Masa Transisi, Pelaku Ritel Perlu Lebih Inovatif Gaet Konsumen

Minggu, 14 Juni 2020 - 13:55 WIB
loading...
Masa Transisi, Pelaku Ritel Perlu Lebih Inovatif Gaet Konsumen
Pada masa transisi menuju kenormalan baru pelaku industri ritel dinilai perlu makin inovatif demi memenangi pembeli. Foto/Ilustrasi
A A A
JAKARTA - Pelaku ritel kini memasuki era persaingan untuk memenangi hati pelanggan dengan memperkuat strategi engagement dan connectivity. Namun, protokol kesehatan di masa transisi menuju tatanan kenormalan baru (new normal) menjadi tantangan karena bisa membuat pelanggan enggan berbelanja seperti masa normal.

Untuk itu, salah upaya inovasi yang perlu ditempuh adalah dengan pengembangan dari sisi teknologi informasi (TI). Presiden Direktur IBM Indonesia Tan Wijaya mengingatkan pentingnya pengembangan inovasi berbasis TI bagi para pelaku ritel baik offline dan online.

Salah satu inovasi menurutnya yang sangat dibutuhkan adalah mengoptimalkan penggunaan kamera CCTV di toko fisik. Saat ini penggunaannya tidak lagi hanya sekedar tujuan keamanan toko, tapi lebih dari itu, agar pelaku ritel lebih mengenali kebiasaan konsumennya.

"Dulu CCTV hanya untuk menjaga keamanan. Tapi sekarang bisa dikembangkan misalnya untuk mengenali konsumen langganan yang datang. Kita bisa langsung proaktif melayani dan paham kebutuhannya apa saja," ujar Tan dalam diskusi "Key Success Factor Bisnis Ritel di Era New Normal" di Jakarta, Minggu (14/6/2020).

(Baca Juga: Winning in The New Normal)

Dia menjelaskan, dengan CCTV pelaku ritel dapat lebih cepat mengenali pelanggan utamanya dan seketika bisa melayani secara jemput bola atau proaktif menawarkan produk yang biasa ditanyakan. Menurutnya, CCTV juga bisa diperkuat fitur pengenalan wajah, namun tentunya atas seizin pelanggan tersebut.

"Bahkan kita juga bisa analisa bahasa tubuh seperti arah pandangan kemana saja. Jadi pemilik toko bisa menyiasati dalam penempatan produk lebih strategis. Banyak manfaat lainnya," ujarnya.

Sementara itu untuk pedagang online menurutnya juga dapat lebih membaca kebiasaan pelanggan di situs online. Berbagai upaya harus dilakukan untuk menahan pelanggan betah berlama-lama melihat situs online toko ritel. "Mereka dapat mengetahui berapa lama pelanggan bertahan di satu halaman dan harus dipikirkan fitur apa yang dibutuhkan untuk menahannya betah dan lebih lama," tuturnya.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Nicholas Mandey menilai pelaku ritel modern siap memasuki transisi pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Karena itu menurut dia sangat penting berinovasi di tengah penerapan protokol kesehatan dengan tetap meningkatkan engagement dan connectivity. Dirinya mencontohkan supermarket kini sudah memulai mengombinasikan penjarakan fisik dan belanja offline. Selain itu brand besar juga telah mengembangkan edukasi produk dari jauh-jauh hari sebelum diluncurkan.

"Sekarang sudah ada supermarket yang melayani pesan online sebelum ke toko. Kemudian pelanggan tinggal parkir mobilnya lalu barang dihantarkan ke mobil. Ini inovasi demi menjaga protokol kesehatan," ujar Roy.

Sementara itu Direktur Riset Iconomics Alex Mulya menjelaskan data riset yang dilakukan ada penurunan tingkat kekhawatiran masyarakat sejak bulan April hingga Juni. Menurutnya jumlah masyarakat yang sangat khawatir saat April sudah jauh berkurang dan berganti dengan kondisi ragu-ragu. Bahkan keberanian masyarakat untuk belanja offline ke toko fisik sudah mulai meningkat di bulan Juni.

"Ada penurunan masyarakat yang tadinya sangat khawatir menjadi hanya ragu-ragu. Mereka sepertinya menyadari hanya melihat angka kematian dari media saja dan tidak melihat langsung di lingkungan mereka," ujar Alex dalam kesempatan sama.

Lebih lanjut dia juga memaparkan data riset kekhawatiran konsumen toko ritel di Jabodetabek. Menurutnya konsumen segmen low value memiliki kekhawatiran sebesar 71% terhadap penularan dari sesama konsumen yang juga berbelanja. Selain itu mereka juga khawatir tingkat kebersihan permukaan benda-benda yang bisa menularkan virus selama berbelanja. Sebaliknya para konsumen segmen high value customer memiliki 65% kekhawatiran terhadap pegawai toko. Ini karena pegawai toko berbicara lebih intens dan dengan jarak lebih dekat.

Menurutnya toko premium memiliki karakter konsumen yang biasa bepergian dengan mobil dan paham dengan penjarakan fisik. Sehingga ini membuat mereka lebih khawatir dengan pegawai toko yang belum ada kejelasan kondisinya serta tidak disiplin dengan protokol kesehatan.

"Sehingga selain memberikan partisi untuk kenyamanan konsumen, tapi toko ritel juga harus menunjukkan kesehatan pegawainya. Serta harus diberi pelatihan untuk menjaga jarak dan mengurangi sentuhan ke benda yang akan dipakai konsumen seperti piring atau sendok," ujar dia.
(fai)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1512 seconds (0.1#10.140)