Masalah Lingkungan di TPA Rawa Kucing Disorot
loading...
A
A
A
JAKARTA - TPA Rawa Kucing terus memunculkan masalah lingkungan yang pelik. Kritik keras yang disuarakan oleh komunitas lokal mengundang solidaritas aktivis Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) DKI Jakarta, Dede Ahdi. WALHI menilai Pemerintah Daerah masih lamban dalam mengelola sampah di wilayahnya. Walhi DKI Jakarta melihat pengelolaan sampah di TPA Rawa Kucing berjalan lamban karena terkesan ada masalah di internal pemerintah daerahnya.
"Untuk kasus TPA yang tidak terurus berarti ada masalah di internal pemdanya. Padahal, kebijakan atau aturan sudah bagus dibuat, tinggal merealisasikan" kata aktivis Walhi DKI Jakarta Dede Ahdi, Kamis (17/6/2021).
Sebagaimana dilaporkan, TPA Rawa Kucing adalah tempat penampungan sampah utama Kota Tangerang, kini telah melebihi kapasitas daya tampungnya. Akibatnya, rembesan sampah TPA Rawa Kucing terus menerus mencemari lingkungan dan berdampak buruk bagi masyarakat serta petani yang bermukim di sekitarnya. Penurunan derajat kesehatan masyarakat, dan resiko kerusakan lingkungan jangka panjang kini sudah menjadi bom waktu bagi warga Kota Tangerang.
Dampak lingkungan kegiatan TPA ini terus memburuk meskipun revitalisasi TPA Rawa Kucing telah diselesaikan oleh Kementrian Pekerjaan Umum dengan anggaran Rp 82,7milyar di tahun 2019. Disisi lain, program pemusnahan sampah melalui waste-to-energy dalam Program Strategis Nasional yang direncanakan belum juga dilaksanakan meskipun sudah ada pemenangnya.
Dapat diprediksikan, dalam waktu dekat, Pemerintah Kota Tangerang perlu segera mencari jalan keluar untuk membuang sampahnya diluar TPA Rawa Kucing seperti halnya yang terjadi dengan Pemerintah Kota Tangerang Selatan yang akhirnya mengirimkan sampahnya ke Kota Serang yang jaraknya hampir 100km sekali jalan sehingga membebani APBD.
Permasalahan yang makin meruncing ini menimbulkan polemik diantara pemerintah dan kalangan aktivis lingkungan hidup yang ada di Kota Tangerang. Forum Mahasiswa Pecinta Lingkungan (Formapel) menuntut penanganan sampah di Kota Tangerang seharusnya tidak hanya mengandalkan pasukan kebersihan (Pasukan Oranye), namun perlu lebih menyeluruh dari hulu ke hilir sehingga tidak merugikan warga diseputar TPA. "Jadi sinergi dari hulu ke hilir tuh ya mesti benar-benar konsen, bukan hanya seremonial," tutur Arief Iskandar seorang aktivis Formapel.
Arief mempertanyakan kenapa sekarang ini sampah malah makin menumpuk di TPA Rawa Kucing. Seharusnya, apabila program-program yang dijalankan Pemkot Tangerang itu memang efektif, sampah yang menumpuk di TPA Rawa Kucing kan berkurang. Artinya, program-program yang berjalan ini masih bersifat seremonial dan kurang berdampak. Formapel berharap Pemerintah Kota Tangerang melaksanakan program-program penanganan sampah di hulu dan hilir secara massif sehingga dapat mengurangi beban TPA Rawa Kucing.
WALHI juga mengamini masukkan Formapel, dan lebih jauh meminta Pemerintah Kota memperhatikan program Jakstranas dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia tentang Kebijakan dan Strategi Nasional (Jakstranas) Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga yang termuat dalam Peraturan Presiden No. 97 Tahun 2017 dan Undang Undang No. 18 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Sampah. Di dalam kedua kebijakan ini, Pemerintah Kota wajib secara bersama-sama menurunkan timbulan sampah di hulu dan menanggulangi sampah di hilir (TPA) dengan tata-cara yang tidak mengakibatkan pencemaran lingkungan. Aturan semua sudah lengkap, tinggal dijalankan.
"Hal itu sudah termuat dalam aturan di Peraturan Presiden No. 97 Tahun 2017. Di hulu, pemerintah perlu membangun kesadaran sektor rumah tangga atau masyarakat untuk mengelola sampah dengan 3R mengurangi (reduce), menggunakan kembali (reuse) dan mendaur ulang (recycle). Di hilir, pemerintah kota perlu menangani sampah dengan cara-cara yang bertanggung jawab. Jadi, saling membantu antara pemerintah serta lembaganya dan masyarakat," tambah Dede.
Pemerintah daerah sejatinya tidak perlu khawatir menjalankan program-program penanganan sampah yang memenuhi baku mutu lingkungan karena sudah ada regulasi yang memayungi penanganan masalah sampah tersebut. Jangan sampai program dan kebijakan yang sudah ada justru terbengkalai dan masyarakat yang merasakan dampaknya. Pemerintah daerah harus kreatif dalam pengelolaan sampah yang efisien dan efektif. Seperti mengoptimalkan kegiatan dan kebijakan pengurangan sampah di hulu dan melaksanakan program waste-to-energy di hilir yang saling melengkapi, sehingga terbentuk sistem penanganan sampah yang tersinergi dari hulu ke hilir.
