Perlu Solusi Komprehensif Agar Regulasi PLTS Atap Tak Bebani APBN dan PLN
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah perlu mencari jalan tengah sebagai alternatif dari rencana Kementerian ESDM merevisi Peraturan Menteri (Permen) ESDM No 49/2018 tentang Penggunaan Sistem PLTS Atap oleh konsumen PLN, agar APBN dan PLN tidak terbebani. Hal itu terkait dengan perubahan rasio ekspor-impor listrik dari 65% menjadi 100% dalam revisi tersebut, yang mengesankan menihilkan biaya saat listrik dari PLTS Atap dititipkan atau masuk ke jaringan PLN.
"Kalau di jaringan PLN harus bayar. Padahal salah satu misi BUMN itu untuk keuntungan. Kalau yang diuntungkan sebagian, maka tidak akan berlangsung lama," kata mantan Anggota Dewan Energi Nasional (2009-2014) Mukhtasor dalam diskusi bertajuk "Roadmap Pengembangan EBT di Indonesia" yang digelar E2S secara virtual, Kamis (19/8/2021).
Mukhtasor mengaku telah mengirimkan surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo dan menteri ESDM yang mengusulkan untuk mencari jalan tengah. Pasalnya, PLTS Atap penggunaan mahal, namun pemakaian sedikit. Kondisi ini menurutnya bisa membuat portofolio PLN tidak bagus.
"Persoalan di PLN justru kontribusinya bukan di PLN itu sendiri, tapi ada dari IPP (Independent Power Producer), sponsor dan lainnya. Untuk IPP feed in tariff maka harga akan naik dan ada risiko over supply,” kata guru besar Institut Teknologi 10 November Surabaya tersebut.
Mukhtasor mengatakan, jika selisih harga listrik PLTS Atap dibayar oleh APBN, maka itu akan membebani keuangan negara. Itupun dengan asumsi negara mampu mengalokasikan dana khusus di APBN untuk investasi EBT. "Khusus PLTS Atap saya sampaikan ke Presiden ada jalan tengah bagi semua pemangku kepentingan dan menjadi model gotong royong sebagai bangsa," ujarnya.
Negara, tegas Mukhtasor, harus mengambil peran kepemimpinan dan terdepan dalam transisi energi dengan mengintegrasikannya lewat transisi industri nasional di bidang EBT di dalam negeri. "Saya tidak ingin solusinya parsial yang akan memberatkan negara. solusinya harus komprehensif dengan cara rantai pasok diperkuat karena sudah ada tinggal nanti business to business," ungkapnya.
Menurut Mukhtasor, jika pemerintah memberikan kompensasi atau insentif, jangan diberikan di hilir, namun di hulu. Caranya dengan menurunkan biaya modal. Di hulu industri pemasok PLTS diberikan kompensasi, akhirnya kalau pasang PLTS Atap harganya lebih murah dan PLN tidak akan terganggu.
Sementara, Kepala Ekonom The Indonesia Economic Intelligence Sunarsip menekankan soal kondisi pasokan listrik di Jawa dan Bali yang sudah kelebihan pasokan. Gagasan baru dengan mengembangkan EBT melalui PLTS Atap, tegas dia, harus diperhitungkan kondisi kelebihan pasokan yang terjadi saat ini.
"Jangan sampai pengembangan masif PLTS Atap malah membebani PLN dan keuangan negara. Yang menjadi catatan bahwa sebenarnya target rencana induk energi disusun dengan asumsi yang optimistis, padahal realisasinya kita tidak selalu mengalami pertumbuhan ekonomi sampai 7%," ujarnya.
Pada kesempatan itu, Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan Ditjen EBTKE Kementerian ESDM Chrisnawan Aditya mengatakan, prinsip yang dipegang pemerintah sebagai regulator adalah harus imbang. "Bahwa regulasi itu tidak bisa memuaskan semua pihak, ketika timbangan lebih berat ke utility, akan ada reaksi dari pihak lain," ujarnya.
Dia juga menyanggah bahwa revisi Permen ESDM soal PLTS Atap mendorong harga ekspor-impor listrik akan naik dari 65% ke 100%. "PLTS Atap tidak untuk diperjualbelikan, yang kita tingkatkan adalah nilai ekspornya," kata dia.
Menurut dia, berdasarkan survei, nilai ekspor dari PLTS Atap adalah 20% lalu dikalikan 100%. Pengguna PLTS Atap pasti akan menggunakan untuk sendiri lebih dulu, sisanya diekspor. "Apakah nanti pendapatan PLN berkurang, sudah kami lakukan kajian. Memang pendapatan PLN akan turun," kata dia.
