Milenial Harus Manfaatkan Teknologi Digital untuk Kegiatan Produktif
loading...
A
A
A
JAKARTA - Generasi masa kini atau milenial dianggap dekat dengan teknologi. Ada istilah yang disematkan pada generasi ini yakni generasi tech savvy (melek teknologi). Mereka diklaim lebih menguasai teknologi dibandingkan generasi sebelumnya karena lekat dengan penggunaan gadget, smartphone, laptop , dan perangkat lainnya.
Klaim bahwa generasi milenial lebih melek teknologi juga didasarkan pada kemampuan mereka untuk membuat konten dengan memanfaatkan platform digital. Seperti media sosial maupun aplikasi yang dikembangkan oleh app developer atau web developer.
Pakar bisnis dan pemasaran Yuswohady mengakui, era modern saat ini tidak bisa dilepaskan dari teknologi. Teknologi sudah seperti kebutuhan primer karena hampir semua orang saat ini sudah memiliki telepon pintar, memakai aplikasi digital, dan lainnya.
Managing Partner Inventure itu berpandangan bahwa istilah tech savvy saat ini lebih layak disematkan ketika teknologi kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) seperti virtual reality (VR) atau augmented reality (AR) hadir. Sementara media sosial bukan lagi tech savvy karena sudah lumrah digunakan mayoritas orang dan dianggap sudah biasa.
“Pengguna teknologi digital saat ini dalam dua kelompok berdasarkan tujuan penggunaan atau pemanfaatannya. Pertama, untuk kegiatan produktif seperti bisnis, pendidikan, dan lainnya. Sisanya adalah nonproduktif seperti mencari hiburan, bergaya, dan lainnya,” tegasnya di Jakarta kemarin.
Dia menilai, ada yang kreatif dan jeli dalam memanfaatkan teknologi digital untuk kegiatan produktif. Namun, jumlahnya masih sedikit, sebagian besar masih menggunakan teknologi untuk bersenang-senang.
Karena itu, agar predikat tech savvy tetap tersemat pada generasi milenial, diperlukan kiprah yang lebih besar lagi untuk menghadirkan karya-karya kreatif yang bermanfaat dan memberikan kontribusi kepada masyarakat. Sebab, saat ini kreativitas generasi tech savvy ini masih sebatas menghasilkan konten di platform media sosial.
Pakar teknologi informasi Heru Sutadi menilai hampir semua orang saat ini sudah menjadi bagian dari tech savvy. Mereka sudah melekat dengan teknologi masa kini dengan memanfaatkan smartphone, memakai aplikasi digital, dan lainnya. Penggunaannya pun mulai dari kalangan anak hingga dewasa.
“Saat ini posisi kita banyak yang sudah menjadi bagian dari tech savvy menjadi teknologi digital sebagai alat untuk menghasilkan sesuatu yang kreatif dan produktif, namun memang masih lebih banya penonton atau pasar. Hal itu karena cara pandang terhadap teknologi berbeda, begitu juga dengan kemampuan menggunakannya,” tutur Heru.
Direktur Eksekutif ICT Institute itu menilai kehadiran gawai saat ini sudah menjadi alat bantu untuk semua aktivitas. Misalnya, kegiatan belajar saat ini sudah memakai gawai. Begitu juga saat mau keluar rumah dan pesan transportasi tinggal melalui aplikasi di ponsel. Ketika ingin pesan makanan, main games, atau mencari peta arah tujuan juga semua memanfaatkan gawai sehingga ketergantungan terhadap teknologi cerdas ini semakin tinggi.
Begitu melekatnya dengan teknologi, saat ini banyak orang pun berlomba menjadi kreator. Meski jumlahnya kian meningkat, menurut Heru, tidak sedikit juga yang kemudian mundur lantaran tak kuat menghadapi persaingan yang kini didominasi kalangan selebritas.
“Selebritas isinya hampir seragam. Gerebek rumah semua ikutan, social experiment semua ikutan, cerita rumah hantu, atau membelikan pasangan mobil baru atau rumah baru yang sebenarnya endorse. Sebagian publik lelah dengan konten selebritas yang pamer kekayaan dan sekarang banyak melihat konten yang mencerahkan, berisi, dan menampilkan sesuatu yang berbeda,” ucapnya.
