Freddy Numberi Ingatkan Dana Covid-19 Rawan Penyelewengan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (Menpan) era Presiden Gus Dur, Laksamana Madya TNI (Purn) Freddy Numberi mengingatkan tingginya potensi penyelewenangan dalam alokasi dana penanggulangan Covid-19 yang totalnya mencapai Rp405 triliun.
Menurutnya, pengalaman empiris selama ini membuktikan bahwa dana penanggulangan bencana dan stimulus penyelematan krisis ekonomi selalu diwarnai penyelewengan uang negara yang cukup massif. Baik pemerintah maupun para 'predator ekonomi' di luar pemerintahan.
"Tentu ini sangat memprihatinkan kita sebagai bangsa dan juga menunjukkan betapa buruknya payung regulasi sistem birokrasi kita yang bertele-tele dan tidak transparan yang pada akhirnya berujung pada raibnya bantuan dana stimulus bagi rakyat yang saat ini disebut Jaring Pengaman Sosial (JPS)," kata Freddy dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Senin, (15/6/2020).
Freddy mengatakan, banyak contoh kasus dana stimulus yang seharusnya digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat namun berujung pada skandal korupsi. Tengok saja korupsi pada dana rekonstruksi pasca tsunami Aceh 2004 dan pemulihan bencana tsunami Jawa Barat 2009, dan berbagai dana bantuan lainnya yang akhirnya menjerat beberapa oknum dan masuk bui.
Pengalaman ini merefleksikan kepada kita bagaimana mudahnya dana bantuan ke masyarakat raib dan ironisnya, DPR sebagai lembaga yang bertugas mengawasi dan mengontrol pemerintah selalu gagal dalam upaya pencegahan terhadap penyelewengan dana-dana bantuan tersebut.
"Untuk itu, perlu peningkatan pengawasan yang ketat terhadap bantuan dana Covid-19 ini agar tidak sampai disalahgunakan," tegas Freddy.
Menteri Perhubungan 2004-2009 di era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ini juga menyoroti landasan hukum pandemi Covid-19. Yakni Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Pandemi Covid-19 yang kini telah disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020.
Menurutnya, pada Pasal 27 dalam undang-undang tersebut dinyatakan dengan bahwa biaya yang dikeluarkan pemerintah untuk mendukung program penanggulangan Covid-19 bukanlah merupakan kerugian negara dan pejabat yang mengeluarkan kebijakan tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana.
Pasal tersebut, kata Freddy, terkesan kuat memberikan perlindungan kepada setiap pejabat pemerintah yang mengeluarkan kebijakan dalam kaitan tindakan tertentu dalam kaitan dengan dana stimulus ini.
"Ini pasal sangat ambigu dan sarat dengan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) karena disumirkan dengan kata-kata bila dalam melaksanakan tugas didasarkan iktikad baik dan sesuai peraturan perundang-undangan," ujar Freddy.
Freddy pun khawatir pasal ini justru menjadi celah bagi pejabat tersebut untuk bebas melakukan KKN dalam penyaluran dana Covid-19 yang besarannya Rp405 triliun.
Dana Covid-19 sebesar Rp405 triliun ini tersebar ke empat sektor, yakni kesehatan Rp75 triliun, jaring pengaman sosial Rp 110 triliun, insentif perpajakan dan KUR Rp70 triliun, dan terakhir pembiayaan program pemulihan ekonomi nasional Rp150 triliun. Penggunaan dana ke seluruh sektor ini tidak dapat digugat ke pengadilan.
"Sehingga jika terjadi pelanggaran kerjasama dengan pihak farmasi manapun untuk distribusi obat dan peralatan kesehatan sebesar Rp75 triliun yang dibutuhkan masyarakat (tidak dapat diadili) karena tindakannya dikategorikan bukan merupakan objek gugatan di pengadilan tata usaha negara (PTUN). Hal ini akan membuka peluang terjadinya 'moral hazard' baik di pusat maupun daerah," katanya.
Untuk itu, Freddy mengimbau Presiden Jokowi agar membuat instrumen kebijakan sebagai turunan UU ini yang tepat, sehingga dapat mencegah terjadinya bencana maupun wabah korupsi akibat penggunaan UU ini. Pemerintah disarankan untuk membentuk Tim Khusus Pengawas Dana Covid-19 yang terkoordinasi dengan KPK dan BPK sebagai auditor negara.
