Pengamat Pertanyakan Pemangkasan Frekuensi Pasca-Merger Perusahaan Telko
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kementerian Komunikasi dan Informatika ( Kominfo ) menyetujui aksi merger yang dilakukan dua operator telekomunikasi, yakni PT Indosat Ooredoo Tbk dan PT Hutchison 3 Indonesia. Namun, frekuensi kedua operator telekomunikasi tersebut harus dipangkas dan dikembalikan ke pemerintah.
Head of Research Praus Capital, Alfred Nainggolan, menilai kebijakan itu tentu di luar ekspektasi, jika melihat telah berlakunya UU Cipta Kerja mengenai kerja sama penggunaan spektrum antar-operator.
“Hal ini bisa menjadi preseden yang buruk bagi industri telekomunikasi Tanah Air, terkhusus dalam upaya penguatan perusahaan telekomunikasi di Indonesia melalui konsolidasi operator telekomunikasi. Lahir dan berlakunya UU Cipta Kerja ditujukan untuk memberikan stimulus dalam investasi, sehingga investor semakin diyakinkan lagi dengan kepastian hukum dari UU tersebut,” jelasnya, Selasa (9/11/2021).
Alfred menilai pengurangan frekuensi terhadap perusahaan hasil merger tentu sangat merugikan, karena tentu salah satu tujuan utama dari merger operator telekomunikasi adalah memaksimalkan frekuensi yang dimiliki nantinya.
“Saya menilai keputusan merger Indosat dan Hutchison 3 adalah mengharapkan bisa memaksimalkan frekuensi yang dimiliki oleh Indosat dan juga Hutchison 3, dan saya juga yakin jika tahu akan ada pengurangan hasil frekuensi pasca-merger tentu keputusannya akan berbeda,” jelasnya.
Menurut dia, telah terjadi ketidaksinkronan kebijakan, pemerintah di satu sisi mengamini bahwa merger atau konsolidasi operator telekomunikasi adalah jalan mendorong efisiensi industri telekomunikasi dan mempercepat transformasi digital di Indonesia. Namun di sisi lain, secara tidak langsung jalan untuk merger dan konsolidasi tersebut terhambat dengan kerugian yang dihasilkan pasca-merger karena aturan yang berlaku.
“Pengurangan frekuensi pasca-merger ini mengulang kembali kasus merger XL Axiata dan Axis tahun 2014, yang artinya kehadiran UU Cipta Kerja khusus di sektor telekomunikasi tidak menjadi pembeda atau tidak memberikan stimulus bagi pelaku industri, seperti yang selama ini digaungkan oleh pemerintah,” pungkasnya.
Head of Research Praus Capital, Alfred Nainggolan, menilai kebijakan itu tentu di luar ekspektasi, jika melihat telah berlakunya UU Cipta Kerja mengenai kerja sama penggunaan spektrum antar-operator.
“Hal ini bisa menjadi preseden yang buruk bagi industri telekomunikasi Tanah Air, terkhusus dalam upaya penguatan perusahaan telekomunikasi di Indonesia melalui konsolidasi operator telekomunikasi. Lahir dan berlakunya UU Cipta Kerja ditujukan untuk memberikan stimulus dalam investasi, sehingga investor semakin diyakinkan lagi dengan kepastian hukum dari UU tersebut,” jelasnya, Selasa (9/11/2021).
Alfred menilai pengurangan frekuensi terhadap perusahaan hasil merger tentu sangat merugikan, karena tentu salah satu tujuan utama dari merger operator telekomunikasi adalah memaksimalkan frekuensi yang dimiliki nantinya.
“Saya menilai keputusan merger Indosat dan Hutchison 3 adalah mengharapkan bisa memaksimalkan frekuensi yang dimiliki oleh Indosat dan juga Hutchison 3, dan saya juga yakin jika tahu akan ada pengurangan hasil frekuensi pasca-merger tentu keputusannya akan berbeda,” jelasnya.
Menurut dia, telah terjadi ketidaksinkronan kebijakan, pemerintah di satu sisi mengamini bahwa merger atau konsolidasi operator telekomunikasi adalah jalan mendorong efisiensi industri telekomunikasi dan mempercepat transformasi digital di Indonesia. Namun di sisi lain, secara tidak langsung jalan untuk merger dan konsolidasi tersebut terhambat dengan kerugian yang dihasilkan pasca-merger karena aturan yang berlaku.
“Pengurangan frekuensi pasca-merger ini mengulang kembali kasus merger XL Axiata dan Axis tahun 2014, yang artinya kehadiran UU Cipta Kerja khusus di sektor telekomunikasi tidak menjadi pembeda atau tidak memberikan stimulus bagi pelaku industri, seperti yang selama ini digaungkan oleh pemerintah,” pungkasnya.
(uka)