Trump Ancam Negara yang Pajaki Netflix, Ekonom : Bisa Timbul Diskriminasi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pengamat Pajak Darussalam menilai rencana presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang mengancam akan melakukan aksi retaliasi terhadap negara-negara yang mengenakan pajak ke perusahaan digital asal AS bisa menimbulkan diskriminasi perdagangan.
Pasalnya, konteks pajak digital sering dikaitkan dengan polemik dalam perdagangan internasional yakni pengaturan pengenaan PPh atas entitas digital (bukan PPN). Dalam hal PPh tersebut, belum adanya konsensus global tentang tata cara pemajakannya mendorong negara menggunakan pajak transaksi elektronik (PTE) secara sepihak.
Menariknya, khusus untuk PTE pengenaannya seringkali hanya ditujukan untuk entitas digital dengan nilai di atas peredaran bruto tertentu yang notabene adalah raksasa digital, dan mayoritas berasal dari AS.
"Inilah yang membuat berang AS sehingga mendorong aksi balasan di ranah perdagangan. Artinya, diskriminasi dalam hal pajak dibalas dengan diskriminasi dalam hal perdagangan," kata Darussalam saat dihubungi SINDOnews di Jakarta, Kamis (4/6/2020). (Baca : Trump Kesal Netflix Kena Pajak, Sri Mulyani Enggan Komentar )
Dia menuturkan, dalam konteks pajak internasional maupun perdagangan internasional dikenal prinsip non-discrimination. Keduanya sama-sama berpendapat bahwa tidak diperbolehkannya terjadi perlakuan yang berbeda berdasarkan nasionalitas/kewarganegaraan. Khusus pada sistem perdagangan international ini disebut sebagai prinsip national treatment yang diatur WTO.
Lebih lanjut Darussalam mengatakan, ada dua perkembangan terkini yang akan menentukan ada atau tidaknya aksi balasan di ranah perdagangan tersebut. Pertama, AS sebagai negara G20 telah memberikan mandat pembahasan konsensus global PPh digital kepada OECD. "Jadi apapun putusannya agaknya akan diikuti," katanya.
Kedua, prospek tertundanya konsensus telah meningkatkan ancang-ancang dari berbagai negara semisal Austria, Turki, Italia, Indonesia, untuk mengatur secara unilateral.
"Dalam hal ini, hegemoni AS tentu semakin mendapatkan perlawanan dan agaknya AS juga akan sangat berhitung jika mengambil langkah balasan," pungkasnya.
Pasalnya, konteks pajak digital sering dikaitkan dengan polemik dalam perdagangan internasional yakni pengaturan pengenaan PPh atas entitas digital (bukan PPN). Dalam hal PPh tersebut, belum adanya konsensus global tentang tata cara pemajakannya mendorong negara menggunakan pajak transaksi elektronik (PTE) secara sepihak.
Menariknya, khusus untuk PTE pengenaannya seringkali hanya ditujukan untuk entitas digital dengan nilai di atas peredaran bruto tertentu yang notabene adalah raksasa digital, dan mayoritas berasal dari AS.
"Inilah yang membuat berang AS sehingga mendorong aksi balasan di ranah perdagangan. Artinya, diskriminasi dalam hal pajak dibalas dengan diskriminasi dalam hal perdagangan," kata Darussalam saat dihubungi SINDOnews di Jakarta, Kamis (4/6/2020). (Baca : Trump Kesal Netflix Kena Pajak, Sri Mulyani Enggan Komentar )
Dia menuturkan, dalam konteks pajak internasional maupun perdagangan internasional dikenal prinsip non-discrimination. Keduanya sama-sama berpendapat bahwa tidak diperbolehkannya terjadi perlakuan yang berbeda berdasarkan nasionalitas/kewarganegaraan. Khusus pada sistem perdagangan international ini disebut sebagai prinsip national treatment yang diatur WTO.
Lebih lanjut Darussalam mengatakan, ada dua perkembangan terkini yang akan menentukan ada atau tidaknya aksi balasan di ranah perdagangan tersebut. Pertama, AS sebagai negara G20 telah memberikan mandat pembahasan konsensus global PPh digital kepada OECD. "Jadi apapun putusannya agaknya akan diikuti," katanya.
Kedua, prospek tertundanya konsensus telah meningkatkan ancang-ancang dari berbagai negara semisal Austria, Turki, Italia, Indonesia, untuk mengatur secara unilateral.
"Dalam hal ini, hegemoni AS tentu semakin mendapatkan perlawanan dan agaknya AS juga akan sangat berhitung jika mengambil langkah balasan," pungkasnya.
(ind)