"Dibutuhkan instrumen dan pengawasan yang kuat memastikan bantuan stimulus bagi masyarakat dan pelaku usaha ini betul-betul tepat sasaran dan dinikmati masyarakat, bukan sebaliknya oleh para predator ekonomi dengan dalih penanggulangan Covid-19," pungkasnya.
Menurutnya, pengalaman empiris selama ini membuktikan bahwa dana penanggulangan bencana dan stimulus penyelematan krisis ekonomi selalu diwarnai penyelewengan uang negara yang cukup massif. Baik pemerintah maupun para 'predator ekonomi' di luar pemerintahan.
"Tentu ini sangat memprihatinkan kita sebagai bangsa dan juga menunjukkan betapa buruknya payung regulasi sistem birokrasi kita yang bertele-tele dan tidak transparan yang pada akhirnya berujung pada raibnya bantuan dana stimulus bagi rakyat yang saat ini disebut Jaring Pengaman Sosial (JPS)," kata Freddy dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Senin, (15/6/2020).
Freddy mengatakan, banyak contoh kasus dana stimulus yang seharusnya digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat namun berujung pada skandal korupsi. Tengok saja korupsi pada dana rekonstruksi pasca tsunami Aceh 2004 dan pemulihan bencana tsunami Jawa Barat 2009, dan berbagai dana bantuan lainnya yang akhirnya menjerat beberapa oknum dan masuk bui.
Pengalaman ini merefleksikan kepada kita bagaimana mudahnya dana bantuan ke masyarakat raib dan ironisnya, DPR sebagai lembaga yang bertugas mengawasi dan mengontrol pemerintah selalu gagal dalam upaya pencegahan terhadap penyelewengan dana-dana bantuan tersebut.
"Untuk itu, perlu peningkatan pengawasan yang ketat terhadap bantuan dana Covid-19 ini agar tidak sampai disalahgunakan," tegas Freddy.
Menteri Perhubungan 2004-2009 di era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ini juga menyoroti landasan hukum pandemi Covid-19. Yakni Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Pandemi Covid-19 yang kini telah disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020.
Menurutnya, pada Pasal 27 dalam undang-undang tersebut dinyatakan dengan bahwa biaya yang dikeluarkan pemerintah untuk mendukung program penanggulangan Covid-19 bukanlah merupakan kerugian negara dan pejabat yang mengeluarkan kebijakan tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana.
Pasal tersebut, kata Freddy, terkesan kuat memberikan perlindungan kepada setiap pejabat pemerintah yang mengeluarkan kebijakan dalam kaitan tindakan tertentu dalam kaitan dengan dana stimulus ini.
"Ini pasal sangat ambigu dan sarat dengan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) karena disumirkan dengan kata-kata bila dalam melaksanakan tugas didasarkan iktikad baik dan sesuai peraturan perundang-undangan," ujar Freddy.
Freddy pun khawatir pasal ini justru menjadi celah bagi pejabat tersebut untuk bebas melakukan KKN dalam penyaluran dana Covid-19 yang besarannya Rp405 triliun.
Dana Covid-19 sebesar Rp405 triliun ini tersebar ke empat sektor, yakni kesehatan Rp75 triliun, jaring pengaman sosial Rp 110 triliun, insentif perpajakan dan KUR Rp70 triliun, dan terakhir pembiayaan program pemulihan ekonomi nasional Rp150 triliun. Penggunaan dana ke seluruh sektor ini tidak dapat digugat ke pengadilan.
"Sehingga jika terjadi pelanggaran kerjasama dengan pihak farmasi manapun untuk distribusi obat dan peralatan kesehatan sebesar Rp75 triliun yang dibutuhkan masyarakat (tidak dapat diadili) karena tindakannya dikategorikan bukan merupakan objek gugatan di pengadilan tata usaha negara (PTUN). Hal ini akan membuka peluang terjadinya 'moral hazard' baik di pusat maupun daerah," katanya.
Untuk itu, Freddy mengimbau Presiden Jokowi agar membuat instrumen kebijakan sebagai turunan UU ini yang tepat, sehingga dapat mencegah terjadinya bencana maupun wabah korupsi akibat penggunaan UU ini. Pemerintah disarankan untuk membentuk Tim Khusus Pengawas Dana Covid-19 yang terkoordinasi dengan KPK dan BPK sebagai auditor negara.
"Dibutuhkan instrumen dan pengawasan yang kuat memastikan bantuan stimulus bagi masyarakat dan pelaku usaha ini betul-betul tepat sasaran dan dinikmati masyarakat, bukan sebaliknya oleh para predator ekonomi dengan dalih penanggulangan Covid-19," pungkasnya.
(bon)