Kucuran Insentif dan Kelonggaran Pendanaan Proyek EBT
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah mengindentifikasi dampak Covid-19 dengan mengeluarkan sejumlah kebijakan untuk menangkal efek negatif tersebut. Direktur Konservasi Energi Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Hariyanto mengungkapkan, jenis kebijakan yang dikeluarkan adalah dengan memberikan sejumlah insentif dan kelonggaran pendanaan pada proyek EBT.
"Kami telah melakukan berbagai upaya penanggulangan atas dampak Covid-19 di subsektor EBT," kata Hariyanto di Jakarta, Kamis (23/4/2020).
Untuk stimulus pendanaan, sambung Hariyanto, Pemerintah telah menangguhkan angsuran pinjaman hingga penurunan suku bunga proyek berbasis EBT. Selain itu, keringanan lain berupa ralaksasi Commercial Operation Date (COD) dan peniadaan denda finansial untuk menyesuaikan mekanisme pengadaan Independent Power Producer (IPP).
Ada pula pemberian subsidi melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) terhadap pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (BBN) jenis Biodiesel. Sebaliknya akan ada biaya tambahan (surcharge) untuk Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis solar.
Tak hanya itu, Pemerintah juga memberikan insentif khusus pajak melalui penangguhan dan penghapusan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) bagi pengembangan aneka EBT. Guna menjaga roda perekonomian terutama di daerah, Kementerian ESDM memfokuskan percepatan proyek EBT yang bersifat padat karya dan desentralisasi.
"PLTS Atap di kantor instansi Pemerintah atau industri perikanan (cold storage), PLTMH dan PLTS off grid tetap berjalan meskipun pabrikan PLTS ini beberapa telah menurunkan produksi," ungkap Hariyanto.
Sementara, proyek-proyek berbasis APBN akan dilakukan restrukturisasi dan refokusing untuk tetap menggerakkan roda perekonomian masyarakat. "Program seperti Penerangan Jalan Umum-Tenaga Surya (PJU-TS) tetap berjalan walaupun dari sisi volume berkurang," jelas Hariyanto.
Sebelumnya Ia merinci sejumlah kendala di sektor EBT akibat adanya Covid-19, diantaranya terhambatnya sejumlah proyek dalam kontruksi/pengadaan mengakibatkan overhead cost dan bunga sehingga terjadi lay off (pemberhentian) tenaga kerja, kenaikan biaya konstruksi, pembatasan mobilisasi personil dan logistrik, hingga permintaan listrik yang terus menurun.
"Kami telah melakukan berbagai upaya penanggulangan atas dampak Covid-19 di subsektor EBT," kata Hariyanto di Jakarta, Kamis (23/4/2020).
Untuk stimulus pendanaan, sambung Hariyanto, Pemerintah telah menangguhkan angsuran pinjaman hingga penurunan suku bunga proyek berbasis EBT. Selain itu, keringanan lain berupa ralaksasi Commercial Operation Date (COD) dan peniadaan denda finansial untuk menyesuaikan mekanisme pengadaan Independent Power Producer (IPP).
Ada pula pemberian subsidi melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) terhadap pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (BBN) jenis Biodiesel. Sebaliknya akan ada biaya tambahan (surcharge) untuk Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis solar.
Tak hanya itu, Pemerintah juga memberikan insentif khusus pajak melalui penangguhan dan penghapusan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) bagi pengembangan aneka EBT. Guna menjaga roda perekonomian terutama di daerah, Kementerian ESDM memfokuskan percepatan proyek EBT yang bersifat padat karya dan desentralisasi.
"PLTS Atap di kantor instansi Pemerintah atau industri perikanan (cold storage), PLTMH dan PLTS off grid tetap berjalan meskipun pabrikan PLTS ini beberapa telah menurunkan produksi," ungkap Hariyanto.
Sementara, proyek-proyek berbasis APBN akan dilakukan restrukturisasi dan refokusing untuk tetap menggerakkan roda perekonomian masyarakat. "Program seperti Penerangan Jalan Umum-Tenaga Surya (PJU-TS) tetap berjalan walaupun dari sisi volume berkurang," jelas Hariyanto.
Sebelumnya Ia merinci sejumlah kendala di sektor EBT akibat adanya Covid-19, diantaranya terhambatnya sejumlah proyek dalam kontruksi/pengadaan mengakibatkan overhead cost dan bunga sehingga terjadi lay off (pemberhentian) tenaga kerja, kenaikan biaya konstruksi, pembatasan mobilisasi personil dan logistrik, hingga permintaan listrik yang terus menurun.
(akr)