Jangan Panik! Inflasi Amrik Memang Naik, tapi Pasar Surat Utang Kita Tetap Menarik
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pasca- melonjaknya angka positif Covid-19 di beberapa daerah di Indonesia dalam beberapa hari terakhir, akan memengaruhi perekonomian nasional . Perpanjangan masa Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) mikro selama 15-28 Juni 2021 diperkirakan angka menekan laju pertumbuhan positif yang mulai berjalan selama kuartal II-2021.
Proyeksi itu menjadi sentimen negatif untuk pasar modal yang tecermin dari indeks harga saham gabungan (IHSG) yang turun 1,01% ke level 6.007 (18/6). Kondisi yang tidak mudah ini dikhawatirkan akan memengaruhi pilihan investor, khususnya asing untuk menempatkan dana di pasar keuangan Indonesia, baik melalui instrumen saham maupun surat berharga negara (SBN) .
Meskipun demikian, berdasarkan analisa PT Bahana TCW Investment Management (Bahana TCW), dalam jangka pendek kondisi pasar keuangan Indonesia, khususnya perdagangan SBN masih akan atraktif, terutama bagi investor asing.
"Terlepas dari adanya sentimen negatif di pasar akibat merebaknya kasus Covid-19 di Indonesia, kami melihat stabilitas pasar SBN dapat tetap terjaga di tahun ini. Kami melihat ada sejumlah faktor yang akan mempengaruhi ekspektasi investor dalam berinvestasi di SBN, yaitu stabilitas ekonomi Indonesia, yield SBN kita yang masih tinggi dan likuiditas di pasar global yang masih berlebih. Stabilitas ekonomi dan yield SBN yang tinggi kami perkirakan masih akan mampu menarik investor asing ke Indonesia,” kata Direktur Investasi dan Kepala Makroekonomi Bahana TCW Budi Hikmat, dalam keterangan tertulisnya yang diterima, Sabtu (19/6/2021).
Baca juga: Gelombang Panas 'Apokaliptik' Menghanguskan Barat Daya AS
Saat ini, stabilitas ekonomi Indonesia masih terjaga yang terlihat dari nilai tukar rupiah yang stabil, inflasi terjaga di bawah target, dan neraca perdagangan Mei surplus 2,36 miliar dolar AS. Ditambah lagi, keputusan Bank Indonesiayang tetap menjaga suku bunga acuannya sebesar 3,5% sehinggga membuat real rate Indonesia tetap positif dan kebijakan moneter yang prudent.
Dari gaktor eksternal, rilis data makro di Amerika Serikat dengan angka inflasi melonjak hingga 5% (YoY) yang sempat menimbulkan spekulasi kebijakan percepatan tappering oleh The Fed dan dapat memicu capital inflow (ke Amerika Serikat) dalam waktu dekat jika The Fed menaikkan suku bunganya.
Budi menjelaskan bahwa data inflasi AS diproyeksi tidak akan begitu berpengaruh bagi investor global karena inflasi AS sebesar 5% bersifat temporer. Pasalnya, penyumbang terbesar inflasi AS adalah kenaikan biaya transportasi, dalam hal ini harga mobil bekas. Sementara indikator utama seperti harga bahan pokok masih terkendali.
Baca juga:Ini 5 Jalur Angker Rawan Kecelakaan Beserta Mitos yang Membalutnya
Selain itu, The Fed sendiri juga menyatakan hal yang sama bahwa inflasi hanya bersifat temporer dan akan segera membaik. Dalam proyeksi terbaru, The Fed menunjukan inflasi mulai turun pada tahun 2022. Akibatnya, ekspektasi inflasi pasar jangka panjang berangsur turun. Rilis opini anggota The Fed mensinyalkan kenaikan suku bunga baru akan terjadi pada tahun 2023. Sedangkan taper diperkirakan baru akan dimulai pada awal 2022 mendatang.
"Saat ini pelaku pasar global percaya dengan sinyal yang diberikan oleh The Fed bahwa kebijakan moneter masih akan tetap akomodatif, setidaknya hingga akhir tahun ini," jelas Budi.
Dengan kondisi seperti ini, diperkirakan pelaku pasar global akan tetap menyalurkan likuiditas yang berlebih ke pasar emerging market yang masih menawarkan yield yang tinggi hingga akhir tahun ini. Yield SBN Indonesia tenor 10 tahun sebesar 6,57% dipandang masih menarik dibandingkan yield obligasi tenor 10 tahun AS yang diperkirakan dalam kisaran antara 1,37-1,88%.
