Seleksi Calon Petinggi OJK: Di Luar Kalangan BI, Jangan Terlalu Ngarep!
loading...
A
A
A
JAKARTA - 33 calon sudah lolos seleksi tahap II pemilihan anggota dewan komisioner Otoritas Jasa Keuangan ( OJK ). Cukup beragam latar belakang para calon itu, mulai dari dosen, profesional, pejabat kementerian/lembaga hingga petinggi Bank Indonesia (BI).
Yang menarik, dari 33 calon itu, mereka yang berasal dari Bank Indonesia terlihat mendominasi. Ada empat pejabat BI yang lolos seleksi tahap II, yaitu H. Hariyadi (Direktur Eksekutif Bank Indonesia), Peter Jacobs (Direktur Eksekutif, Kepala Departemen Jasa Perbankan, Perizinan, dan Operasional Treasuri Bank Indonesia), Agusman (Direktur Eksekutif Kepala Departemen Audit Intern BI), dan Doddy Zulverdi (Direktur Eksekutif Kepala Departemen Internasional BI).
Malahan, kalau diteliti lagi ada tujuh calon yang berasal dari BI atau pernah berkiprah di bank sentral. Mereka adalah Tirta Segara (angggota DK OJK saat ini) yang sebelumnya menjabat direktur eksekutif komunikasi BI. Lalu Difi Johansyah (komisaris PT Finnet Indonesia) yang sebelumnya juga di BI. Terakhir adalah Mirza Adityaswara mantan deputi gubernur BI.
Peluang orang-orang Kebon Sirih untuk duduk menjadi anggota DK OJK jelas lebih besar dibanding kandidat lainnya. Pertama, di panitia seleksi sendiri, berdasarkan Kepres No.145/P Tahun 2021, ada dua pejabat BI, yaitu Gubernur BI Perry Warjiyo dan Deputi Gubernur BI Dody Budi Waluyu.
"Pasti lebih besar peluangnya dibandingkan dengan peserta dari instansi lain. Selain itu, dari instansi kementerian teknis juga besar, seperti Kementerian Keuangan ataupun Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian," kata Nailul Huda, ekonom Indef, kepada Sindonews Senin (21/2/2022).
Jika kita lihat formasi anggota petinggi OJK saat ini pun masih "didominasi" oleh para awak bank sentral atau pernah berkiprah di situ. Ada Wimboh Santoso, Heru Kristiyana, Ahmad Hidayat, Tirta Segara, dan Dodi Budi Waluyu (ex officio).
Tentu saja, formasi Lapangan Banteng rasa Kebon Sirih saat ini akan teracik kembali di periode 2022-2027. Selain karena persolan pemilihan teknis, juga sejumlah faktor lainnya, dan sangat menentukan.
Pertama, menurut Nailul, pengalaman pejabat BI yang memang sudah mafhum dengan tugas dan wewenang OJK. Kedua, relasi pegawai OJK dengan BI turut berpengaruh pada adaptasi sehingga bisa langsung tancap gas saat bekerja.
"Faktor lainnya adalah penempatan 'orang dekat' BI dalam DK OJK untuk lebih mempermudah koordinasi dan sinkornisasi kebijakan," jelas Nailul.
Yang terakhir itulah yang paling penting. Tempo lalu, seorang pejabat BI pernah berujar, orang-orang BI memang didorong oleh institusi mereka sendiri untuk duduk di OJK agar pengaturan industri jasa keuangan mikro harmonis dengan kebijakan-kebijakan BI yang makro.
Bagaimanpun kebijakan OJK dan BI saling terkait. Jangan sampai ada kebijakan OJK yang justru "nyelonong" melewati batas, seperti pengaturan capping (pembatasan) suku bunga deposito delapan tahun lalu.
Menurut Nailul, masuknya para "desertir" BI menjadi petinggi OJK juga untuk menghindari konflik kepentingan pengaturan industri jasa keuangan. Jika bos-bos OJK banyak dari kalangan profesional di industri jasa keuangan, baik perbankan maupun non-perbankan, justru akan menciptakan konflik kepentingan itu.
"Konflik kepentingan malah akan banyak dari sisi kalangan profesional karena orang yang diawasi dan yang mengawasi 'sama'. Kemudian dari pemerintahan teknis juga. Tapi kalo sama Bank Indonesia mungkin tak akan masalah karena sama-sama berasal dari bidang moneter atau perbankan. Jadi seharusnya aturan-aturan OJK juga akan selaras dengan Bank Indonesia," tandas Nailul.
Chatib Basri, salah seorang anggota pansel, ketika ditanya soal seleksi anggota DK OJK tak bisa berkomentar. Chatib menyerahkan sepenuhnya kepada ketua pansel.
"Semua informasi soal (seleksi) OJK harap ditanyakan kepada Ketua Pansel Sri Mulyani Indrawati," kata Chatib lewat pesan WA kepada Sindonews.
