pada pemerintah secara langsung (tatap muka). Kami mau unjuk rasa dihadang. Berkirim surat tidak mempan. Kemudian, visit government juga tidak mempan. Makanya petani itu kadang dari desa ke Jakarta tapi satu tahun ini tidak bisa, sehingga ini dimanfaatkan oleh penentu kebijakan untuk membuat aturan yang tidak pro dengan keadaan pertanian tembakau,” ungkap Agus.
DPN APTI berharap, tahun 2021 ini pemerintah memiliki itikad baik (good will) untuk merumuskan formula kebijakan yang memayungi para pelaku pertembakauan, yakni petani, dan pelaku industri nasional.
“Ini adalah perang ekonomi dan perdagangan, korbannya adalah rakyat pertembakauan. Untuk mengakhiri perang ini, kita harus bersatu, orang-orang yang berdaulat dan tahu kemanusiaan ini dituntut untuk memiliki rasa kemanusiaan untuk menolong penjajahan kemanusiaan ini,” tukasnya.