"Ini terlihat dari dana asing yang masuk ke SBN per tanggal 15 juni sebesar Rp6,6 tiliun. Kami memperkirakan tren positif net buy asing di pasar SBN akan terus berlanjut selama semester II tahun ini,” tutup Budi.
Proyeksi itu menjadi sentimen negatif untuk pasar modal yang tecermin dari indeks harga saham gabungan (IHSG) yang turun 1,01% ke level 6.007 (18/6). Kondisi yang tidak mudah ini dikhawatirkan akan memengaruhi pilihan investor, khususnya asing untuk menempatkan dana di pasar keuangan Indonesia, baik melalui instrumen saham maupun surat berharga negara (SBN) .
Meskipun demikian, berdasarkan analisa PT Bahana TCW Investment Management (Bahana TCW), dalam jangka pendek kondisi pasar keuangan Indonesia, khususnya perdagangan SBN masih akan atraktif, terutama bagi investor asing.
"Terlepas dari adanya sentimen negatif di pasar akibat merebaknya kasus Covid-19 di Indonesia, kami melihat stabilitas pasar SBN dapat tetap terjaga di tahun ini. Kami melihat ada sejumlah faktor yang akan mempengaruhi ekspektasi investor dalam berinvestasi di SBN, yaitu stabilitas ekonomi Indonesia, yield SBN kita yang masih tinggi dan likuiditas di pasar global yang masih berlebih. Stabilitas ekonomi dan yield SBN yang tinggi kami perkirakan masih akan mampu menarik investor asing ke Indonesia,” kata Direktur Investasi dan Kepala Makroekonomi Bahana TCW Budi Hikmat, dalam keterangan tertulisnya yang diterima, Sabtu (19/6/2021).
Baca juga: Gelombang Panas 'Apokaliptik' Menghanguskan Barat Daya AS
Saat ini, stabilitas ekonomi Indonesia masih terjaga yang terlihat dari nilai tukar rupiah yang stabil, inflasi terjaga di bawah target, dan neraca perdagangan Mei surplus 2,36 miliar dolar AS. Ditambah lagi, keputusan Bank Indonesiayang tetap menjaga suku bunga acuannya sebesar 3,5% sehinggga membuat real rate Indonesia tetap positif dan kebijakan moneter yang prudent.
Dari gaktor eksternal, rilis data makro di Amerika Serikat dengan angka inflasi melonjak hingga 5% (YoY) yang sempat menimbulkan spekulasi kebijakan percepatan tappering oleh The Fed dan dapat memicu capital inflow (ke Amerika Serikat) dalam waktu dekat jika The Fed menaikkan suku bunganya.
Budi menjelaskan bahwa data inflasi AS diproyeksi tidak akan begitu berpengaruh bagi investor global karena inflasi AS sebesar 5% bersifat temporer. Pasalnya, penyumbang terbesar inflasi AS adalah kenaikan biaya transportasi, dalam hal ini harga mobil bekas. Sementara indikator utama seperti harga bahan pokok masih terkendali.
Baca juga:Ini 5 Jalur Angker Rawan Kecelakaan Beserta Mitos yang Membalutnya
Selain itu, The Fed sendiri juga menyatakan hal yang sama bahwa inflasi hanya bersifat temporer dan akan segera membaik. Dalam proyeksi terbaru, The Fed menunjukan inflasi mulai turun pada tahun 2022. Akibatnya, ekspektasi inflasi pasar jangka panjang berangsur turun. Rilis opini anggota The Fed mensinyalkan kenaikan suku bunga baru akan terjadi pada tahun 2023. Sedangkan taper diperkirakan baru akan dimulai pada awal 2022 mendatang.
"Saat ini pelaku pasar global percaya dengan sinyal yang diberikan oleh The Fed bahwa kebijakan moneter masih akan tetap akomodatif, setidaknya hingga akhir tahun ini," jelas Budi.
Dengan kondisi seperti ini, diperkirakan pelaku pasar global akan tetap menyalurkan likuiditas yang berlebih ke pasar emerging market yang masih menawarkan yield yang tinggi hingga akhir tahun ini. Yield SBN Indonesia tenor 10 tahun sebesar 6,57% dipandang masih menarik dibandingkan yield obligasi tenor 10 tahun AS yang diperkirakan dalam kisaran antara 1,37-1,88%.
"Ini terlihat dari dana asing yang masuk ke SBN per tanggal 15 juni sebesar Rp6,6 tiliun. Kami memperkirakan tren positif net buy asing di pasar SBN akan terus berlanjut selama semester II tahun ini,” tutup Budi.
(uka)