Lebih lanjut, Heru mengatakan, tech savvy juga memerlukan dukungan infrastruktur internet. Maka, sangat wajar bila kota besar yang lebih diuntungkan karena sudah memiliki fasilitas jaringan yang lebih baik ketimbang di daerah perdesaan atau pelosok. Heru juga menilai tech savvy perlu didukung melalui pelatihan atau edukasi agar membuat penggunanya kreatif dan produktif.
“Ini yang masih minim, masyarakat akhirnya mencari jalan sendiri, berbagi pengalaman satu ke yang lainnya. Disinilah harus pemerintah lebih berperan,” pungkasnya.
Sejatinya masih banyak kendala yang harus dihadapi oleh generasi tech savvy ini. Di luar kota-kota besar misalnya, anak-anak muda masih kesulitan untuk mengembangkan minatnya dalam membangun perusahaan rintisan, terutama yang berbasis teknologi informasi (TI). Hal ini lantaran belum meratanya kesempatan berkarya, juga infrastruktur teknologinya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk yang masuk kategori generasi milenial (1981-1996) sebanyak 69,9 juta. Sedangkan generasi Z yang lahir pada kurun waktu 1997-2012 berjumlah 75,49 juta jiwa. Butuh sumber daya manusia (SDM) yang besar untuk mendapatkan talenta digital yang bisa melahirkan berbagai perusahaan rintisan dan aplikasi yang mendukung bisnisnya.
Di sisi lain, jumlah itu merupakan pasar yang potensial bagi perusahaan rintisan untuk menawarkan produknya. Masalahnya, mereka yang melek dan menguasai TI berkumpul di kota-kota besar. Mereka pula yang banyak menikmati infrastruktur internet dan pendidikan yang memadai sehingga mudah mengakses segala sesuatu yang terbaru. Perusahaan-perusahaan rintisan pun sebagian besar lahir di kota-kota besar.
Ketua Umum Asosiasi Startup Teknologi Indonesia (Atsindo) Handito Joewono mengatakan, harus diakui anak-anak muda di kota lebih banyak melahirkan perusahaan rintisan berbasis teknologi. Alasannya, ekosistem, termasuk para programmer-nya, banyak bermukim di kota besar. Namun, bukan berarti tidak ada orang daerah yang melahirkan perusahaan rintisan.
Handito menyebut, perusahaan di daerah biasanya tidak banyak memanfaatkan TI. Mereka lebih banyak mengembangkan teknologi untuk pertanian, peternakan, perikanan, dan sebagainya. Dia menyarankan pemerintah memaksimalkan program Kampus Merdeka besutan Kemendikbudrisktek. Dalam program itu ada yang namanya Matching Fund. Ini pendanaan yang dilakukan perguruan tinggi kepada perusahaan-perusahaan baru.
“Akhirnya banyak menghasilkan startup di daerah. Kedua, ada program magang dan studi independen. Selama ini magang sesuatu yang biasa. Sekarang boleh magang satu semester. Banyak anak muda yang magang di perusahaan besar bisa sampai dua semester. Ini akan membuat proses pemanfaatan teknologi berjalan efektif,” ujarnya saat dihubungi KORAN SINDO, Jumat (6/08/2021).
Handito menerangkan, jika daerah ingin maju dalam penguasaan dan pemanfaatan TI, mereka harus berkolaborasi dengan perguruan tinggi. Lembaga pendidikan akan berfungsi sebagai fasilitator pengembangan teknologi bagi anak-anak muda di daerah tersebut. Atsindo mendorong para anak muda yang menciptakan perusahaan rintisan untuk bersabar.
Mereka harus membuat model bisnis yang jelas lebih dahulu. Tentu saja, perusahaan itu harus sudah berjalan. Jangan belum apa-apa sudah mencari investor. Handito mengungkapkan pola investor dalam membenamkan modal sudah berubah. Lima tahun lalu, para investor itu mengharapkan ide-ide kreatif.
“Idenya yang dihargai karena nanti bisnisnya sudah jalan, dia tinggal injeksi modal dan orang. Diambil alih startup-nya,” tuturnya.
Belakangan, para pemilik perusahaan rintisan menyadari itu. Mereka mulai memapankan diri dan berkolaborasi dengan perusahaan-perusahaan rintisan kecil. Ini mencontoh model GoJek dan Tokopedia, tapi mereka sudah skala besar. Penguatan tidak bisa lagi hanya mengandalkan investor.
“Startup kadang join venture. Banyak yang sadar kalau mengerjakan sendiri masih kurang bisa,” jelasnya.
