Didukung Penuh Pemerintah, Daya Saing Industri Oleokimia Kian Mocer
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kebijakan hilir kelapa sawit telah berjalan sukses berkat dukungan penuh pemerintah. Di industri oleokimia , tren ekspor terus meningkat sepanjang tiga tahun terakhir untuk memenuhi kebutuhan pasar global.
“Industri oleokimia telah berkembang pesat. Pada 1995, baru ada enam perusahaan yang menjadi anggota APOLIN. Namun hingga 2021 ini sudah 11 perusahaan, dengan kapasitas nasional 11,3 juta ton per tahun,” ujar Ketua Umum Asosiasi Produsen Oleochemical Indonesia (APOLIN) Rapolo Hutabarat saat membuka webinar bertemakan “Momentum Industri Oleokimia Indonesia di Pasar Global: Peluang dan Tantangan”, Kamis (9/9/2021).
Menurut Rapolo, apabila kapasitas produksi oleokimia tadi digabungkan berdasarkan kelompok produk Fatty Acid Metyl Ester (FAME), maka total kapasitas menjadi 12 juta ton per tahun. Ini berarti, Indonesia telah menjadi produsen terbesar dunia untuk industri oleokimia berbasis sawit.
(Baca juga:Ekspor Meningkat, Industri Oleokimia Diprediksi Semakin Positif di 2021)
Berbagai dukungan pemerintah untuk industri hilir sawit di antaranya adalah PMK No. 166/2020 tentang Bea Keluar; PMK No. 76/2021 tentang Levy dan Perpres 121/2020 tentang Harga Gas Bumi (sebesar USD6 per MMBTU). Berbagai regulasi tersebut merupakan landasan yang sangat kokoh untuk melakukan hilirisasi produk minyak sawit di tanah air.
Dukungan tersebut dirasakan industri oleochemical, di mana kinerja ekspornya terus meningkat. Pada 2018 sebesar 2,75 juta ton dengan nilai ekspor USD2,38 miliar, pada 2019 sebesar 3,27 juta ton dengan nilai eskpor USD2,10 miliar.
“Tahun 2020 dengan volume ekspor 3,87 juta ton dengan nilai USD2,63 miliar. Pada 2021 ini kami estimasikan volume ekspor oleokimia di atas 4 juta ton dengan nilai ekspor USD3,8 miliar,” kata dia.
(Baca juga:Kebutuhan Bahan Baku Meningkat, Ekspor Oleokimia Diproyeksi Tembus 3,7 Juta Ton)
Rapolo menjelaskan, pencapaian ini harus dikembangkan karena produk oleokimia sangat dibutuhkan berbagai industri, seperti industri kosmetik, kesehatan, makanan, farmasi, dan pestisida.
Putu Juli Ardika, Plt.Dirjen Industri Agro Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mengatakan kebijakan hilirisasi kelapa sawit mampu memberikan nilai tambah bagi perekonomian. Sektor hilir telah mampu menyerap 80% lebih bahan baku kelapa sawit menjadi produk turunan. Hingga kini terdapat 160 jenis produk di industri hilir dalam bentuk produki di sektor pangan, bahan kimia, oleokimia, hingga bahan bakar baru terbarukan.
Kemenperin, kata Putu, berupaya menjaga keberlangsungan produk oleokimia dan pertumbuhan industrinya agar tumbuh berkualitas. Adapun berbagai macam fasilitas dan dukungan pemerintah diberikan agar industri ini tetap produktif di tengah pandemi.
(Baca juga:Waduh, Harga Gas Murah Belum Dinikmati Industri Oleokimia)
Pertama, Kemenperin mengeluarkan Izin Operasional dan Mobilitas Kegiatan Industri (IOMKI) untuk mendukung kegiatan industri oleokimia yang merupakan industri kritikal. Di tengah pandemi, industri oleokimia tetap beroperasi 100% dengan protokol kesehatan ketat.
Kedua, kebijakan harga gas murah yang dipatok USD6-USD7 per MBBTU melalui Peraturan Presiden Nomor 40/2016 telah diberikan kepada sekitar 20 pabrik oleokimia dari 11 perusahaan. Menurut Putu, aturan ini dapat mendorong efisiensi biaya produksi sekitar 3% dan signifikan meningkatkan daya saing industri oleokimia.
