GAPPRI: Industri Hasil Tembakau Butuh 3 Tahun untuk Pulih

Kamis, 09 September 2021 - 19:16 WIB
loading...
GAPPRI: Industri Hasil Tembakau Butuh 3 Tahun untuk Pulih
Foto Ilustrasi/Istimewa
A A A
JAKARTA - Tarif cukai rokok yang naik secara eksesif membuat pelaku Industri Hasil Tembakau (IHT) sulit untuk mempertahankan produksinya. Kondisi ini ditambah lagi dengan adanya pandemi Covid-19, yang memaksa pelaku IHT untuk melakukan sejumlah efisiensi.

Ketua Umum Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) Henry Najoan mengatakan bahwa kenaikan cukai di tahun 2020 dan 2021 memberikan dampak signifikan terhadap IHT, sehingga membuat produksi rokok legal menurun hingga sebesar 60 miliar batang. GAPPRI meminta Pemerintah untuk dapat memberikan relaksasi kepada IHT dengan tidak menaikkan cukai pada tahun 2022, karena IHT sendiri masih membutuhkan 3 tahun untuk memulihkan diri.


“Bila Pemerintah kembali menaikkan tarif cukai secara eksesif tahun depan, kami kuatir pelaku IHT tidak mampu bertahan. Keterpurukan ini mengancam mata pencaharian hampir 6 juta tenaga kerja di dalam mata rantai IHT,” kata Henry pada dialog publik virtual yang digelar Centre for Public Policy Studies (CPPS) dengan tema ‘IHT: Merdeka atau Mati?’ di Jakarta, Kamis (9/9/2021).

Dorongan pihak-pihak yang menginginkan agar pemerintah segera melakukan Simplifikasi Tarif Cukai dan merevisi PP 109/2012 terus bergulir, tanpa mempertimbangkan banyak aspek kehidupan yang terancam, makin menyulitkan posisi bertahan para pelaku IHT.

“IHT bukan hanya industri yang padat karya namun juga padat aturan. GAPPRI berharap nanti ada omnibus law khusus untuk IHT,” katanya.

Henry juga berharap akan ada peta jalan (roadmap) IHT yang berkeadilan yang tidak hanya memberikan kepastian hukum tapi juga memberikan exit strategy bagi IHT. “Sekecil apapun IHT, mereka juga memberikan kontribusi ekonomi bagi masyarakat di sekitar pabrik tersebut,” tegas Henry.

Anggota Komisi IV DPR RI, Panggah Susanto, menambahkan bahwa tembakau tidak hanya menggerakkan ekonomi, tetapi juga pertanian. Kretek tidak hanya memberikan dampak kepada masyarakat, tapi juga sosial ekonomi masyarakatnya. Ia menilai bahwa IHT adalah agro industri yang menggerakkan ekonomi di pedesaan dan memberikan dampak positif bagi masyarakat luas. Masalah yang sering mengganggu petani di lapangan adalah bagaimana harga tembakau itu sering dimainkan oknum pedagang.

“Kami mendukung penuh wacana tidak menaikkan cukai, namun kami juga berharp agar wacana ini juga dapat mensejahterakan petani,” tegas Panggah.

Anggota Komisi XI DPR RI, Mukhamad Misbakhun mengatakan bahwa banyak intervensi asing yang ingin menghilangkan IHT Indonesia. Agenda global ini kemudian kemudian masuk ke peraturan di banyak negara. Ini membuat seakan-akan tembakau itu hanya urusan kesehatan saja. Padahal ada buruh, petani, dan lain-lain.

“Para aktivis anti tembakau tidak pernah bisa memberikan bukti konkrit bahwa pengeluaran untuk rokok lebih besar dari penerimaan negara, namun kontribusi IHT kepada ekonomi adalah nyata,” lanjutnya.


Di kesempatan yang sama, Sosiolog dan Budayawan, Ngatawi Al-Zastrouw, melihat bahagimana tembakau Indonesia dianaktirikan oleh Pemerintah, dipaksa untuk terus bekerja namun keberadaannya tidak pernah diakui.

“Tembakau bukan satu-satunya produk Indonesia yang dimatikan oleh lembaga internasional. Kopra dan jamu juga dibunuh secara sistematis sebagai akibat dari kolusi dan kolaboradi dari pihak asing. Kalau IHT mati, ditakutkan nanti masyarakat akan beralih ke produk ilegal karena keinginan untuk merokok masyarakat tidak pernah menurun,” ungkapnya.
(dar)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2103 seconds (0.1#10.140)