Atsindo, menurutnya, kerap berbagi pengetahuan dan pengalaman dalam pengembangan perusahaan rintisan kepada para pemain baru. Atsindo juga membantu mempertemukan mereka dengan mitra di luar negeri seperti pendanaan. Tentu saja, Atsindo menyediakan mekanisme untuk saling berkolaborasi.
Pembinaan Pemerintah
Juru Bicara Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Dedy Permadi mengatakan, pihaknya aktif melakukan pembinaan terhadap masyarakat di daerah melalui peningkatan literasi dan keterampilan digital. Kementerian Kominfo memiliki beberapa program seperti Gerakan Nasional Literasi Digital Siberkasi dengan target peserta sebanyak 12,4 juta orang pada tahun ini.
Tiga tahun ke depan jumlah peserta yang ditarget mencapai 50 juta dan tersebar di 514 kabupaten/kota. Ada empat pilar yang menjadi fokus pelatihan, yakni cakap bermedia digital, budaya, aman, dan etis bermedia digital. Pemerintah juga berencana memberikan 700.000 beasiswa dalam bingkai Talent Scholarship.
Selain itu, ada program Digital Leadership Academy. Ini bertujuan melahirkan para pengambil kebijakan yang paham dengan lanskap isu digital. Program lainnya, yakni Sekolah Beta untuk pelaku usaha ekonomi digital, 1.000 startup digital, Startup Studio, dan Hub.id. Semua itu sebagai wadah pengembangan kemampuan dan upscaling usaha bagi masyarakat yang berminat menjadi pionir perusahaan rintisan dan ekonomi berbasis teknologi.
Dedy mengklaim, Kementerian Kominfo telah berkolaborasi dengan penggiat perusahaan rintisan nasional untuk memberikan pendampingan dan pengembangan perusahaan rintisan di daerah. Saat ini program ini telah hadir di 20 kota. Bukan perkara mudah menjangkau dan mendorong masyarakat di daerah untuk cepat berkembang. Sebab, mereka mengalami sejumlah masalah, modal, penguasaan iptek, infrastruktur, dan tidak ada mentor bisnis.
“Dari sisi Kementerian Kominfo, tantangannya adalah merencanakan metode pengajaran dan kurikulum program pengembangan keterampilan digital yang inklusif. Juga, mengakomodasi ragam kebutuhan wilayah Indonesia. Namun, dengan terus mengevaluasi dan memutakhirkan program yang ada, kami percaya diri bahwa kendala tersebut dapat terselesaikan,” ucapnya kepada KORAN SINDO kemarin.
Dedy mengungkapkan, berbagai asosiasi TIK, digital, e-commerce, dan perusahaan teknologi telah banyak berkontribusi dalam pengembangan masyarakat di perdesaan dan pelosok. ”Berbagai inisiasi pengembangan kapasitas digital seperti Gerakan Nasional Literasi Digital, Digital Talent Scholarship, dan Starupdigital.id dilakukan dalam kolaborasi erat dengan perwakilan asosiasi,” pungkasnya.
Pengamat Pendidikan dari Universitas Paramadina Totok Amin menilai, pandemi saat ini membuat masyarakat dari semua usia semakin dekat dengan teknolgi. Hal ini dinilai sebagai kesempatan besar untuk meningkatkan kualitas untuk pandai di bidang teknologi infromasi.
“Mulai dari sekarang, khususnya anak SD (belajar) untuk berpikir logis, kritis dapat memecahkan masalah, sensitif dengan masalah lalu, kreatif dan komunikatif,” jelas Totok.
Itu semua merupakan soft skill sebagai bekal awal untuk melanjutkan pada kompetensi teknologi informasi yang lain seperti coding dan programming. Seorang programmer harus memiliki pikiran logis dahulu sebelum dia bisa menyelesaikan coding.
Dia menilai, kurikulum di sekolah juga harus menyesuaikan dengan tantangan ke depan, yakni menciptakan sumber daya manusia (SDM) unggul yang menguasai teknologi. Apakah kurikulum itu masih relevan dengan kebutuhan lima tahun mendatang. “Sebenarnya sudah menuju ke arah digital karena Kemendikbud memberikap laptop kepad anak-anak dengan anggaran fantastis. Tetapi, yang dibutuhkan bukan hanya secara fisik anak memiliki perangkat, namun kelengkapan lain guru dan anak itu sendiri apakah mereka sudah siap,” tuturnya.
