Wacana Pajak Sembako di Tengah Pandemi Covid-19 Dinilai Tidak Tepat
loading...
A
A
A
JAKARTA - Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Rusli Abdullah menilai rencana pemerintah mengenakan pajak terhadap kebutuhan pokok masyarakat dinilai kurang tepat. Khususnya dalam situasi pandemi saat ini yang memberikan dampak besar terhadap ekonomi masyarakat.
"Narasi PPN Sembako di tengah pandemi kurang tepat, karena dengan adanya kenaikan PPN ini pasti akan berdampak, satu di samping psikologis, akan menjadikan masyarakat tertekan,” ujarnya pada diskusi publik secara daring, Selasa (14/9/2021).
Selain itu, Rusli menilai pemungutan PPN sembako juga tidaklah mudah. Ada sejumlah tantangan, seperti masih besarnya sektor informal dalam perekonomian nasional.
"Jadi salah satu tantangan pajak di Indonesia adalah entitas bisnis di kita itu kebanyak masih informal, misalnya UMKM ataupun para pekerja, itulah sebabnya masih banyak informality dari perekonomian kita sehingga perluasan basis pajak itu akan susah," tambahnya.
Hal selanjutnya yang menjadi masalah menurutnya adalah ketika pemungutan pajak dilakukan pada sembako adalah sumber daya manusia perpajakan yang terbatas. Rusli menyebutkan, pegawai pajak di Indonesia hanya berjumlah 45 ribu orang untuk melayani 270 juta penduduk.
"Jepang dengan penduduk 126 juta fiskusnya 2 kali lipat dari Indonesia, nah itu kan menjadi tantangan tersendiri dari teman-teman di Kementerian Keuangan," tuturnya.
Rusli menambahkan, dengan kondisi yang saat ini belum optimal kemudian mau ditambahkan lagi dengan jumlah PPn sembako dan sektor informal yang masih cukup besar dari fiskus, tentunya akan membuat beban kerja pihak perpakan bertambah.
"Ketika beban kerja bertambah, ditakutkan memunculkan distorsi-distorsi di lapangan ketika pemungutan, sehingga apa yang diharapkan di atas kertas, berbeda dengan eksekusi di lapangan," jelasnya.
Hal itu lebih dikhawatirkan Rusli akan menimbulkan ongkos sosial dan politik yang mungkin lebih besar. "Karena isu sembako ini menyasar seluruh lapisan masyarakat di Indonesia," tegasnya.
Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani kembali mengemukakan wacana pengenaan PPN atas barang kebutuhan pokok, jasa kesehatan, dan jasa pendidikan. Namun, Menkeu juga menegaskan bahwa pajak itu akan diterapkan secara terbatas.
"Ini dikenakan pada barang kebutuhan pokok tertentu yang dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi dan tentu ini nanti akan dibuat kriterianya," jelas Sri Mulyani.
Lihat Juga: Partai Politik Jangan Cari Muka! Batalkan PPN 12% Lebih Penting Ketimbang Saling Menyalahkan
"Narasi PPN Sembako di tengah pandemi kurang tepat, karena dengan adanya kenaikan PPN ini pasti akan berdampak, satu di samping psikologis, akan menjadikan masyarakat tertekan,” ujarnya pada diskusi publik secara daring, Selasa (14/9/2021).
Selain itu, Rusli menilai pemungutan PPN sembako juga tidaklah mudah. Ada sejumlah tantangan, seperti masih besarnya sektor informal dalam perekonomian nasional.
"Jadi salah satu tantangan pajak di Indonesia adalah entitas bisnis di kita itu kebanyak masih informal, misalnya UMKM ataupun para pekerja, itulah sebabnya masih banyak informality dari perekonomian kita sehingga perluasan basis pajak itu akan susah," tambahnya.
Hal selanjutnya yang menjadi masalah menurutnya adalah ketika pemungutan pajak dilakukan pada sembako adalah sumber daya manusia perpajakan yang terbatas. Rusli menyebutkan, pegawai pajak di Indonesia hanya berjumlah 45 ribu orang untuk melayani 270 juta penduduk.
"Jepang dengan penduduk 126 juta fiskusnya 2 kali lipat dari Indonesia, nah itu kan menjadi tantangan tersendiri dari teman-teman di Kementerian Keuangan," tuturnya.
Rusli menambahkan, dengan kondisi yang saat ini belum optimal kemudian mau ditambahkan lagi dengan jumlah PPn sembako dan sektor informal yang masih cukup besar dari fiskus, tentunya akan membuat beban kerja pihak perpakan bertambah.
"Ketika beban kerja bertambah, ditakutkan memunculkan distorsi-distorsi di lapangan ketika pemungutan, sehingga apa yang diharapkan di atas kertas, berbeda dengan eksekusi di lapangan," jelasnya.
Hal itu lebih dikhawatirkan Rusli akan menimbulkan ongkos sosial dan politik yang mungkin lebih besar. "Karena isu sembako ini menyasar seluruh lapisan masyarakat di Indonesia," tegasnya.
Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani kembali mengemukakan wacana pengenaan PPN atas barang kebutuhan pokok, jasa kesehatan, dan jasa pendidikan. Namun, Menkeu juga menegaskan bahwa pajak itu akan diterapkan secara terbatas.
"Ini dikenakan pada barang kebutuhan pokok tertentu yang dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi dan tentu ini nanti akan dibuat kriterianya," jelas Sri Mulyani.
Lihat Juga: Partai Politik Jangan Cari Muka! Batalkan PPN 12% Lebih Penting Ketimbang Saling Menyalahkan
(fai)