Sementera itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani belum memberikan penjelasan soal ini. Sejumlah pertanyaan yang diajukan lewat Yustinus Prastowo, staf ahli Menkeu, yang dikirim sejak kemarin pagi, hingga siang tadi belum ada jawaban.
Yang menarik, dari 33 calon itu, mereka yang berasal dari Bank Indonesia terlihat mendominasi. Ada empat pejabat BI yang lolos seleksi tahap II, yaitu H. Hariyadi (Direktur Eksekutif Bank Indonesia), Peter Jacobs (Direktur Eksekutif, Kepala Departemen Jasa Perbankan, Perizinan, dan Operasional Treasuri Bank Indonesia), Agusman (Direktur Eksekutif Kepala Departemen Audit Intern BI), dan Doddy Zulverdi (Direktur Eksekutif Kepala Departemen Internasional BI).
Malahan, kalau diteliti lagi ada tujuh calon yang berasal dari BI atau pernah berkiprah di bank sentral. Mereka adalah Tirta Segara (angggota DK OJK saat ini) yang sebelumnya menjabat direktur eksekutif komunikasi BI. Lalu Difi Johansyah (komisaris PT Finnet Indonesia) yang sebelumnya juga di BI. Terakhir adalah Mirza Adityaswara mantan deputi gubernur BI.
Peluang orang-orang Kebon Sirih untuk duduk menjadi anggota DK OJK jelas lebih besar dibanding kandidat lainnya. Pertama, di panitia seleksi sendiri, berdasarkan Kepres No.145/P Tahun 2021, ada dua pejabat BI, yaitu Gubernur BI Perry Warjiyo dan Deputi Gubernur BI Dody Budi Waluyu.
"Pasti lebih besar peluangnya dibandingkan dengan peserta dari instansi lain. Selain itu, dari instansi kementerian teknis juga besar, seperti Kementerian Keuangan ataupun Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian," kata Nailul Huda, ekonom Indef, kepada Sindonews Senin (21/2/2022).
Jika kita lihat formasi anggota petinggi OJK saat ini pun masih "didominasi" oleh para awak bank sentral atau pernah berkiprah di situ. Ada Wimboh Santoso, Heru Kristiyana, Ahmad Hidayat, Tirta Segara, dan Dodi Budi Waluyu (ex officio).
Tentu saja, formasi Lapangan Banteng rasa Kebon Sirih saat ini akan teracik kembali di periode 2022-2027. Selain karena persolan pemilihan teknis, juga sejumlah faktor lainnya, dan sangat menentukan.
Pertama, menurut Nailul, pengalaman pejabat BI yang memang sudah mafhum dengan tugas dan wewenang OJK. Kedua, relasi pegawai OJK dengan BI turut berpengaruh pada adaptasi sehingga bisa langsung tancap gas saat bekerja.
"Faktor lainnya adalah penempatan 'orang dekat' BI dalam DK OJK untuk lebih mempermudah koordinasi dan sinkornisasi kebijakan," jelas Nailul.
Yang terakhir itulah yang paling penting. Tempo lalu, seorang pejabat BI pernah berujar, orang-orang BI memang didorong oleh institusi mereka sendiri untuk duduk di OJK agar pengaturan industri jasa keuangan mikro harmonis dengan kebijakan-kebijakan BI yang makro.
Bagaimanpun kebijakan OJK dan BI saling terkait. Jangan sampai ada kebijakan OJK yang justru "nyelonong" melewati batas, seperti pengaturan capping (pembatasan) suku bunga deposito delapan tahun lalu.
Menurut Nailul, masuknya para "desertir" BI menjadi petinggi OJK juga untuk menghindari konflik kepentingan pengaturan industri jasa keuangan. Jika bos-bos OJK banyak dari kalangan profesional di industri jasa keuangan, baik perbankan maupun non-perbankan, justru akan menciptakan konflik kepentingan itu.
"Konflik kepentingan malah akan banyak dari sisi kalangan profesional karena orang yang diawasi dan yang mengawasi 'sama'. Kemudian dari pemerintahan teknis juga. Tapi kalo sama Bank Indonesia mungkin tak akan masalah karena sama-sama berasal dari bidang moneter atau perbankan. Jadi seharusnya aturan-aturan OJK juga akan selaras dengan Bank Indonesia," tandas Nailul.
Chatib Basri, salah seorang anggota pansel, ketika ditanya soal seleksi anggota DK OJK tak bisa berkomentar. Chatib menyerahkan sepenuhnya kepada ketua pansel.
"Semua informasi soal (seleksi) OJK harap ditanyakan kepada Ketua Pansel Sri Mulyani Indrawati," kata Chatib lewat pesan WA kepada Sindonews.
Sementera itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani belum memberikan penjelasan soal ini. Sejumlah pertanyaan yang diajukan lewat Yustinus Prastowo, staf ahli Menkeu, yang dikirim sejak kemarin pagi, hingga siang tadi belum ada jawaban.
(uka)