Taliban Kuasai Cadangan Mineral Rp14 Ribu Triliun di Afghanistan
loading...
A
A
A
LONDON - Jatuhnya Afghanistan ke tangan Taliban telah memicu krisis kemanusiaan hingga eksodus besar-besaran. Berkuasanya Taliban juga membawa fokus baru terkait potensi cadangan mineral di negara itu.
Negara termiskin dunia itu ternyata memiliki deposit mineral senilai hampir USD1 triliun atau sekitar Rp14.400 triliun dengan asumsi Rp14.400 per dolar AS. Sumber mineral seperti besi, tembaga dan emas tersebar di seluruh provinsi.
Tidak hanya itu, ada juga sumber mineral tanah jarang yang saat ini sedang menjadi incaran dunia yakni lithium untuk pengembangan baterai kendaraan listrik.
"Afghanistan tidak hanya kaya akan logam mulia, tetapi juga logam yang dibutuhkan di abad ke-21," kata Ilmuwan dari Ecological Futures Group Rod Schoonover seperti dikutip dari CNN Business, di Jakarta, Kamis (26/8/2021).
Permintaan logam seperti lithium dan kobalt, serta elemen tanah jarang seperti neodymium, melonjak ketika negara-negara mencoba beralih ke mobil listrik dan teknologi bersih lainnya untuk memangkas emisi karbon.
Badan Energi Internasional (IEA)mengatakan pada bulan Meibahwa pasokan global litium, tembaga, nikel, kobalt, dan elemen tanah jarang meningkat tajam atau dunia akan gagal dalam upayanya mengatasi krisis iklim. Tiga negara - Cina, Republik Demokratik Kongo dan Australia - saat ini menyumbang 75% dari produksi global lithium, kobalt, dan tanah jarang.
Menurut IEA, rata-rata mobil listrik membutuhkan mineral enam kali lebih banyak daripada mobil konvensional. Lithium, nikel dan kobalt sangat penting untuk baterai. Jaringan listrik juga membutuhkan tembaga dan aluminium dalam jumlah besar, sementara elemen tanah jarang digunakan dalam magnet yang dibutuhkan untuk membuat turbin angin bekerja.
Pemerintah AS dilaporkan telah memperkirakan bahwa deposit lithium di Afghanistan dapat menyaingi Bolivia sebagai negara dengan cadangan terbesar dunia.
"Jika Afghanistan dalam beberapa tahun ke depan bisa tenang, memungkinkan pengembangan sumber daya mineralnya. Itu bisa menjadi salah satu negara terkaya di kawasan itu dalam satu dekade," kata Mirzad dari Survei Geologi AS kepada majalah Science pada 2010. Dia memimpin Survei Geologi Afghanistan hingga 1979.
Negara termiskin dunia itu ternyata memiliki deposit mineral senilai hampir USD1 triliun atau sekitar Rp14.400 triliun dengan asumsi Rp14.400 per dolar AS. Sumber mineral seperti besi, tembaga dan emas tersebar di seluruh provinsi.
Tidak hanya itu, ada juga sumber mineral tanah jarang yang saat ini sedang menjadi incaran dunia yakni lithium untuk pengembangan baterai kendaraan listrik.
"Afghanistan tidak hanya kaya akan logam mulia, tetapi juga logam yang dibutuhkan di abad ke-21," kata Ilmuwan dari Ecological Futures Group Rod Schoonover seperti dikutip dari CNN Business, di Jakarta, Kamis (26/8/2021).
Permintaan logam seperti lithium dan kobalt, serta elemen tanah jarang seperti neodymium, melonjak ketika negara-negara mencoba beralih ke mobil listrik dan teknologi bersih lainnya untuk memangkas emisi karbon.
Badan Energi Internasional (IEA)mengatakan pada bulan Meibahwa pasokan global litium, tembaga, nikel, kobalt, dan elemen tanah jarang meningkat tajam atau dunia akan gagal dalam upayanya mengatasi krisis iklim. Tiga negara - Cina, Republik Demokratik Kongo dan Australia - saat ini menyumbang 75% dari produksi global lithium, kobalt, dan tanah jarang.
Menurut IEA, rata-rata mobil listrik membutuhkan mineral enam kali lebih banyak daripada mobil konvensional. Lithium, nikel dan kobalt sangat penting untuk baterai. Jaringan listrik juga membutuhkan tembaga dan aluminium dalam jumlah besar, sementara elemen tanah jarang digunakan dalam magnet yang dibutuhkan untuk membuat turbin angin bekerja.
Pemerintah AS dilaporkan telah memperkirakan bahwa deposit lithium di Afghanistan dapat menyaingi Bolivia sebagai negara dengan cadangan terbesar dunia.
"Jika Afghanistan dalam beberapa tahun ke depan bisa tenang, memungkinkan pengembangan sumber daya mineralnya. Itu bisa menjadi salah satu negara terkaya di kawasan itu dalam satu dekade," kata Mirzad dari Survei Geologi AS kepada majalah Science pada 2010. Dia memimpin Survei Geologi Afghanistan hingga 1979.