Selain itu, ada fasilitas pengurangan PPh badan bagi wajib pajak yang terdampak pandemi Covid-19 melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 9 Tahun 2021 serta advokasi tarif pungutan ekspor kelapa sawit dan turunannya yang lebih pro industri pengolahan sesuai PMK No 76 Tahun 2021.
“Atas dukungan Kementerian Keuangan dan berbagai pihak, sehingga pungutan bisa pro terhadap industri dalam negeri terutama dalam penyediaan bahan baku industri oleokimia. Alhasil industri ini berkembang dan bertahan untuk mendukung pemulihan ekonomi nasional,” kata Putu.
Untuk memperkuat industri oleokimia, dia menyarankan memperluas kapasitas produksi dan efisiensi biaya produksi agar daya saing produk oleokimia meningkat. “Kemudian efisiensi bahan baku minyak sawit melalui penggunaan industrial vegetable oil atau lauric oil supaya mendapatkan bahan baku yang lebih kompetitif. Sementara CPO kita gunakan untuk high food grade, mendapatkan nilai tambah dan harga kompetitif,” ungkap dia.
Di samping itu, kata Putu, pemerintah memberikan Super Deduction Tax mencapai 300% untuk penelitian yang bisa dikomersialkan guna meningkatkan nilai produk oleokimia.
Direktur Industri Hasil Hutan dan Perkebunan Kemenperin Emil Satria menambahkan, industrialisasi hilir oleokimia perlu ditata kembali untuk meningkatkan daya saing industri oleokimia pada lingkup global.
Untuk itu, kata dia, diperlukan efisiensi biaya akses bahan baku, salah satunya dengan penggunaan minyak sawit industrial yang lebih murah dengan tetap menjaga harga beli CPO dan tandan buah segar (TBS) pada tingkat yang remunerative bagi petani.
Direktur Ekspor Produk Pertanian dan Kehutanan Kementerian Perdagangan Asep Asmara mengungkapkan nilai ekspor oleokimia mengalami tren perkembangan yang positif sebesar 9,57% selama 5 tahun terakhir. Ini sejalan dengan volume ekspor juga mengalami tren positif sebesar 17,22%.
Pada periode Januari-Juli 2021, nilai ekspor oleokimia tercatat USD3,68 miliar, meningkat sebesar 68,39% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Sedangkan volume ekspornya tercatat 3,82 juta ton, meningkat 16,88% dari periode yang sama tahun 2020. “Perkembangan ekspor oleokimia di 2021 menunjukkan hasil positif dan terus meningkat,” ujar dia.
Ekspor oleokimia Indonesia didominasi produk dalam bentuk fatty acid sebesar 2,22 juta ton atau 58% dan gliserol sebesar 0,80 juta ton (21%). Negara tujuan ekspor utama untuk oleokimia Indonesia adalah China dengan total nilai USD0,95 miliar. Produk utama yang diekspor adalah stearic acid, fatty alcohol, dan glycerol. “Pemerintah ingin sawit diekspor dalam bentuk produk turunan atau olahan sehingga mendorong kegiatan hilirisasi kelapa sawit,” ujar dia.
Plt. Direktur Kemitraan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) Edi Wibowo menambahkan, pihaknya memiliki program penelitian dan pengembangan pada oleokimia yang siap diimplementasikan seperti pengembangan surfaktan anionik dari minyak sawit untuk peningkatan produk minyak bumi di lapangan tua menggunakan teknik stimulasi matrix.
Direktur Teknis Kepabean Bea Cukai Kementerian Keuangan Fadjar Donny Tjahjadi mengatakan, dalam pelayanan ekpor produk kelapa sawit dan turunanya mengacu pada PMK No 22/2019 untuk akurasi data, percepatan pelayan dan pengawasan kepabeanan ekspor.
Selain itu, produk turunan oleokimia yang sebagian besar merupakan produk hilir seperti Fatty Alcohol, Fatty Amine, Gliserol, dll tidak dikenakan Bea Keluar kecuali FAME/Biodiesel dengan kode HS 38260021, 38260022 dan 38260090.
Saat ini, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) telah memberikan fasilitas kemudahan berupa sertifikasi Authorized Economic Operator (AEO). Sertifikat AEO perlu dimiliki setiap perusahaan logistik yang ingin berstandar internasional. Fasilitas ini memberikan kemudahan terintegrasi yang ditawarkan sistem AEO, selain memudahkan pelayanan transaksi ekspor dan impor, juga telah beradaptasi dengan teknologi yang terus berkembang, hingga jaminan supply chain ke konsumen.
