Ironis! Kaya Bahan Baku, Industri Herbal Indonesia Tak Berkembang
loading...
A
A
A
BANDUNG - Industri farmasi di Indonesia masih kesulitan mengembangkan obat-obatan berbahan baku tanaman dan tumbuhan atau herbal . Padahal, Indonesia memiliki kekayaan bahan baku yang melimpah.
Akibatnya, produksi obat-obatan herbal untuk berbagai penyakit di Indonesia masih sangat minim. Salah satu penyebab utama sulitnya pengembangan obat-obatan herbal di Indonesia akibat belum adanya titik temu antara lembaga farmasi dalam hal ini perguruan tinggi dengan industri.
"Tidak ada titik temu. Perguruan tinggi mikirnya A, perusahaan mikirnya B. Padahal, harusnya dipertemukan, ini yang laku dijualnya apa dan bermanfaat bagi masyarakat," ujar Adang Firmansyah, Ketua Sekolah Tinggi Farmasi Indonesia (STFI), di Bandung, Sabtu (22/1/2022).
Lanjut Adang, dunia akademik tengah berupaya mencari titik temu dan kesepahaman dengan industri. Sehingga, penelitian, termasuk produksi obat-obatan herbal di Indonesia bisa berkembang pesat karena ada pasar yang merespons.
"Perusahaan tidak ada yang mau karena tidak ada permintaan pasarnya. Jadi, percuma kalau membuat obat (herbal), tapi tidak ada pasar (pembeli)," katanya.
Menurut Adang, STFI atau perguruan tinggi sudah berhasil membuat lima produk obat herbal, mulai dari vitamin hingga obat untuk diabetes yang bahan bakunya didapat langsung dari petani lokal.
"Ada lima produk yang sudah kami pasarkan dan itu membentuk ekosistem ekonomi di tingkat petaninya karena menggunakan bahan dari petani," katanya.
Sementara itu, Irfan Firmansyah, Ketua Yayasan Hazanah yang menaungi STFI, meyakinkan bahwa pihaknya mendukung penuh upaya penelitian obat-obatan herbal di STFI. Terlebih, pihaknya mengharapkan setiap lulusan STFI mampu memberikan kontribusi untuk perkembangam dunia farmasi di Indonesia.
"Makanya kita sekarang mulai siapkan sarana prasarana dengan dukungan dan pendidikan. Sebagai perguruan tinggi, bukan hanya mencetak saja, tapi juga memberikan dampak atau kontribusi nyata bagi perkembangan dunia kesehatan secara umum, farmasi obat obatan secara khusus," tutur Irfan.
Akibatnya, produksi obat-obatan herbal untuk berbagai penyakit di Indonesia masih sangat minim. Salah satu penyebab utama sulitnya pengembangan obat-obatan herbal di Indonesia akibat belum adanya titik temu antara lembaga farmasi dalam hal ini perguruan tinggi dengan industri.
"Tidak ada titik temu. Perguruan tinggi mikirnya A, perusahaan mikirnya B. Padahal, harusnya dipertemukan, ini yang laku dijualnya apa dan bermanfaat bagi masyarakat," ujar Adang Firmansyah, Ketua Sekolah Tinggi Farmasi Indonesia (STFI), di Bandung, Sabtu (22/1/2022).
Lanjut Adang, dunia akademik tengah berupaya mencari titik temu dan kesepahaman dengan industri. Sehingga, penelitian, termasuk produksi obat-obatan herbal di Indonesia bisa berkembang pesat karena ada pasar yang merespons.
"Perusahaan tidak ada yang mau karena tidak ada permintaan pasarnya. Jadi, percuma kalau membuat obat (herbal), tapi tidak ada pasar (pembeli)," katanya.
Menurut Adang, STFI atau perguruan tinggi sudah berhasil membuat lima produk obat herbal, mulai dari vitamin hingga obat untuk diabetes yang bahan bakunya didapat langsung dari petani lokal.
"Ada lima produk yang sudah kami pasarkan dan itu membentuk ekosistem ekonomi di tingkat petaninya karena menggunakan bahan dari petani," katanya.
Sementara itu, Irfan Firmansyah, Ketua Yayasan Hazanah yang menaungi STFI, meyakinkan bahwa pihaknya mendukung penuh upaya penelitian obat-obatan herbal di STFI. Terlebih, pihaknya mengharapkan setiap lulusan STFI mampu memberikan kontribusi untuk perkembangam dunia farmasi di Indonesia.
"Makanya kita sekarang mulai siapkan sarana prasarana dengan dukungan dan pendidikan. Sebagai perguruan tinggi, bukan hanya mencetak saja, tapi juga memberikan dampak atau kontribusi nyata bagi perkembangan dunia kesehatan secara umum, farmasi obat obatan secara khusus," tutur Irfan.
(uka)