Nomor Identitas Terlalu Banyak, Jadi Penghambat Penerimaan Pajak
loading...
A
A
A
JAKARTA - Warga Negara Indonesia (WNI) saat ini memiliki banyak sekali identitas. Sedikitnya, paling tidak terdapat kemungkinan 32 identitas seorang WNI , seperti NIK, nomor KK, nomor SIM, nomor paspor, nomor akta kelahiran, dan lain sebagainya. Terlalu banyak nomor identitas tersebut sedikit banyak cukup memberi kesulitan baik dari warga negara itu sendiri, maupun bagi negara.
Mantan Direktur Jenderal Pajak (Dirjen Pajak) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) periode 2001- 2006 Hadi Poernomo mengatakan hal tersebut membuat kesulitan bagi negara, khususnya bagi aparat pajak, dengan banyaknya nomor identitas menjadi sulit untuk mengidentifikasi kebenaran SPT mengenai harta seorang wajib pajak yang dilaporkan dalam SPT tersebut.
“Menyadari hal tersebut, pemerintah sejak tahun 2001 telah mencanangkan sebuah nomor bersama sebagai Single Identity Number Pajak yang menyatukan banyak identitas warga Negara ke dalam satu nomor bersama,” kata Hadi dalam keterangan rilisnya di Jakarta, Rabu (1/9/2021).
SIN Pajak sendiri mengadopsi konsep transparansi, khususnya transparansi perpajakan. Konsep transparansi Pajak di Indonesia lahir tahun 1965 dimana Bung Karno mengeluarkan Perppu 2/1965 mengenai peniadaan rahasia bagi aparat pajak. Konsep tersebut dibangun kembali secara lebih modern dengan menggunakan IT dengan nama SIN Pajak sejak 2001. SIN Pajak adalah penyatuan data secara online dan terintegrasi seluruh data baik keuangan maupun nonkeuangan yang digunakan sebagai data pembanding atas laporan perpajakan dari wajib pajak.
Dia menjelaskan, Indonesia memang telah memiliki KTP elektronik. Namun, KTP elektronik tersebut belum dapat menjadi sebuah identitas tunggal karena hanya memuat data-data kependudukan.
“Hal tersebut berbeda dengan SIN Pajak yang memuat tidak hanya data non finansial, namun juga memuat data finansial dari seorang warga negara. Data tersebutlah yang menjadi dasar bagi aparat pajak untuk melakukan pengujian SPT dari wajib pajak,” jelasnya.
Di sisi lain, dasar hukum yang telah lengkap tersebut menjadikan SIN Pajak tersebut menjadi lebih kuat untuk dijadikan nomor tunggal yang digunakan secara bersama-sama.
Dalam UU KUP, konsep SIN sebagai manajemen informasi perpajakan dinyatakan sebagai kewajiban bagi setiap instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain, untuk memberikan data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan kepada Direktorat Jenderal Pajak. Dalam hal data dan informasi yang diberikan dianggap tidak mencukupi, maka Direktur Jenderal Pajak berwenang menghimpun data dan informasi untuk kepentingan penerimaan negara yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Data yang interkoneksi secara online dan tidak adanya campur tangan manusia dalam pengambilan data dan pengujian link and match menjadikan pengujiannya bersifat objektif. Mekanisme seperti ini akan dapat membuat penerimaan pajak tercapai.
“Hal tersebut dikarenakan tidak adanya lagi celah bagi Wajib Pajak untuk menyembunyikan sesuatu atau aparat pajak bermain-main karena seluruh celah kecurangan akan dapat diketahui dengan mudah dengan mekanisme pencocokan data pada Pusat Data,” pungkasnya.
Lihat Juga: Rincian APBN 2025 di Tahun Pertama Prabowo, Pendapatan Negara Ditarget Rp3.005,1 Triliun
Mantan Direktur Jenderal Pajak (Dirjen Pajak) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) periode 2001- 2006 Hadi Poernomo mengatakan hal tersebut membuat kesulitan bagi negara, khususnya bagi aparat pajak, dengan banyaknya nomor identitas menjadi sulit untuk mengidentifikasi kebenaran SPT mengenai harta seorang wajib pajak yang dilaporkan dalam SPT tersebut.
“Menyadari hal tersebut, pemerintah sejak tahun 2001 telah mencanangkan sebuah nomor bersama sebagai Single Identity Number Pajak yang menyatukan banyak identitas warga Negara ke dalam satu nomor bersama,” kata Hadi dalam keterangan rilisnya di Jakarta, Rabu (1/9/2021).
SIN Pajak sendiri mengadopsi konsep transparansi, khususnya transparansi perpajakan. Konsep transparansi Pajak di Indonesia lahir tahun 1965 dimana Bung Karno mengeluarkan Perppu 2/1965 mengenai peniadaan rahasia bagi aparat pajak. Konsep tersebut dibangun kembali secara lebih modern dengan menggunakan IT dengan nama SIN Pajak sejak 2001. SIN Pajak adalah penyatuan data secara online dan terintegrasi seluruh data baik keuangan maupun nonkeuangan yang digunakan sebagai data pembanding atas laporan perpajakan dari wajib pajak.
Dia menjelaskan, Indonesia memang telah memiliki KTP elektronik. Namun, KTP elektronik tersebut belum dapat menjadi sebuah identitas tunggal karena hanya memuat data-data kependudukan.
“Hal tersebut berbeda dengan SIN Pajak yang memuat tidak hanya data non finansial, namun juga memuat data finansial dari seorang warga negara. Data tersebutlah yang menjadi dasar bagi aparat pajak untuk melakukan pengujian SPT dari wajib pajak,” jelasnya.
Di sisi lain, dasar hukum yang telah lengkap tersebut menjadikan SIN Pajak tersebut menjadi lebih kuat untuk dijadikan nomor tunggal yang digunakan secara bersama-sama.
Dalam UU KUP, konsep SIN sebagai manajemen informasi perpajakan dinyatakan sebagai kewajiban bagi setiap instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain, untuk memberikan data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan kepada Direktorat Jenderal Pajak. Dalam hal data dan informasi yang diberikan dianggap tidak mencukupi, maka Direktur Jenderal Pajak berwenang menghimpun data dan informasi untuk kepentingan penerimaan negara yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Data yang interkoneksi secara online dan tidak adanya campur tangan manusia dalam pengambilan data dan pengujian link and match menjadikan pengujiannya bersifat objektif. Mekanisme seperti ini akan dapat membuat penerimaan pajak tercapai.
“Hal tersebut dikarenakan tidak adanya lagi celah bagi Wajib Pajak untuk menyembunyikan sesuatu atau aparat pajak bermain-main karena seluruh celah kecurangan akan dapat diketahui dengan mudah dengan mekanisme pencocokan data pada Pusat Data,” pungkasnya.
Lihat Juga: Rincian APBN 2025 di Tahun Pertama Prabowo, Pendapatan Negara Ditarget Rp3.005,1 Triliun
(dar)