Para guru pun dapat terus meningkatkan kemampuan digital, mendampingi anak yang sekarang sudah belajar menggunakan laptop. Semua bahan pengajaran harus mampu memberikan soft skill sebagai bekal untuk belajar teknologi informasi lebih lanjut.
Klaim bahwa generasi milenial lebih melek teknologi juga didasarkan pada kemampuan mereka untuk membuat konten dengan memanfaatkan platform digital. Seperti media sosial maupun aplikasi yang dikembangkan oleh app developer atau web developer.
Pakar bisnis dan pemasaran Yuswohady mengakui, era modern saat ini tidak bisa dilepaskan dari teknologi. Teknologi sudah seperti kebutuhan primer karena hampir semua orang saat ini sudah memiliki telepon pintar, memakai aplikasi digital, dan lainnya.
Managing Partner Inventure itu berpandangan bahwa istilah tech savvy saat ini lebih layak disematkan ketika teknologi kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) seperti virtual reality (VR) atau augmented reality (AR) hadir. Sementara media sosial bukan lagi tech savvy karena sudah lumrah digunakan mayoritas orang dan dianggap sudah biasa.
“Pengguna teknologi digital saat ini dalam dua kelompok berdasarkan tujuan penggunaan atau pemanfaatannya. Pertama, untuk kegiatan produktif seperti bisnis, pendidikan, dan lainnya. Sisanya adalah nonproduktif seperti mencari hiburan, bergaya, dan lainnya,” tegasnya di Jakarta kemarin.
Dia menilai, ada yang kreatif dan jeli dalam memanfaatkan teknologi digital untuk kegiatan produktif. Namun, jumlahnya masih sedikit, sebagian besar masih menggunakan teknologi untuk bersenang-senang.
Karena itu, agar predikat tech savvy tetap tersemat pada generasi milenial, diperlukan kiprah yang lebih besar lagi untuk menghadirkan karya-karya kreatif yang bermanfaat dan memberikan kontribusi kepada masyarakat. Sebab, saat ini kreativitas generasi tech savvy ini masih sebatas menghasilkan konten di platform media sosial.
Pakar teknologi informasi Heru Sutadi menilai hampir semua orang saat ini sudah menjadi bagian dari tech savvy. Mereka sudah melekat dengan teknologi masa kini dengan memanfaatkan smartphone, memakai aplikasi digital, dan lainnya. Penggunaannya pun mulai dari kalangan anak hingga dewasa.
“Saat ini posisi kita banyak yang sudah menjadi bagian dari tech savvy menjadi teknologi digital sebagai alat untuk menghasilkan sesuatu yang kreatif dan produktif, namun memang masih lebih banya penonton atau pasar. Hal itu karena cara pandang terhadap teknologi berbeda, begitu juga dengan kemampuan menggunakannya,” tutur Heru.
Direktur Eksekutif ICT Institute itu menilai kehadiran gawai saat ini sudah menjadi alat bantu untuk semua aktivitas. Misalnya, kegiatan belajar saat ini sudah memakai gawai. Begitu juga saat mau keluar rumah dan pesan transportasi tinggal melalui aplikasi di ponsel. Ketika ingin pesan makanan, main games, atau mencari peta arah tujuan juga semua memanfaatkan gawai sehingga ketergantungan terhadap teknologi cerdas ini semakin tinggi.
Begitu melekatnya dengan teknologi, saat ini banyak orang pun berlomba menjadi kreator. Meski jumlahnya kian meningkat, menurut Heru, tidak sedikit juga yang kemudian mundur lantaran tak kuat menghadapi persaingan yang kini didominasi kalangan selebritas.
“Selebritas isinya hampir seragam. Gerebek rumah semua ikutan, social experiment semua ikutan, cerita rumah hantu, atau membelikan pasangan mobil baru atau rumah baru yang sebenarnya endorse. Sebagian publik lelah dengan konten selebritas yang pamer kekayaan dan sekarang banyak melihat konten yang mencerahkan, berisi, dan menampilkan sesuatu yang berbeda,” ucapnya.
Lebih lanjut, Heru mengatakan, tech savvy juga memerlukan dukungan infrastruktur internet. Maka, sangat wajar bila kota besar yang lebih diuntungkan karena sudah memiliki fasilitas jaringan yang lebih baik ketimbang di daerah perdesaan atau pelosok. Heru juga menilai tech savvy perlu didukung melalui pelatihan atau edukasi agar membuat penggunanya kreatif dan produktif.
