Ekonomi Afghanistan Dibangun dari Ketergantungan Bantuan, Bagaimana Saat Dipimpin Taliban?

Jum'at, 20 Agustus 2021 - 05:24 WIB
loading...
Ekonomi Afghanistan Dibangun dari Ketergantungan Bantuan, Bagaimana Saat Dipimpin Taliban?
Ekonomi Afghanistan dibentuk oleh kerapuhan dan ketergantungan bantuan. Itu adalah gambaran yang disampaikan oleh Bank Dunia beberapa bulan sebelum Taliban mengambil alih. Foto/Dok BBC
A A A
KABUL - Ekonomi Afghanistan "dibentuk oleh kerapuhan dan ketergantungan bantuan". Itu adalah gambaran yang disampaikan oleh Bank Dunia beberapa bulan sebelum Taliban mengambil alih.

Prospek ekonomi Afghanistan diyakini bakal lebih genting saat ini, pasalnya bantuan keuangan ke depannya bakal penuh ketidakpastian. Afghanistan memang memiliki sumber daya mineral yang besar, tetapi situasi politik telah menghambat eksploitasi.



Ketergantungan bantuan terlihat sangat mencolok. Pada 2019, angka Bank Dunia menunjukkan bantuan pembangunan setara dengan 22% dari pendapatan nasional bruto (tidak sama dengan GDP, tetapi mendekati).

Angka tersebut sangat tinggi, tetapu sudah mengalami penurunan besar dari 49% yang dilaporkan Bank Dunia 10 tahun sebelumnya. Sekarang aliran bantuan itu dibayangi ketidakpastian.

Menteri Luar Negeri Jerman, Heike Maas mengatakan, kepada penyiar ZDF pekan lalu: "Kami tidak akan memberikan satu sen lain jika Taliban mengambil alih negara dan memperkenalkan hukum Syariah."

Lalu pendonor bantuan lainnya pasti akan mengamati perkembangan dengan cermat. Hingga akhirnya apakah bakal terus menyalurkan bantuan atau tidak?.

Korupsi Sebabkan Kesengsaraan

Kerapuhan yang dimaksud Bank Dunia diilustrasikan oleh tingkat pengeluaran yang sangat tinggi untuk keamanan sebelum pengambilalihan Taliban. Dimana tercata 29% dari PDB, dibandingkan dengan rata-rata 3% untuk negara-negara berpenghasilan rendah.

Keamanan dan masalah kronis terkait dengan korupsi berada di balik masalah lain yang terus-menerus terjadi di Afghanistan: Ditambah investasi bisnis asing yang sangat lemah.

Menurut data PBB, tidak ada pengumuman investasi baru dalam dua tahun terakhir yang melibatkan pebisnis asing. Sejak 2014, terpantau totalnya ada empat.

Mengambil contoh dua negara lain dari kawasan Asia Selatan, keduanya dengan populasi yang agak lebih kecil seperti Nepal telah berhasil 10 kali lebih banyak dan Sri Lanka 50 kali lebih banyak selama periode yang sama.

Bank Dunia menggambarkan sektor swasta Afghanistan sebagai ganng sempit. Pekerjaan terkonsentrasi di pertanian dengan produktivitas rendah, dimana 60% rumah tangga mendapatkan penghasilan dari pertanian.

Negara ini juga disebut memiliki ekonomi gelap. Ada penambangan ilegal dan tentu saja produksi opium dan kegiatan terkait seperti penyelundupan. Perdagangan narkoba telah menjadi sumber pendapatan penting bagi Taliban.

Kekayaan Mineral

Banyak yang mengatakan bahwa, ekonomi Afghanistan telah tumbuh sejak invasi AS pada tahun 2001. Namun angka-angka terkait Afghanistan tidak dapat dipercaya, tetapi apa yang mereka tunjukkan menurut Bank Dunia, adalah pertumbuhan tahunan secara rata-rata lebih dari 9% dalam 10 tahun dari 2003.

Setelah itu melambat (yang mungkin mencerminkan tingkat bantuan yang lebih rendah) ke tingkat rata-rata 2,5% antara 2015 dan 2020.

Negara ini memang memiliki sumber daya alam yang sangat besar. Namun dalam konteks dengan kondisi keamanan regional yang terjami serta minimnya korupsi, menjadikannya menarik bagi bisnis internasional.

Ada beberapa jenis mineral yang tersedia dalam jumlah besar, termasuk tembaga, kobalt, batubara dan bijih besi. Ada juga minyak dan gas serta batu mulia.

Salah satu dengan potensi yang sangat mencolok adalah lithium, logam yang digunakan dalam baterai untuk perangkat mobile dan mobil listrik. Akan menjadi sangat penting karena industri motor sedang melakukan transisi ke bentuk transportasi nol-karbon.

Kembali pada tahun 2010, seorang jenderal top AS mengatakan kepada New York Times bahwa potensi mineral Afghanistan "menakjubkan" dengan "banyak ifs, tentu saja".

Surat kabar itu juga melaporkan bahwa memo internal Departemen Pertahanan AS mengatakan negara itu bisa menjadi "Arab Saudinya lithium".

Namun potensi tersebut tidak ada yang mengeksploitasi. Dimana orang-orang Afghanistan melihatnya sebagai sesuatu yang tidak menguntungkan.

Kekuatan Asing

Ada banyak laporan bahwa China ingin terlibat. Tampaknya mereka memiliki hubungan yang lebih baik dengan Taliban daripada kekuatan Barat, sehingga mungkin memiliki keuntungan jika rezim baru memang memegang kekuasaan.

Namun, perusahaan-perusahaan China belum memenangkan kontrak untuk mengembangkan operasi tembaga dan minyak. Tetapi mereka sepertinya enggan untuk berkomitmen kecuali merasa masalah keamanan dan korupsi ditangani dengan baik.

Pertanyaan kunci bagi setiap calon investor yang bersaing keras, apakah itu China atau dari manapun. Apakah Taliban lebih mampu daripada pemerintah Afghanistan sebelumnya untuk menciptakan iklim investasi yang dibutuhkan.

Faktor lain yang mungkin mempengaruhi ekonomi adalah pekerjaan perempuan. Dalam dekade terakhir persentase populasi perempuan di atas 15 tahun dalam pekerjaan telah meningkat secara dramatis.

Meskipun pada 22% di 2019 masih rendah menurut standar internasional. Di bawah Taliban, belum diketahui apakah perubahan akan terus terjadi, jika tidak maka berpotensi semakin merusak prospek ekonomi.

Dalam waktu dekat, akan ada banyak ketidakpastian tentang stabilitas sektor keuangan. Banyak orang telah mencoba menarik uang mereka dari bank.

Afghan Islamic Press yang berbasis di Pakistan melaporkan seorang juru bicara Taliban menawarkan jaminan kepada pemilik bank, penukar uang, pedagang dan penjaga toko bahwa kehidupan dan properti mereka akan dilindungi.
(akr)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1402 seconds (0.1#10.140)