Anak Buah Cerita Kronologi Menko Luhut Terlibat Bisnis PCR

Senin, 08 November 2021 - 17:26 WIB
loading...
A A A
Dalam realisasinya, dirinya telah berkoordinasi dan mengontak Dekan FK UI, Unpad, UGM, Unair, Undip, Udayana, dan USU. Baca Juga: Ada di Lingkaran Bisnis PCR, Luhut: Memberi, Tangan Kiri Tak Perlu Tahu

“Di sinilah kemudian dirinya mengenal dokter dan tenaga medis yang kemudian mengajarkan saya lebih detail mengenai test PCR ini, alat-alat apa saja yang diperlukan, serta rekomendasi merek yang bagus. Berdasarkan diskusi dengan mereka, waktu itu diputuskan bahwa kita akan beli alat PCR dari Roche," ungkapnya.

Pemesanan untuk alat PCR Roche dilakukan pada akhir Maret 2020. Dalam perjalanannya, dirinya kemudian bertemu dengan Budi Gunadi Sadikin, Wakil Menteri BUMN pada saat itu, yang kini sudah menjabat sebagai Menteri Kesehatan.

"Beliau rupanya juga diperintahkan Pak Erick untuk mencari alat PCR ini guna rumah sakit-rumah sakit BUMN. Jadi mencegah nanti kita rebutan alat PCR, saya menawarkan ke Pak Budi supaya kita pesen bareng-bareng ke Roche, sehingga ordernya bisa lebih besar dan harapannya tentu saja kita bisa nawar harga yang lebih baik," jelasnya.

Pada akhir April 2020, alat-alat PCR ini mulai datang dan mulai didistribusikan ke Fakultas-Fakultas Kedokteran yang disebutkan di atas.

"Itupun berkat lobi sana-sini dari Kemenlu, Kementerian BUMN, dan berbagai pihak lain yang dilakukan untuk meminta Roche agar barang yang sudah kita pesan tidak direbut negara lain. Karena kita mendengar ada satu negara Timur Tengah yang sudah menyediakan 100 juta dolar dan bersedia membayar cash di depan untuk membeli alat-alat PCR yang tersedia di pasar saat itu," paparnya.

Setelah alat datang, pada awal Mei reagennya baru datang. Masalah pun belum selesai, para lab itu kemudian juga menyampaikan bahwa mereka butuh Viral Transport Medium (VTM).

"Saya tanya ke mereka barang apa pula itu. Mereka menjelaskan bahwa VTM ini adalah alat untuk menampung hasil swab yang akan mendeaktifkan virusnya sebelum kemudian bisa dilakukan ekstraksi RNA. Rupanya banyak sekali perintilan material-material yang dibutuhkan untuk melakukan test PCR ini, bukan hanya reagen saja, di mana kalau salah satu barang gak ada, test PCR tidak bisa dilakukan," jelasnya.

"Long story short (Singkat Cerita) berbagai perintilan barang itu bisa kita dapatkan dan lab-lab di berbagai fakultas kedokteran itu bisa mulai melakukan test. Namun karena proses ekstraksinya masih manual, masing-masing lab paling hanya bisa melakukan 100-200 test per hari. Jauh dari target yang kita minta yaitu 700-1.000 test per hari," tuturnya.

Dia mengatakan, masalah kemudian muncul karena alat ekstraksi RNA yang dipesan dari Roche tidak bisa didapatkan. Kalau tidak salah, imbuhnya, karena suplai barangnya sangat terbatas dan diperebutkan oleh negara-negara lain juga.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1419 seconds (0.1#10.140)