“Ini yang masih minim, masyarakat akhirnya mencari jalan sendiri, berbagi pengalaman satu ke yang lainnya. Disinilah harus pemerintah lebih berperan,” pungkasnya.
Sejatinya masih banyak kendala yang harus dihadapi oleh generasi tech savvy ini. Di luar kota-kota besar misalnya, anak-anak muda masih kesulitan untuk mengembangkan minatnya dalam membangun perusahaan rintisan, terutama yang berbasis teknologi informasi (TI). Hal ini lantaran belum meratanya kesempatan berkarya, juga infrastruktur teknologinya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk yang masuk kategori generasi milenial (1981-1996) sebanyak 69,9 juta. Sedangkan generasi Z yang lahir pada kurun waktu 1997-2012 berjumlah 75,49 juta jiwa. Butuh sumber daya manusia (SDM) yang besar untuk mendapatkan talenta digital yang bisa melahirkan berbagai perusahaan rintisan dan aplikasi yang mendukung bisnisnya.
Di sisi lain, jumlah itu merupakan pasar yang potensial bagi perusahaan rintisan untuk menawarkan produknya. Masalahnya, mereka yang melek dan menguasai TI berkumpul di kota-kota besar. Mereka pula yang banyak menikmati infrastruktur internet dan pendidikan yang memadai sehingga mudah mengakses segala sesuatu yang terbaru. Perusahaan-perusahaan rintisan pun sebagian besar lahir di kota-kota besar.
Ketua Umum Asosiasi Startup Teknologi Indonesia (Atsindo) Handito Joewono mengatakan, harus diakui anak-anak muda di kota lebih banyak melahirkan perusahaan rintisan berbasis teknologi. Alasannya, ekosistem, termasuk para programmer-nya, banyak bermukim di kota besar. Namun, bukan berarti tidak ada orang daerah yang melahirkan perusahaan rintisan.
Handito menyebut, perusahaan di daerah biasanya tidak banyak memanfaatkan TI. Mereka lebih banyak mengembangkan teknologi untuk pertanian, peternakan, perikanan, dan sebagainya. Dia menyarankan pemerintah memaksimalkan program Kampus Merdeka besutan Kemendikbudrisktek. Dalam program itu ada yang namanya Matching Fund. Ini pendanaan yang dilakukan perguruan tinggi kepada perusahaan-perusahaan baru.
“Akhirnya banyak menghasilkan startup di daerah. Kedua, ada program magang dan studi independen. Selama ini magang sesuatu yang biasa. Sekarang boleh magang satu semester. Banyak anak muda yang magang di perusahaan besar bisa sampai dua semester. Ini akan membuat proses pemanfaatan teknologi berjalan efektif,” ujarnya saat dihubungi KORAN SINDO, Jumat (6/08/2021).
Handito menerangkan, jika daerah ingin maju dalam penguasaan dan pemanfaatan TI, mereka harus berkolaborasi dengan perguruan tinggi. Lembaga pendidikan akan berfungsi sebagai fasilitator pengembangan teknologi bagi anak-anak muda di daerah tersebut. Atsindo mendorong para anak muda yang menciptakan perusahaan rintisan untuk bersabar.
Mereka harus membuat model bisnis yang jelas lebih dahulu. Tentu saja, perusahaan itu harus sudah berjalan. Jangan belum apa-apa sudah mencari investor. Handito mengungkapkan pola investor dalam membenamkan modal sudah berubah. Lima tahun lalu, para investor itu mengharapkan ide-ide kreatif.
“Idenya yang dihargai karena nanti bisnisnya sudah jalan, dia tinggal injeksi modal dan orang. Diambil alih startup-nya,” tuturnya.
Belakangan, para pemilik perusahaan rintisan menyadari itu. Mereka mulai memapankan diri dan berkolaborasi dengan perusahaan-perusahaan rintisan kecil. Ini mencontoh model GoJek dan Tokopedia, tapi mereka sudah skala besar. Penguatan tidak bisa lagi hanya mengandalkan investor.
“Startup kadang join venture. Banyak yang sadar kalau mengerjakan sendiri masih kurang bisa,” jelasnya.
Atsindo, menurutnya, kerap berbagi pengetahuan dan pengalaman dalam pengembangan perusahaan rintisan kepada para pemain baru. Atsindo juga membantu mempertemukan mereka dengan mitra di luar negeri seperti pendanaan. Tentu saja, Atsindo menyediakan mekanisme untuk saling berkolaborasi.
