Fenomena Tingwe, Lahir sebagai Perlawanan Kebijakan Cukai yang Eksesif
loading...
A
A
A
JAKARTA - Tingweatau linting dewe sedang menjadi fenomena, setidaknya selama dua atau tiga tahun terakhir. Kenaikan tarif cukai rokok yang eksesif membuatnya menjadi solusi terbaik untuk tetap bisa ngebul.
Anggota komisi IV DPR RI Firman Soebagyo berpendapat, maraknyafenomena tingwesaat ini juga dilatari oleh kondisi terpuruknya ekonomi, cari uang sulit, pendapatan tidak menentu, pemerintah menaikkan cukai rokok akhirnya harga rokok naik. Jika dikalkulasi dengan pendapatan dan keuangan yang masuk dirasa sangat berat untuk beli rokok dengan harga sekarang. Sehingga banyak yang memutuskan beralih tingwe.
"Jadi saat ini, tingwe adalah simbol perlawanan masyarakat terhadap pemerintah dengan kebijakan yang tidak pro budaya rakyat dan terkesan semena-mena. Lambat laun, menjadi bumerang bagi pemerintah sendiri," tegas Firman Soebagyo di sela Festival Tembakau Nusantara 2022 bertajuk Tembakau Penyangga Perekonomian dan Solusi Rakyat Sejahtera yang digelar oleh Komunitas Tingwe Tembakau Indonesia (KTTI), di Jakarta, Sabtu (5/3/2022).
Menurut dia tingwe adalah bukti bahwa merokok adalah budaya. Tidak bisa serta merta pemerintah menghentikan aktivitas merokok, sekalipun harga rokok dinaikkan. Artinya pemerintah menaikkan cukai dengan tujuan menghentikan aktivitas merokok dan pengendalian tembakau tidak terbukti korelasinya. Masyarakat justru melawan dengan beralih tingwe.
Di tengah strategisnya peran industri hasil tembakau (IHT), selalu dihadapkan pada polemik yang berkepanjangan. Besarnya potensi kontribusi cukai hasil tembakau (CHT), menyebabkan kebijakan cukai semakin eksesif.
Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI mengatakan, desain kebijakan cukai hampir setiap tahun lewat instrumen Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Hal tersebut berpotensi menimbulkan ketidakpastian dan mengancam keberlangsungan IHT. Hal ini berdampak pada penurunan tenaga kerja di industri dari hulu hingga ke hilir. Belum lagi dampak juga akan terasa pada perekonomian daerah yang mengandalkan perkebunan tembakau dan industrinya.
"Kenaikan cukai tiap tahun yang mencekik ditambah dengan dampak pandemi Covid-19, inflasi, pertumbuhan ekonomi yang minus telah membuat kondisi industri hasil tembakau (IHT) semakin tertekan dan tidak menentu. Dampaknya adalah pada pekerja yang terlibat dalam sektor industri ini," tegasnya.
Massifnya advokasi dan kampanye kaum anti rokok yang diduga mendapatkan kucuran dana dari Bloomberg Initiative, dan The Union justru bertentangan dengan komitmen Presiden Jokowi untuk menciptakan tenaga kerja dengan menarik investasi ke Indonesia. "Sebagaimana tertuang dalam UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Mandat UU Cipta Kerja adalah menarik investasi ke Indonesia agar tidak ada pengangguran," terangnya.
Oleh karena itu, Firman Soebagyo mendorong pemerintah untuk memiliki sense of belonging terhadap komoditas strategis nasional sektor pertembakauan. Menurut Firman, industri hasil tembakau (IHT) dapat menciptakan efek pengganda karena kemampuannya dalam menyerap tenaga kerja yang besar, mulai dari sektor hulu hingga hilir, berkontribusi besar dalam menggerakan perekonomian daerah.
Pemerintah mencatat, total tenaga kerja yang diserap oleh sektor IHT sebanyak 5,98 juta orang pada 2019. Angka ini diperkirakan meningkat menjadi 6 juta orang dalam dua tahun terakhir. Kemudian, IHT menjadi salah satu industri yang mampu memenuhi persyaratan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) cukup tinggi. Industri ini juga terbukti mampu menjadi salah satu tulang punggung penerimaan negara, dimana penerimaan cukai lebih dari 95 persen berasal dari Cukai Hasil Tembakau (CHT).
