Ini Plus Minus RUU Infrastruktur AS Bagi Ekonomi Indonesia
loading...
A
A
A
JAKARTA - Rancangan Undang-Undang (RUU) Infrastruktur Amerika Serikat (AS) akhirnya mendapat persetujuan dari Kongres AS. RUU tersebut ditujukan untuk peningkatan infrastruktur seperti jalan raya, broadband dan infrastruktur pendukung lain yang nilainya mencapai USD1 triliun atau setara Rp14,4 kuadriliun.
Setelah disepakati di Kongres, selanjutnya RUU akan dikirimkan ke presiden AS Joe Biden untuk ditandatangani dan disahkan menjadi undang-undang (UU). Lantas, bagaimana dampaknya untuk Indonesia?
Baca Juga: 5 Negara dengan Proyek Infrastruktur Terbesar di Dunia
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyebut bahwa dampak pengesahan tersebut memiliki plus dan minus. Dia menilai pengesahan RUU itu menjadi UU nantinya bisa memicu penerbitan surat utang pemerintah AS dalam skala besar. Hampir mirip dengan kondisi tapering off, kondisi demikian dinilai mampu menarik likuiditas dari negara-negara berkembang untuk kembali ke AS.
"Dampaknya akan mix ya. Implikasi dari besarnya anggaran infrastruktur AS akan memicu penerbitan surat utang pemerintah AS secara besar besaran. Kondisi ini bisa menyedot likuiditas dari negara berkembang kembali ke AS. Hampir bersamaan terjadi tapering off," kata Bhima saat dihubungi MNC Portal Indonesia (MPI), Sabtu (6/11/2021) sore.
Dia juga mengingatkan bahwa nilai tukar rupiah bakal bisa melemah karena keluarnya modal asing. Namun, Bhima menilai ada peluang bagi Indonesia untuk menggenjot pembangunan yang ramah lingkungan sejalan dengan komitmen pembangunan infrastruktur AS yang sebagian besarnya mengarah pada 'pembangunan hijau' atau energi terbarukan.
Terkait potensi tambang, Bhima mencermati ada keuntungan dari para pemasok bahan baku konstruksi khususnya pemain-pemain ekspor. Dirinya melihat ada peluang dari emiten produsen nikel dan besi baja menyusul kebutuhan infrastruktur di Negeri Paman Sam.
"Di sisi lain investor tengah berburu saham-saham di negara pemasok bahan baku konstruksi seperti Indonesia. Saham berbasis nikel mungkin makin diincar investor sebagai komponen penting dari baterai. Begitu juga dengan saham produsen besi baja bisa terdorong meningkat karena AS jadi tujuan ekspor besi baja yang potensial selama ini," tuturnya.
Bhima menilai potensi ekspor ke AS terbuka luas. Dia mengacu pada data tahun 2020 dari Trademap yang menunjukkan nilai ekspor besi baja ke Negara Adidaya tersebut meningkat sebesar USD142 juta dan porsinya 12% terhadap total ekspor ke AS. "Investor akan membaca secara spesifik sektor mana yang diuntungkan dengan adanya kebijakan AS ini," ucapnya.
Lolosnya RUU Infrastruktur ini menjadi jalan mulus bagi Joe Biden dalam mewujudkan agenda domestik di bawah pemerintahannya, terutama di bidang infrastruktur.
Pemerintahan Biden selanjutnya akan fokus mengawasi perbaikan jalan raya, kereta api, dan infrastruktur transportasi lainnya. Hal ini juga sejalan dengan janjinya kampanyenya yang akan menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan daya saing AS.
Lihat Juga: Negara Pendiri BRICS yang Mulai Ragu Tinggalkan Dolar AS, Salah Satunya Musuh Amerika Serikat
Setelah disepakati di Kongres, selanjutnya RUU akan dikirimkan ke presiden AS Joe Biden untuk ditandatangani dan disahkan menjadi undang-undang (UU). Lantas, bagaimana dampaknya untuk Indonesia?
Baca Juga: 5 Negara dengan Proyek Infrastruktur Terbesar di Dunia
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyebut bahwa dampak pengesahan tersebut memiliki plus dan minus. Dia menilai pengesahan RUU itu menjadi UU nantinya bisa memicu penerbitan surat utang pemerintah AS dalam skala besar. Hampir mirip dengan kondisi tapering off, kondisi demikian dinilai mampu menarik likuiditas dari negara-negara berkembang untuk kembali ke AS.
"Dampaknya akan mix ya. Implikasi dari besarnya anggaran infrastruktur AS akan memicu penerbitan surat utang pemerintah AS secara besar besaran. Kondisi ini bisa menyedot likuiditas dari negara berkembang kembali ke AS. Hampir bersamaan terjadi tapering off," kata Bhima saat dihubungi MNC Portal Indonesia (MPI), Sabtu (6/11/2021) sore.
Dia juga mengingatkan bahwa nilai tukar rupiah bakal bisa melemah karena keluarnya modal asing. Namun, Bhima menilai ada peluang bagi Indonesia untuk menggenjot pembangunan yang ramah lingkungan sejalan dengan komitmen pembangunan infrastruktur AS yang sebagian besarnya mengarah pada 'pembangunan hijau' atau energi terbarukan.
Terkait potensi tambang, Bhima mencermati ada keuntungan dari para pemasok bahan baku konstruksi khususnya pemain-pemain ekspor. Dirinya melihat ada peluang dari emiten produsen nikel dan besi baja menyusul kebutuhan infrastruktur di Negeri Paman Sam.
"Di sisi lain investor tengah berburu saham-saham di negara pemasok bahan baku konstruksi seperti Indonesia. Saham berbasis nikel mungkin makin diincar investor sebagai komponen penting dari baterai. Begitu juga dengan saham produsen besi baja bisa terdorong meningkat karena AS jadi tujuan ekspor besi baja yang potensial selama ini," tuturnya.
Bhima menilai potensi ekspor ke AS terbuka luas. Dia mengacu pada data tahun 2020 dari Trademap yang menunjukkan nilai ekspor besi baja ke Negara Adidaya tersebut meningkat sebesar USD142 juta dan porsinya 12% terhadap total ekspor ke AS. "Investor akan membaca secara spesifik sektor mana yang diuntungkan dengan adanya kebijakan AS ini," ucapnya.
Lolosnya RUU Infrastruktur ini menjadi jalan mulus bagi Joe Biden dalam mewujudkan agenda domestik di bawah pemerintahannya, terutama di bidang infrastruktur.
Pemerintahan Biden selanjutnya akan fokus mengawasi perbaikan jalan raya, kereta api, dan infrastruktur transportasi lainnya. Hal ini juga sejalan dengan janjinya kampanyenya yang akan menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan daya saing AS.
Lihat Juga: Negara Pendiri BRICS yang Mulai Ragu Tinggalkan Dolar AS, Salah Satunya Musuh Amerika Serikat
(ind)