Terkait dengan upaya Pemerintah Indonesia berencana mempersiapkan 12 kota agar memiliki fasilitas pemusnahan sampah yang juga membangkitkan listrik untuk menangani sampah di hilir, WALHI melihat semua pihak perlu duduk bersama, mengingat kompleksitas isu dan sumber daya yang diperlukan, sehingga pelaksanannya dapat dilakukan dengan bijak dan tidak menyisakan masalah baru.
"Untuk kasus TPA yang tidak terurus berarti ada masalah di internal pemdanya. Padahal, kebijakan atau aturan sudah bagus dibuat, tinggal merealisasikan" kata aktivis Walhi DKI Jakarta Dede Ahdi, Kamis (17/6/2021).
Sebagaimana dilaporkan, TPA Rawa Kucing adalah tempat penampungan sampah utama Kota Tangerang, kini telah melebihi kapasitas daya tampungnya. Akibatnya, rembesan sampah TPA Rawa Kucing terus menerus mencemari lingkungan dan berdampak buruk bagi masyarakat serta petani yang bermukim di sekitarnya. Penurunan derajat kesehatan masyarakat, dan resiko kerusakan lingkungan jangka panjang kini sudah menjadi bom waktu bagi warga Kota Tangerang.
Dampak lingkungan kegiatan TPA ini terus memburuk meskipun revitalisasi TPA Rawa Kucing telah diselesaikan oleh Kementrian Pekerjaan Umum dengan anggaran Rp 82,7milyar di tahun 2019. Disisi lain, program pemusnahan sampah melalui waste-to-energy dalam Program Strategis Nasional yang direncanakan belum juga dilaksanakan meskipun sudah ada pemenangnya.
Dapat diprediksikan, dalam waktu dekat, Pemerintah Kota Tangerang perlu segera mencari jalan keluar untuk membuang sampahnya diluar TPA Rawa Kucing seperti halnya yang terjadi dengan Pemerintah Kota Tangerang Selatan yang akhirnya mengirimkan sampahnya ke Kota Serang yang jaraknya hampir 100km sekali jalan sehingga membebani APBD.
Permasalahan yang makin meruncing ini menimbulkan polemik diantara pemerintah dan kalangan aktivis lingkungan hidup yang ada di Kota Tangerang. Forum Mahasiswa Pecinta Lingkungan (Formapel) menuntut penanganan sampah di Kota Tangerang seharusnya tidak hanya mengandalkan pasukan kebersihan (Pasukan Oranye), namun perlu lebih menyeluruh dari hulu ke hilir sehingga tidak merugikan warga diseputar TPA. "Jadi sinergi dari hulu ke hilir tuh ya mesti benar-benar konsen, bukan hanya seremonial," tutur Arief Iskandar seorang aktivis Formapel.
Arief mempertanyakan kenapa sekarang ini sampah malah makin menumpuk di TPA Rawa Kucing. Seharusnya, apabila program-program yang dijalankan Pemkot Tangerang itu memang efektif, sampah yang menumpuk di TPA Rawa Kucing kan berkurang. Artinya, program-program yang berjalan ini masih bersifat seremonial dan kurang berdampak. Formapel berharap Pemerintah Kota Tangerang melaksanakan program-program penanganan sampah di hulu dan hilir secara massif sehingga dapat mengurangi beban TPA Rawa Kucing.
WALHI juga mengamini masukkan Formapel, dan lebih jauh meminta Pemerintah Kota memperhatikan program Jakstranas dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia tentang Kebijakan dan Strategi Nasional (Jakstranas) Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga yang termuat dalam Peraturan Presiden No. 97 Tahun 2017 dan Undang Undang No. 18 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Sampah. Di dalam kedua kebijakan ini, Pemerintah Kota wajib secara bersama-sama menurunkan timbulan sampah di hulu dan menanggulangi sampah di hilir (TPA) dengan tata-cara yang tidak mengakibatkan pencemaran lingkungan. Aturan semua sudah lengkap, tinggal dijalankan.
"Hal itu sudah termuat dalam aturan di Peraturan Presiden No. 97 Tahun 2017. Di hulu, pemerintah perlu membangun kesadaran sektor rumah tangga atau masyarakat untuk mengelola sampah dengan 3R mengurangi (reduce), menggunakan kembali (reuse) dan mendaur ulang (recycle). Di hilir, pemerintah kota perlu menangani sampah dengan cara-cara yang bertanggung jawab. Jadi, saling membantu antara pemerintah serta lembaganya dan masyarakat," tambah Dede.
Pemerintah daerah sejatinya tidak perlu khawatir menjalankan program-program penanganan sampah yang memenuhi baku mutu lingkungan karena sudah ada regulasi yang memayungi penanganan masalah sampah tersebut. Jangan sampai program dan kebijakan yang sudah ada justru terbengkalai dan masyarakat yang merasakan dampaknya. Pemerintah daerah harus kreatif dalam pengelolaan sampah yang efisien dan efektif. Seperti mengoptimalkan kegiatan dan kebijakan pengurangan sampah di hulu dan melaksanakan program waste-to-energy di hilir yang saling melengkapi, sehingga terbentuk sistem penanganan sampah yang tersinergi dari hulu ke hilir.
Terkait dengan upaya Pemerintah Indonesia berencana mempersiapkan 12 kota agar memiliki fasilitas pemusnahan sampah yang juga membangkitkan listrik untuk menangani sampah di hilir, WALHI melihat semua pihak perlu duduk bersama, mengingat kompleksitas isu dan sumber daya yang diperlukan, sehingga pelaksanannya dapat dilakukan dengan bijak dan tidak menyisakan masalah baru.
(nng)