"Tembakau sebagai komoditas strategis nasional harus dilindungi, Perlunya regulasi yang menjamin adanya kepastian hukum, keberlangsungan, dan kedaulatan pertembakauan nasional dari segala bentuk intervensi regulasi asing, barrier perdagangan dunia, tekanan tembakau impor ataupun serbuan rokok asing dan rokok ilegal," pungkasnya.
Anggota komisi IV DPR RI Firman Soebagyo berpendapat, maraknyafenomena tingwesaat ini juga dilatari oleh kondisi terpuruknya ekonomi, cari uang sulit, pendapatan tidak menentu, pemerintah menaikkan cukai rokok akhirnya harga rokok naik. Jika dikalkulasi dengan pendapatan dan keuangan yang masuk dirasa sangat berat untuk beli rokok dengan harga sekarang. Sehingga banyak yang memutuskan beralih tingwe.
"Jadi saat ini, tingwe adalah simbol perlawanan masyarakat terhadap pemerintah dengan kebijakan yang tidak pro budaya rakyat dan terkesan semena-mena. Lambat laun, menjadi bumerang bagi pemerintah sendiri," tegas Firman Soebagyo di sela Festival Tembakau Nusantara 2022 bertajuk Tembakau Penyangga Perekonomian dan Solusi Rakyat Sejahtera yang digelar oleh Komunitas Tingwe Tembakau Indonesia (KTTI), di Jakarta, Sabtu (5/3/2022).
Menurut dia tingwe adalah bukti bahwa merokok adalah budaya. Tidak bisa serta merta pemerintah menghentikan aktivitas merokok, sekalipun harga rokok dinaikkan. Artinya pemerintah menaikkan cukai dengan tujuan menghentikan aktivitas merokok dan pengendalian tembakau tidak terbukti korelasinya. Masyarakat justru melawan dengan beralih tingwe.
Di tengah strategisnya peran industri hasil tembakau (IHT), selalu dihadapkan pada polemik yang berkepanjangan. Besarnya potensi kontribusi cukai hasil tembakau (CHT), menyebabkan kebijakan cukai semakin eksesif.
Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI mengatakan, desain kebijakan cukai hampir setiap tahun lewat instrumen Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Hal tersebut berpotensi menimbulkan ketidakpastian dan mengancam keberlangsungan IHT. Hal ini berdampak pada penurunan tenaga kerja di industri dari hulu hingga ke hilir. Belum lagi dampak juga akan terasa pada perekonomian daerah yang mengandalkan perkebunan tembakau dan industrinya.
"Kenaikan cukai tiap tahun yang mencekik ditambah dengan dampak pandemi Covid-19, inflasi, pertumbuhan ekonomi yang minus telah membuat kondisi industri hasil tembakau (IHT) semakin tertekan dan tidak menentu. Dampaknya adalah pada pekerja yang terlibat dalam sektor industri ini," tegasnya.
Massifnya advokasi dan kampanye kaum anti rokok yang diduga mendapatkan kucuran dana dari Bloomberg Initiative, dan The Union justru bertentangan dengan komitmen Presiden Jokowi untuk menciptakan tenaga kerja dengan menarik investasi ke Indonesia. "Sebagaimana tertuang dalam UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Mandat UU Cipta Kerja adalah menarik investasi ke Indonesia agar tidak ada pengangguran," terangnya.
Oleh karena itu, Firman Soebagyo mendorong pemerintah untuk memiliki sense of belonging terhadap komoditas strategis nasional sektor pertembakauan. Menurut Firman, industri hasil tembakau (IHT) dapat menciptakan efek pengganda karena kemampuannya dalam menyerap tenaga kerja yang besar, mulai dari sektor hulu hingga hilir, berkontribusi besar dalam menggerakan perekonomian daerah.
Pemerintah mencatat, total tenaga kerja yang diserap oleh sektor IHT sebanyak 5,98 juta orang pada 2019. Angka ini diperkirakan meningkat menjadi 6 juta orang dalam dua tahun terakhir. Kemudian, IHT menjadi salah satu industri yang mampu memenuhi persyaratan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) cukup tinggi. Industri ini juga terbukti mampu menjadi salah satu tulang punggung penerimaan negara, dimana penerimaan cukai lebih dari 95 persen berasal dari Cukai Hasil Tembakau (CHT).
"Tembakau sebagai komoditas strategis nasional harus dilindungi, Perlunya regulasi yang menjamin adanya kepastian hukum, keberlangsungan, dan kedaulatan pertembakauan nasional dari segala bentuk intervensi regulasi asing, barrier perdagangan dunia, tekanan tembakau impor ataupun serbuan rokok asing dan rokok ilegal," pungkasnya.
(nng)