Ingin Bersaing? Literasi Digital UMKM Harus Ditingkatkan

Sabtu, 14 Agustus 2021 - 13:07 WIB
loading...
A A A
Pelatihan biasanya berupa cara bagaimana mengunduh dan mengoperasikan aplikasi. Terlihat sederhana bagi orang-orang yang sudah akrab dengan gawai dan teknologi informasi (TI). Namun, situasi di lapangan tak semudah yang dibayangkan. Nyoman Adhiarna pernah dikeluhkan pelaku UMKM mengenai kesulitan mereka itu.

Mereka yang berproduksi pun bilang, cukup satu orang yang diajari aplikasi dan cara berjualan secara daring, sisanya cukup fokus pada produksi. Nyoman langsung menolak. Baginya, semuanya harus bisa mengoperasikan gawai, melek teknologi informasi (TI), dan berjualan secara daring dengan fasih. Hambatan lainnya, banyak pelaku UMKM yang belum memiliki ponsel pintar. Ini menyulitkan Kementerian Kominfo dalam memberikan pelatihan secara daring dan mengajak mereka bermigrasi ke pasar digital.



Tahun depan Kemenkominfo tidak lagi fokus pada pelatihan penjualan. Kementerian ini akan fokus pada adopsi teknologi digital, terutama bagi UMKM. Nyoman menjelaskan, mereka akan diajari penggunaan QRIS sehingga transaksi bisa via gawai. Barang terjual dan uang yang masuk langsung tercatat pada pembukuan. Pelaku UMKM pun akan diberikan pelatihan bagaimana mengoperasikan aplikasi laporan keuangan dan manajemen ketersediaan barang.

Lewat marketplace para pelaku UMKM di berbagai daerah bisa menawarkan produknya ke seluruh dunia. Marketplace ini membuat cara berdagang menjadi mudah dengan berbagai fiturnya. Harus diakui, masih banyak yang menggunakan media sosial seperti Twitter, Facebook, dan Instagram sebagai tempat mereka berjualan. Nyoman menilai itu sebenarnya tidak efektif.

Apkasi Dorong UMKM Melek Digital
Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) mencatat, jumlah UMKM yang telah terhubung (on boarding) ke dalam ekosistem digital baru 8 juta. "Salah satu daerah yang memiliki potensi bagus dalam pemanfaatan digitalisasi yaitu DKI Jakarta yang 41,6% UMKM di sini sudah menggunakan media sosial dan pemasaran digital dalam operasional usaha," tutur Sekjen Apkasi Adnan Purichta Ichsan.

Selain DKI Jakarta, banyak pelaku UMKM di Jawa Barat yang mulai memanfaatkan peluang bisnis di pasar digital. Aktivitas pelaku UMKM Jawa Barat di marketplace pun semakin masif. "Di salah satu marketplace, ada kenaikan sekitar 31% UMKM‎ yang on boarding. Lalu, aktivitas UMKM Jawa Barat juga meningkat, ini terlihat dari pelaku UMKM di daerah tersebut yang aktif di marketplace mencapai 57%," tambahnya.

Salah satu ‎faktor penyebab meningkatnya aktivitas UMKM Jawa Barat di pasar digital adalah adanya Gerakan Nasional (Gernas) ‎Bangga Buatan Indonesia. Selain mempromosikan produk UMKM, dia menganggap Gernas BBI mampu meningkatkan kepercayaan dan antusiasme masyarakat untuk membeli produk UMKM dalam negeri.

Gernas BBI di Jawa Barat membuat nilai transaksi dari penjualan langsung mencapai Rp2,7 miliar. Angka tersebut berpotensi meningkat karena belum semua kabupaten dan kota melaporkan. Kemudian, Dinas Koperasi dan Usaha Kecil (KUK) Jawa Barat terus menginventarisasi nilai transaksi dari penjualan tidak langsung atau online. "Hampir ada 100 event dalam Gernas BBI, tapi baru beberapa kabupaten dan kota yang melapor ke kami, transaksinya Rp2,7 miliar. Itu penjualan langsung," tuturnya.

Meskipun di beberapa daerah pemanfaatan literasi digital sudah banyak dikembangkan oleh UMKM, di daerah tertentu yang memiliki potensi UMKM tinggi pun belum sepenuhnya "melek" digitalisasi. Salah satunya di DI Yogyakarta, daerah dengan 521.000 UMKM dan didominasi oleh sektor nonpertanian (98,7%). Dari jumlah itu perinciannya Sleman 104.395 UMKM, Bantul 138.332, Gunungkidul 111.655, dan Kulonprogo 64.054. "Para pelaku UMKM ini banyak menghadapi persoalan. Tidak hanya infrastruktur internet, tetapi gagap teknologi, kurang inovasi, modal terbatas, hingga tidak memiliki badan hukum. Bahkan, ada sekitar 87,22% UMKM di DI Yogyakarta ini tidak menjalin kemitraan, lalu 97,67% tidak berbadan hukum," ujarnya.