“Industri oleokimia telah berkembang pesat. Pada 1995, baru ada enam perusahaan yang menjadi anggota APOLIN. Namun hingga 2021 ini sudah 11 perusahaan, dengan kapasitas nasional 11,3 juta ton per tahun,” ujar Ketua Umum Asosiasi Produsen Oleochemical Indonesia (APOLIN) Rapolo Hutabarat saat membuka webinar bertemakan “Momentum Industri Oleokimia Indonesia di Pasar Global: Peluang dan Tantangan”, Kamis (9/9/2021).
Menurut Rapolo, apabila kapasitas produksi oleokimia tadi digabungkan berdasarkan kelompok produk Fatty Acid Metyl Ester (FAME), maka total kapasitas menjadi 12 juta ton per tahun. Ini berarti, Indonesia telah menjadi produsen terbesar dunia untuk industri oleokimia berbasis sawit.
(Baca juga:Ekspor Meningkat, Industri Oleokimia Diprediksi Semakin Positif di 2021)
Berbagai dukungan pemerintah untuk industri hilir sawit di antaranya adalah PMK No. 166/2020 tentang Bea Keluar; PMK No. 76/2021 tentang Levy dan Perpres 121/2020 tentang Harga Gas Bumi (sebesar USD6 per MMBTU). Berbagai regulasi tersebut merupakan landasan yang sangat kokoh untuk melakukan hilirisasi produk minyak sawit di tanah air.
Dukungan tersebut dirasakan industri oleochemical, di mana kinerja ekspornya terus meningkat. Pada 2018 sebesar 2,75 juta ton dengan nilai ekspor USD2,38 miliar, pada 2019 sebesar 3,27 juta ton dengan nilai eskpor USD2,10 miliar.
“Tahun 2020 dengan volume ekspor 3,87 juta ton dengan nilai USD2,63 miliar. Pada 2021 ini kami estimasikan volume ekspor oleokimia di atas 4 juta ton dengan nilai ekspor USD3,8 miliar,” kata dia.
(Baca juga:Kebutuhan Bahan Baku Meningkat, Ekspor Oleokimia Diproyeksi Tembus 3,7 Juta Ton)
Rapolo menjelaskan, pencapaian ini harus dikembangkan karena produk oleokimia sangat dibutuhkan berbagai industri, seperti industri kosmetik, kesehatan, makanan, farmasi, dan pestisida.
Putu Juli Ardika, Plt.Dirjen Industri Agro Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mengatakan kebijakan hilirisasi kelapa sawit mampu memberikan nilai tambah bagi perekonomian. Sektor hilir telah mampu menyerap 80% lebih bahan baku kelapa sawit menjadi produk turunan. Hingga kini terdapat 160 jenis produk di industri hilir dalam bentuk produki di sektor pangan, bahan kimia, oleokimia, hingga bahan bakar baru terbarukan.
Kemenperin, kata Putu, berupaya menjaga keberlangsungan produk oleokimia dan pertumbuhan industrinya agar tumbuh berkualitas. Adapun berbagai macam fasilitas dan dukungan pemerintah diberikan agar industri ini tetap produktif di tengah pandemi.
(Baca juga:Waduh, Harga Gas Murah Belum Dinikmati Industri Oleokimia)
Pertama, Kemenperin mengeluarkan Izin Operasional dan Mobilitas Kegiatan Industri (IOMKI) untuk mendukung kegiatan industri oleokimia yang merupakan industri kritikal. Di tengah pandemi, industri oleokimia tetap beroperasi 100% dengan protokol kesehatan ketat.
Kedua, kebijakan harga gas murah yang dipatok USD6-USD7 per MBBTU melalui Peraturan Presiden Nomor 40/2016 telah diberikan kepada sekitar 20 pabrik oleokimia dari 11 perusahaan. Menurut Putu, aturan ini dapat mendorong efisiensi biaya produksi sekitar 3% dan signifikan meningkatkan daya saing industri oleokimia.
Selain itu, ada fasilitas pengurangan PPh badan bagi wajib pajak yang terdampak pandemi Covid-19 melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 9 Tahun 2021 serta advokasi tarif pungutan ekspor kelapa sawit dan turunannya yang lebih pro industri pengolahan sesuai PMK No 76 Tahun 2021.