Sementara, Anggota DEN Satya W Yudha mengatakan, menyangkut PLN, tugas kenegaraan harus dipisahkan dari tugas industri murni. "Sekarang pun PLN sudah contracted take or pay. Ini menjadi hal yang tidak mudah," ujarnya.
"Kalau di jaringan PLN harus bayar. Padahal salah satu misi BUMN itu untuk keuntungan. Kalau yang diuntungkan sebagian, maka tidak akan berlangsung lama," kata mantan Anggota Dewan Energi Nasional (2009-2014) Mukhtasor dalam diskusi bertajuk "Roadmap Pengembangan EBT di Indonesia" yang digelar E2S secara virtual, Kamis (19/8/2021).
Mukhtasor mengaku telah mengirimkan surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo dan menteri ESDM yang mengusulkan untuk mencari jalan tengah. Pasalnya, PLTS Atap penggunaan mahal, namun pemakaian sedikit. Kondisi ini menurutnya bisa membuat portofolio PLN tidak bagus.
"Persoalan di PLN justru kontribusinya bukan di PLN itu sendiri, tapi ada dari IPP (Independent Power Producer), sponsor dan lainnya. Untuk IPP feed in tariff maka harga akan naik dan ada risiko over supply,” kata guru besar Institut Teknologi 10 November Surabaya tersebut.
Mukhtasor mengatakan, jika selisih harga listrik PLTS Atap dibayar oleh APBN, maka itu akan membebani keuangan negara. Itupun dengan asumsi negara mampu mengalokasikan dana khusus di APBN untuk investasi EBT. "Khusus PLTS Atap saya sampaikan ke Presiden ada jalan tengah bagi semua pemangku kepentingan dan menjadi model gotong royong sebagai bangsa," ujarnya.
Negara, tegas Mukhtasor, harus mengambil peran kepemimpinan dan terdepan dalam transisi energi dengan mengintegrasikannya lewat transisi industri nasional di bidang EBT di dalam negeri. "Saya tidak ingin solusinya parsial yang akan memberatkan negara. solusinya harus komprehensif dengan cara rantai pasok diperkuat karena sudah ada tinggal nanti business to business," ungkapnya.
Menurut Mukhtasor, jika pemerintah memberikan kompensasi atau insentif, jangan diberikan di hilir, namun di hulu. Caranya dengan menurunkan biaya modal. Di hulu industri pemasok PLTS diberikan kompensasi, akhirnya kalau pasang PLTS Atap harganya lebih murah dan PLN tidak akan terganggu.
Sementara, Kepala Ekonom The Indonesia Economic Intelligence Sunarsip menekankan soal kondisi pasokan listrik di Jawa dan Bali yang sudah kelebihan pasokan. Gagasan baru dengan mengembangkan EBT melalui PLTS Atap, tegas dia, harus diperhitungkan kondisi kelebihan pasokan yang terjadi saat ini.
"Jangan sampai pengembangan masif PLTS Atap malah membebani PLN dan keuangan negara. Yang menjadi catatan bahwa sebenarnya target rencana induk energi disusun dengan asumsi yang optimistis, padahal realisasinya kita tidak selalu mengalami pertumbuhan ekonomi sampai 7%," ujarnya.
Pada kesempatan itu, Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan Ditjen EBTKE Kementerian ESDM Chrisnawan Aditya mengatakan, prinsip yang dipegang pemerintah sebagai regulator adalah harus imbang. "Bahwa regulasi itu tidak bisa memuaskan semua pihak, ketika timbangan lebih berat ke utility, akan ada reaksi dari pihak lain," ujarnya.
Dia juga menyanggah bahwa revisi Permen ESDM soal PLTS Atap mendorong harga ekspor-impor listrik akan naik dari 65% ke 100%. "PLTS Atap tidak untuk diperjualbelikan, yang kita tingkatkan adalah nilai ekspornya," kata dia.
Menurut dia, berdasarkan survei, nilai ekspor dari PLTS Atap adalah 20% lalu dikalikan 100%. Pengguna PLTS Atap pasti akan menggunakan untuk sendiri lebih dulu, sisanya diekspor. "Apakah nanti pendapatan PLN berkurang, sudah kami lakukan kajian. Memang pendapatan PLN akan turun," kata dia.
Sementara, Anggota DEN Satya W Yudha mengatakan, menyangkut PLN, tugas kenegaraan harus dipisahkan dari tugas industri murni. "Sekarang pun PLN sudah contracted take or pay. Ini menjadi hal yang tidak mudah," ujarnya.
(fai)