Sebagian besar UMKM di daerah tersebut tidak menggunakan teknologi. Padahal, di era saat ini teknologi digital sangat dibutuhkan oleh pelaku UMKM agar memiliki daya saing. "Mereka lebih mengedepankan penjualannya secara manual, terbukti ada 90,96% UMKM di DI Yogyakarta tidak menggunakan komputer dalam usahanya. UMKM yang menggunakan komputer hanya 9%," ungkapnya.

Di sisi lain, UMKM yang memanfaatkan teknologi digital dalam pemasarannya pun jarang yang secara khusus menggunakan website. Mereka lebih banyak menggunakan marketplace. "Sehingga kadang dibajak oleh pembeli asing, lalu diborong untuk dijual lagi," lanjutnya.

Di daerah-daerah lain di luar Jawa pun kondisinya tidak kurang memprihatinkan. Di Kalimantan Tengah (Kalteng), misalnya, hanya 40% yang memahami dunia digital. Alasan utamanya jelas, daerah ini masih terbentur berbagai masalah dan kendala di lapangan, salah satunya infrastruktur jaringan internet yang belum merata. Masih banyak wilayah Kal‎teng yang terkategorikan blank spot dan sama sekali belum terjamah internet. Belum lagi keterbatasan modal dan dana dari pelaku usaha untuk merambah ke dunia digital. "Faktor tambahan penguasaan dan keahlian mengoperasikan peralatan digital dan internet yang masih rendah ikut menjadi kendala digitalisasi UMKM ini," papar Adnan.

Sejauh ini Apkasi dan pemerintah sudah mengupayakan pemerataan jaringan internet. Sebab, hal ini merupakan kebutuhan mendasar bagi digitalisasi UMKM. "Kami pun melihat percepatan pembangunan, lalu bagaimana edukasinya, ini merupakan peran semua sektor. Baik pemerintah, industri, maupun komunitas seperti organisasi sosial," ujarnya.

Pakar pemasaran Hermawan Kartajaya menilai UMKM yang ingin go international harus melalui beberapa langkah. Pertama dari tradisional menjadi modern, khususnya dari sisi pembukuan harus rapi. Dia mengatakan, cara menyajikan dalam bentuk kemasan (packaging) juga perlu diperbaiki sehingga bisa diterima, khususnya saat dipasarkan secara offline. ’’Untuk pelatihan perlu diajari pembukuan, cara-cara agar mendapatkan KUR (kredit usaha rakyat), membuat proposal surat izin dan sebagainya,’’ katanya.

Langkah selanjutnya untuk go digital yakni UMKM harus memiliki database. Setiap pelanggan harus dicatat dan ada datanya agar mereka dapat ditawari kembali di kemudian hari. “Diajari mengumpulkan data dan penggunaannya. Bukan sekadar dikumpulkan, tapi bagaimana dari 1.000 konsumen ini berapa persen menjadi pelanggan tetap. Apa saja yang harus dilakukan untuk itu,” urai Founder & Chairman MarkPlus ini.

Tahap selanjutnya, UMKM harus go online, masuk ke dalam ekosistem marketplace. Tahap ini memang paling berat karena bertemu predator usaha. Hermawan menyebut predator usaha ialah industri dengan skala besar, dengan kapasitas produksi yang juga besar, harga lebih murah. Mereka itu yang siap memangsa UMKM dengan produk yang sama. Tidak mengherankan jika banyak UMKM yang kewalahan ketika go online karena mereka menghadapi pesaing besar dan banyak dengan produk yang sama. “Maka, harus ada pembeda. Kalau tidak akan habis. Pelatihannya semakin serius, mencakup entrepreneurship dan marketing,” sambungnya.

Tahap puncak yakni go global, masuk marketplace dunia atau secara langsung dibawa oleh perusahaan yang membinanya. Badan usaha milik negara (BUMN) dan perusahaan swasta memang memiliki kewajiban membina UMKM. Hermawan yang menjadi salah satu pelatih UMKM binaan PT Pertamina (Persero) tahu betul bagaimana BUMN serius membangun UMKM di Indonesia. Dari segi kurikulum hingga pendampingan saat go global. Untuk dapat dibawa ke ranah global, perusahaan juga memilih UMKM mana yang mampu. “Butuh nama besar seperti BUMN Pertamina dan pihak swasta seperti Astra yang membawa produk UMKM sehingga pasar luar negeri percaya,” ungkapnya.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2382 seconds (0.1#10.140)