“Atas dukungan Kementerian Keuangan dan berbagai pihak, sehingga pungutan bisa pro terhadap industri dalam negeri terutama dalam penyediaan bahan baku industri oleokimia. Alhasil industri ini berkembang dan bertahan untuk mendukung pemulihan ekonomi nasional,” kata Putu.
Untuk memperkuat industri oleokimia, dia menyarankan memperluas kapasitas produksi dan efisiensi biaya produksi agar daya saing produk oleokimia meningkat. “Kemudian efisiensi bahan baku minyak sawit melalui penggunaan industrial vegetable oil atau lauric oil supaya mendapatkan bahan baku yang lebih kompetitif. Sementara CPO kita gunakan untuk high food grade, mendapatkan nilai tambah dan harga kompetitif,” ungkap dia.
Di samping itu, kata Putu, pemerintah memberikan Super Deduction Tax mencapai 300% untuk penelitian yang bisa dikomersialkan guna meningkatkan nilai produk oleokimia.
Direktur Industri Hasil Hutan dan Perkebunan Kemenperin Emil Satria menambahkan, industrialisasi hilir oleokimia perlu ditata kembali untuk meningkatkan daya saing industri oleokimia pada lingkup global.
Untuk itu, kata dia, diperlukan efisiensi biaya akses bahan baku, salah satunya dengan penggunaan minyak sawit industrial yang lebih murah dengan tetap menjaga harga beli CPO dan tandan buah segar (TBS) pada tingkat yang remunerative bagi petani.
Direktur Ekspor Produk Pertanian dan Kehutanan Kementerian Perdagangan Asep Asmara mengungkapkan nilai ekspor oleokimia mengalami tren perkembangan yang positif sebesar 9,57% selama 5 tahun terakhir. Ini sejalan dengan volume ekspor juga mengalami tren positif sebesar 17,22%.
Pada periode Januari-Juli 2021, nilai ekspor oleokimia tercatat USD3,68 miliar, meningkat sebesar 68,39% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Sedangkan volume ekspornya tercatat 3,82 juta ton, meningkat 16,88% dari periode yang sama tahun 2020. “Perkembangan ekspor oleokimia di 2021 menunjukkan hasil positif dan terus meningkat,” ujar dia.
Ekspor oleokimia Indonesia didominasi produk dalam bentuk fatty acid sebesar 2,22 juta ton atau 58% dan gliserol sebesar 0,80 juta ton (21%). Negara tujuan ekspor utama untuk oleokimia Indonesia adalah China dengan total nilai USD0,95 miliar. Produk utama yang diekspor adalah stearic acid, fatty alcohol, dan glycerol. “Pemerintah ingin sawit diekspor dalam bentuk produk turunan atau olahan sehingga mendorong kegiatan hilirisasi kelapa sawit,” ujar dia.
Plt. Direktur Kemitraan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) Edi Wibowo menambahkan, pihaknya memiliki program penelitian dan pengembangan pada oleokimia yang siap diimplementasikan seperti pengembangan surfaktan anionik dari minyak sawit untuk peningkatan produk minyak bumi di lapangan tua menggunakan teknik stimulasi matrix.
Direktur Teknis Kepabean Bea Cukai Kementerian Keuangan Fadjar Donny Tjahjadi mengatakan, dalam pelayanan ekpor produk kelapa sawit dan turunanya mengacu pada PMK No 22/2019 untuk akurasi data, percepatan pelayan dan pengawasan kepabeanan ekspor.
Selain itu, produk turunan oleokimia yang sebagian besar merupakan produk hilir seperti Fatty Alcohol, Fatty Amine, Gliserol, dll tidak dikenakan Bea Keluar kecuali FAME/Biodiesel dengan kode HS 38260021, 38260022 dan 38260090.
Saat ini, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) telah memberikan fasilitas kemudahan berupa sertifikasi Authorized Economic Operator (AEO). Sertifikat AEO perlu dimiliki setiap perusahaan logistik yang ingin berstandar internasional. Fasilitas ini memberikan kemudahan terintegrasi yang ditawarkan sistem AEO, selain memudahkan pelayanan transaksi ekspor dan impor, juga telah beradaptasi dengan teknologi yang terus berkembang, hingga jaminan supply chain ke konsumen.
(dar)