Ingin Bersaing? Literasi Digital UMKM Harus Ditingkatkan
loading...
A
A
A
Di daerah-daerah lain di luar Jawa pun kondisinya tidak kurang memprihatinkan. Di Kalimantan Tengah (Kalteng), misalnya, hanya 40% yang memahami dunia digital. Alasan utamanya jelas, daerah ini masih terbentur berbagai masalah dan kendala di lapangan, salah satunya infrastruktur jaringan internet yang belum merata. Masih banyak wilayah Kal‎teng yang terkategorikan blank spot dan sama sekali belum terjamah internet. Belum lagi keterbatasan modal dan dana dari pelaku usaha untuk merambah ke dunia digital. "Faktor tambahan penguasaan dan keahlian mengoperasikan peralatan digital dan internet yang masih rendah ikut menjadi kendala digitalisasi UMKM ini," papar Adnan.
Sejauh ini Apkasi dan pemerintah sudah mengupayakan pemerataan jaringan internet. Sebab, hal ini merupakan kebutuhan mendasar bagi digitalisasi UMKM. "Kami pun melihat percepatan pembangunan, lalu bagaimana edukasinya, ini merupakan peran semua sektor. Baik pemerintah, industri, maupun komunitas seperti organisasi sosial," ujarnya.
Pakar pemasaran Hermawan Kartajaya menilai UMKM yang ingin go international harus melalui beberapa langkah. Pertama dari tradisional menjadi modern, khususnya dari sisi pembukuan harus rapi. Dia mengatakan, cara menyajikan dalam bentuk kemasan (packaging) juga perlu diperbaiki sehingga bisa diterima, khususnya saat dipasarkan secara offline. ’’Untuk pelatihan perlu diajari pembukuan, cara-cara agar mendapatkan KUR (kredit usaha rakyat), membuat proposal surat izin dan sebagainya,’’ katanya.
Langkah selanjutnya untuk go digital yakni UMKM harus memiliki database. Setiap pelanggan harus dicatat dan ada datanya agar mereka dapat ditawari kembali di kemudian hari. “Diajari mengumpulkan data dan penggunaannya. Bukan sekadar dikumpulkan, tapi bagaimana dari 1.000 konsumen ini berapa persen menjadi pelanggan tetap. Apa saja yang harus dilakukan untuk itu,” urai Founder & Chairman MarkPlus ini.
Tahap selanjutnya, UMKM harus go online, masuk ke dalam ekosistem marketplace. Tahap ini memang paling berat karena bertemu predator usaha. Hermawan menyebut predator usaha ialah industri dengan skala besar, dengan kapasitas produksi yang juga besar, harga lebih murah. Mereka itu yang siap memangsa UMKM dengan produk yang sama. Tidak mengherankan jika banyak UMKM yang kewalahan ketika go online karena mereka menghadapi pesaing besar dan banyak dengan produk yang sama. “Maka, harus ada pembeda. Kalau tidak akan habis. Pelatihannya semakin serius, mencakup entrepreneurship dan marketing,” sambungnya.
Tahap puncak yakni go global, masuk marketplace dunia atau secara langsung dibawa oleh perusahaan yang membinanya. Badan usaha milik negara (BUMN) dan perusahaan swasta memang memiliki kewajiban membina UMKM. Hermawan yang menjadi salah satu pelatih UMKM binaan PT Pertamina (Persero) tahu betul bagaimana BUMN serius membangun UMKM di Indonesia. Dari segi kurikulum hingga pendampingan saat go global. Untuk dapat dibawa ke ranah global, perusahaan juga memilih UMKM mana yang mampu. “Butuh nama besar seperti BUMN Pertamina dan pihak swasta seperti Astra yang membawa produk UMKM sehingga pasar luar negeri percaya,” ungkapnya.
Sejauh ini Apkasi dan pemerintah sudah mengupayakan pemerataan jaringan internet. Sebab, hal ini merupakan kebutuhan mendasar bagi digitalisasi UMKM. "Kami pun melihat percepatan pembangunan, lalu bagaimana edukasinya, ini merupakan peran semua sektor. Baik pemerintah, industri, maupun komunitas seperti organisasi sosial," ujarnya.
Pakar pemasaran Hermawan Kartajaya menilai UMKM yang ingin go international harus melalui beberapa langkah. Pertama dari tradisional menjadi modern, khususnya dari sisi pembukuan harus rapi. Dia mengatakan, cara menyajikan dalam bentuk kemasan (packaging) juga perlu diperbaiki sehingga bisa diterima, khususnya saat dipasarkan secara offline. ’’Untuk pelatihan perlu diajari pembukuan, cara-cara agar mendapatkan KUR (kredit usaha rakyat), membuat proposal surat izin dan sebagainya,’’ katanya.
Langkah selanjutnya untuk go digital yakni UMKM harus memiliki database. Setiap pelanggan harus dicatat dan ada datanya agar mereka dapat ditawari kembali di kemudian hari. “Diajari mengumpulkan data dan penggunaannya. Bukan sekadar dikumpulkan, tapi bagaimana dari 1.000 konsumen ini berapa persen menjadi pelanggan tetap. Apa saja yang harus dilakukan untuk itu,” urai Founder & Chairman MarkPlus ini.
Tahap selanjutnya, UMKM harus go online, masuk ke dalam ekosistem marketplace. Tahap ini memang paling berat karena bertemu predator usaha. Hermawan menyebut predator usaha ialah industri dengan skala besar, dengan kapasitas produksi yang juga besar, harga lebih murah. Mereka itu yang siap memangsa UMKM dengan produk yang sama. Tidak mengherankan jika banyak UMKM yang kewalahan ketika go online karena mereka menghadapi pesaing besar dan banyak dengan produk yang sama. “Maka, harus ada pembeda. Kalau tidak akan habis. Pelatihannya semakin serius, mencakup entrepreneurship dan marketing,” sambungnya.
Tahap puncak yakni go global, masuk marketplace dunia atau secara langsung dibawa oleh perusahaan yang membinanya. Badan usaha milik negara (BUMN) dan perusahaan swasta memang memiliki kewajiban membina UMKM. Hermawan yang menjadi salah satu pelatih UMKM binaan PT Pertamina (Persero) tahu betul bagaimana BUMN serius membangun UMKM di Indonesia. Dari segi kurikulum hingga pendampingan saat go global. Untuk dapat dibawa ke ranah global, perusahaan juga memilih UMKM mana yang mampu. “Butuh nama besar seperti BUMN Pertamina dan pihak swasta seperti Astra yang membawa produk UMKM sehingga pasar luar negeri percaya,” ungkapnya.
(ynt)