Pembinaan Pemerintah
Juru Bicara Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Dedy Permadi mengatakan, pihaknya aktif melakukan pembinaan terhadap masyarakat di daerah melalui peningkatan literasi dan keterampilan digital. Kementerian Kominfo memiliki beberapa program seperti Gerakan Nasional Literasi Digital Siberkasi dengan target peserta sebanyak 12,4 juta orang pada tahun ini.
Tiga tahun ke depan jumlah peserta yang ditarget mencapai 50 juta dan tersebar di 514 kabupaten/kota. Ada empat pilar yang menjadi fokus pelatihan, yakni cakap bermedia digital, budaya, aman, dan etis bermedia digital. Pemerintah juga berencana memberikan 700.000 beasiswa dalam bingkai Talent Scholarship.
Selain itu, ada program Digital Leadership Academy. Ini bertujuan melahirkan para pengambil kebijakan yang paham dengan lanskap isu digital. Program lainnya, yakni Sekolah Beta untuk pelaku usaha ekonomi digital, 1.000 startup digital, Startup Studio, dan Hub.id. Semua itu sebagai wadah pengembangan kemampuan dan upscaling usaha bagi masyarakat yang berminat menjadi pionir perusahaan rintisan dan ekonomi berbasis teknologi.
Dedy mengklaim, Kementerian Kominfo telah berkolaborasi dengan penggiat perusahaan rintisan nasional untuk memberikan pendampingan dan pengembangan perusahaan rintisan di daerah. Saat ini program ini telah hadir di 20 kota. Bukan perkara mudah menjangkau dan mendorong masyarakat di daerah untuk cepat berkembang. Sebab, mereka mengalami sejumlah masalah, modal, penguasaan iptek, infrastruktur, dan tidak ada mentor bisnis.
“Dari sisi Kementerian Kominfo, tantangannya adalah merencanakan metode pengajaran dan kurikulum program pengembangan keterampilan digital yang inklusif. Juga, mengakomodasi ragam kebutuhan wilayah Indonesia. Namun, dengan terus mengevaluasi dan memutakhirkan program yang ada, kami percaya diri bahwa kendala tersebut dapat terselesaikan,” ucapnya kepada KORAN SINDO kemarin.
Dedy mengungkapkan, berbagai asosiasi TIK, digital, e-commerce, dan perusahaan teknologi telah banyak berkontribusi dalam pengembangan masyarakat di perdesaan dan pelosok. ”Berbagai inisiasi pengembangan kapasitas digital seperti Gerakan Nasional Literasi Digital, Digital Talent Scholarship, dan Starupdigital.id dilakukan dalam kolaborasi erat dengan perwakilan asosiasi,” pungkasnya.
Pengamat Pendidikan dari Universitas Paramadina Totok Amin menilai, pandemi saat ini membuat masyarakat dari semua usia semakin dekat dengan teknolgi. Hal ini dinilai sebagai kesempatan besar untuk meningkatkan kualitas untuk pandai di bidang teknologi infromasi.
“Mulai dari sekarang, khususnya anak SD (belajar) untuk berpikir logis, kritis dapat memecahkan masalah, sensitif dengan masalah lalu, kreatif dan komunikatif,” jelas Totok.
Itu semua merupakan soft skill sebagai bekal awal untuk melanjutkan pada kompetensi teknologi informasi yang lain seperti coding dan programming. Seorang programmer harus memiliki pikiran logis dahulu sebelum dia bisa menyelesaikan coding.
Dia menilai, kurikulum di sekolah juga harus menyesuaikan dengan tantangan ke depan, yakni menciptakan sumber daya manusia (SDM) unggul yang menguasai teknologi. Apakah kurikulum itu masih relevan dengan kebutuhan lima tahun mendatang. “Sebenarnya sudah menuju ke arah digital karena Kemendikbud memberikap laptop kepad anak-anak dengan anggaran fantastis. Tetapi, yang dibutuhkan bukan hanya secara fisik anak memiliki perangkat, namun kelengkapan lain guru dan anak itu sendiri apakah mereka sudah siap,” tuturnya.
Para guru pun dapat terus meningkatkan kemampuan digital, mendampingi anak yang sekarang sudah belajar menggunakan laptop. Semua bahan pengajaran harus mampu memberikan soft skill sebagai bekal untuk belajar teknologi informasi lebih lanjut.
(ynt)