Proyek Blast Furnace Tetap Jalan Meski Bermasalah, Erick Thohir Kasih Alasan Ini
loading...
A
A
A
JAKARTA - Menteri BUMN Erick Thohir memberi lampu hijau kepada PT Krakatau Steel (Persero) Tbk, atau KRAS untuk melanjutkan proyek peleburan tanur tinggi atau blast furnace. Sebelumnya, emiten sudah menghentikan operasional blast furnace sejak 5 Desember 2019 lalu.
Alasan penghentian karena pabrik tidak mampu menghasilkan baja dengan harga pasar yang kompetitif. Sementara, biaya operasionalnya tercatat tinggi.
Erick menilai industri baja saat ini tengah mengalami tren kenaikan di pasar global. Karena itu, tidak menutup kemungkinan pemegang saham menginginkan KRAS memperbaiki kinerja pabrik yang tercatat kontroversi sejak awal keberadaannya.
"Dan ada harapan blast furnace ini bisa diperbaiki karena bajanya lagi naik. Kalau bajanya lagi turun harganya, ya nggak bisa," ujar Erick saat ditemui di kawasan Telkom, Kamis (30/9/2021).
Erick memang tengah menyoroti proyek peleburan tanur tinggi tersebut. Perkaranya, proyek dengan nilai investasi sebesar USD850 juta itu digadang-gadang ikut berkontribusi terhadap utang KRAS senilai USD2,2 miliar atau setara Rp31 triliun.
Sementara, utang jumbo itu pun diduga kuat karena adanya praktik korupsi yang terselubung. Utang perusahaan merupakan utang masa lalu. Meski begitu, Erick meminta penegak hukum tetap menindaklanjuti dugaan korupsi yang terjadi di internal Krakatau Steel, termasuk mengusut persoalan dalam proyek blast furnace.
"Yang masalah blast furnace itukan harus ditindaklanjuti. Kalau memang ada indikasi korupsi ya harus diselesaikan. Karena kenapa? Jangan nanti baru mau berpartner baru ribut ini korupsi, akhirnya partner yang sudah semangat, jadi berhenti, apalagi baja kan lagi naik industrinya," katanya.
Proyek blast furnace sejak sejak 2011 disebut sebagai proyek yang serba salah. Sebab bagaimanapun, proyek ini akan merugikan perusahaan senilai Rp1,3 triliun setiap tahunnya. Sedangkan jika dihentikan, maka perseroan akan kehilangan uang sekitar Rp10 triliun.
Sejak proyek tersebut dimulai pada 2011 lalu, perusahaan sudah mengeluarkan anggaran sekitar USD714 juta dolar AS atau setara Rp10 triliun. Angka ini mengalami pembengkakan Rp3 triliun dari rencana semula yang hanya Rp7 triliun.
Pada Juli 2019 lalu, mantan Komisaris Independen Krakatau Steel Roy Maningkas mencatat permasalahan tersebut sudah disampaikan oleh Dewan Komisaris kepada Kementerian BUMN untuk di ambil jalan keluarnya.
Alasan penghentian karena pabrik tidak mampu menghasilkan baja dengan harga pasar yang kompetitif. Sementara, biaya operasionalnya tercatat tinggi.
Erick menilai industri baja saat ini tengah mengalami tren kenaikan di pasar global. Karena itu, tidak menutup kemungkinan pemegang saham menginginkan KRAS memperbaiki kinerja pabrik yang tercatat kontroversi sejak awal keberadaannya.
"Dan ada harapan blast furnace ini bisa diperbaiki karena bajanya lagi naik. Kalau bajanya lagi turun harganya, ya nggak bisa," ujar Erick saat ditemui di kawasan Telkom, Kamis (30/9/2021).
Erick memang tengah menyoroti proyek peleburan tanur tinggi tersebut. Perkaranya, proyek dengan nilai investasi sebesar USD850 juta itu digadang-gadang ikut berkontribusi terhadap utang KRAS senilai USD2,2 miliar atau setara Rp31 triliun.
Sementara, utang jumbo itu pun diduga kuat karena adanya praktik korupsi yang terselubung. Utang perusahaan merupakan utang masa lalu. Meski begitu, Erick meminta penegak hukum tetap menindaklanjuti dugaan korupsi yang terjadi di internal Krakatau Steel, termasuk mengusut persoalan dalam proyek blast furnace.
"Yang masalah blast furnace itukan harus ditindaklanjuti. Kalau memang ada indikasi korupsi ya harus diselesaikan. Karena kenapa? Jangan nanti baru mau berpartner baru ribut ini korupsi, akhirnya partner yang sudah semangat, jadi berhenti, apalagi baja kan lagi naik industrinya," katanya.
Proyek blast furnace sejak sejak 2011 disebut sebagai proyek yang serba salah. Sebab bagaimanapun, proyek ini akan merugikan perusahaan senilai Rp1,3 triliun setiap tahunnya. Sedangkan jika dihentikan, maka perseroan akan kehilangan uang sekitar Rp10 triliun.
Sejak proyek tersebut dimulai pada 2011 lalu, perusahaan sudah mengeluarkan anggaran sekitar USD714 juta dolar AS atau setara Rp10 triliun. Angka ini mengalami pembengkakan Rp3 triliun dari rencana semula yang hanya Rp7 triliun.
Pada Juli 2019 lalu, mantan Komisaris Independen Krakatau Steel Roy Maningkas mencatat permasalahan tersebut sudah disampaikan oleh Dewan Komisaris kepada Kementerian BUMN untuk di ambil jalan keluarnya.
(akr)