Jadi Isu Publik, Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung Harus Diaudit
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pembengkakan biaya proyek kereta cepat Jakarta-Bandung dari Rp86,67 triliun menjadi Rp114,24 triliun terus menuai pertanyaan. Terlebih pemerintah telah memutuskan untuk menggunakan APBN untuk membiayai proyek tersebut.
Disinyalir, biaya proyek membengkak karena ada masalah pembebasan lahan yang membuat stasiun Walini ditunda jadi tempat transit. Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan, dalam proyek ini diduga kontribusi terbesar untuk biaya berasal dari pembebasan lahan yang dinilai tak transparan.
"Ini dia yang kita inginkan karena ini menyangkut isu publik, jadi kita inginkan audit secara total termasuk apakah sudah dilakukan negosiasi pinjaman terhadap kreditur. Kemudian skema penentuan cost yang membengkak itu apa dan bagaimana negosiasi itu dibuka kepada publik," ujar Bhima dalam Market Review IDX Channel, Selasa (19/10/2021).
Terkait pandemi, pembengkakan biaya menurut Bhima terjadi juga karena ada perlambatan bahan baku karena sebagian besar impor dari negara lain.
"Tapi kan permasalahan ini tidak semuanya terbuka kepada publik, apalagi kalau nanti menggunakan dana APBN, tolong diberikan audit secara detail dulu sebenarnya di pos mana dan ini kenapa, jadi belajar bagi proyek infrastruktur ke depannya termasuk pembebasan lahan yang liar," tandasnya.
Lebih lanjut Bhima memberi dua opsi, yang pertama adalah penyertaan modal negara pada konsorsium atau opsi kedua yang sama saja ujungnya ada risiko komprehensi yang ditujukan ke negara juga BUMN.
"Contohnya BUMN diminta menerbitkan surat utang tapi dengan government back up atau government guarantee itu yang bisa dilakukan. Cuma kalau kita lihat ini kemudian menjadi soal laporan sama saja mau ada PMN dan pemerintah berutang secara langsung sama saja utang negara," jelasnya.
Untuk tahun 2022 saja, lanjut Bhima, ruang fiskal semakin sempit, dimana bunga utang sudah Rp400 triliun lebih dan kewajiban bunga utang di 2022. "Ini belum tambahan opsi dari proyek Jakarta-Bandung, jadi bebannya bisa lebih besar di APBN," tuturnya.
Menurut Bhima pemerintah dari awal tidak konsisten untuk pemakaian modal. Jika dari awal menggunakan APBN, maka protes terhadap proyek ini dipastikan lebih banyak, karena proyek ini menyasar masyarakat menengah atas.
"Itu dia kalau logikanya menengah atas B2B karena orientasinya komersial dan profit, kalau menengah ke bawah, ada pengaspalan jalan di luar Jawa. Nah ini harusnya ke sana kalau menggunakan APBN, kalau subsidi menengah-atas jadi pertanyaan karena menggunakan APBN," cetusnya.
Disinyalir, biaya proyek membengkak karena ada masalah pembebasan lahan yang membuat stasiun Walini ditunda jadi tempat transit. Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan, dalam proyek ini diduga kontribusi terbesar untuk biaya berasal dari pembebasan lahan yang dinilai tak transparan.
"Ini dia yang kita inginkan karena ini menyangkut isu publik, jadi kita inginkan audit secara total termasuk apakah sudah dilakukan negosiasi pinjaman terhadap kreditur. Kemudian skema penentuan cost yang membengkak itu apa dan bagaimana negosiasi itu dibuka kepada publik," ujar Bhima dalam Market Review IDX Channel, Selasa (19/10/2021).
Terkait pandemi, pembengkakan biaya menurut Bhima terjadi juga karena ada perlambatan bahan baku karena sebagian besar impor dari negara lain.
"Tapi kan permasalahan ini tidak semuanya terbuka kepada publik, apalagi kalau nanti menggunakan dana APBN, tolong diberikan audit secara detail dulu sebenarnya di pos mana dan ini kenapa, jadi belajar bagi proyek infrastruktur ke depannya termasuk pembebasan lahan yang liar," tandasnya.
Lebih lanjut Bhima memberi dua opsi, yang pertama adalah penyertaan modal negara pada konsorsium atau opsi kedua yang sama saja ujungnya ada risiko komprehensi yang ditujukan ke negara juga BUMN.
"Contohnya BUMN diminta menerbitkan surat utang tapi dengan government back up atau government guarantee itu yang bisa dilakukan. Cuma kalau kita lihat ini kemudian menjadi soal laporan sama saja mau ada PMN dan pemerintah berutang secara langsung sama saja utang negara," jelasnya.
Untuk tahun 2022 saja, lanjut Bhima, ruang fiskal semakin sempit, dimana bunga utang sudah Rp400 triliun lebih dan kewajiban bunga utang di 2022. "Ini belum tambahan opsi dari proyek Jakarta-Bandung, jadi bebannya bisa lebih besar di APBN," tuturnya.
Menurut Bhima pemerintah dari awal tidak konsisten untuk pemakaian modal. Jika dari awal menggunakan APBN, maka protes terhadap proyek ini dipastikan lebih banyak, karena proyek ini menyasar masyarakat menengah atas.
"Itu dia kalau logikanya menengah atas B2B karena orientasinya komersial dan profit, kalau menengah ke bawah, ada pengaspalan jalan di luar Jawa. Nah ini harusnya ke sana kalau menggunakan APBN, kalau subsidi menengah-atas jadi pertanyaan karena menggunakan APBN," cetusnya.
(fai)