Perkuat Literasi Hak Konsumen
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pengaduan konsumen Indonesia pada tahun 2021 meningkat 10 kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya. Perlu ada aturan yang jelas mengenai informasi suatu produk atau jasa, serta mekanisme pengaduan dan penyelesaiannya agar masyarakat memperoleh hak-haknya sebagai konsumen.
Data pengaduan konsumen sepanjang 2021 yang dirilis Direktorat Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga (PKTN) Kementerian Perdagangan (Kemendag) awal Januari lalu, cukup mengejutkan. Tahun lalu terdapat ada 9.393 pengaduan dari konsumen. Jumlah itu meningkat tajam dari tahun sebelumnya yang hanya 931 pengaduan.
Dari jumlah tersebut 95,3% di antaranya atau 8.949 pengaduan konsumen terjadi di sektor perdagangan elektronik (e-commerce).Rinciannya, pengaduan itu meliputi, sektor makanan dan minuman, jasa transportasi, pengembalian dana, pembelian barang yang tidak sesuai dengan perjanjian atau rusak, barang tidak diterima konsumen, pembatalan sepihak oleh pelaku usaha, penipuan belanja daring, dan waktu kedatangan barang tidak sesuai dengan yang dijanjikan.
Tingginya pengaduan di sektor e-commerce seiring dengan perilaku belanja masyarakat sebagai dampak pandemi Covid-19. pembatasan sosial membuat masyarakat lebih suka belanja secara daring. Banyaknya pengaduan di sektor perdagangan elektronik menjadi ironi karena dengan serbadigital seharusnya proses transaksi lebih transparan dan tercatat dengan baik.Namun, dunia digital merupakan ranah tak terbatas dan sulit diawasi. Tak heran salah satu jenis pengaduannya adalah penipuan belanja daring.
Dirjen PKTN Kemendag Veri Anggrijono menegaskan komitmennya untuk merespons pengaduan konsumen. Dia mengungkapkan, meskipun banyak pengaduan pihaknya telah menyelesaikan 99,2% atau 9.318 pengaduan. Tinggal tujuh pengaduan belum selesai.
"Pengaduan yang dinyatakan dalam proses merupakan yang masih menunggu kelengkapan data dari konsumen, dalam proses analisis dokumen, menunggu klarifikasi dari pelaku usaha atau konsumen, dan sedang proses mediasi. Pengaduan tidak diproses jika konsumen sudha menyampaikan pengaduan yang sama ke lembaga lain, seperti Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, pengadilan negeri atau kepolisian,” ujarnya dikutip dari keterangan resmi di situs Kemendag.
Berdasarkan penelusuran, masalah klasik konsumen Indonesia adalah pasrah ketika menerima produk atau jasa yang tak sesuai dan tidak tahu mekanisme pengaduan. Kondisi ini merembet pada banyak hal, seperti pelaku usaha, industri, dan produsen sesukanya memberikan layanan dan informasi, serta kualitas produk atau jasa menjadi tidak baik. Pemerintah atau aparat hukum pun sulit mendeteksi jika terjadi pelanggaran administrasi maupun dugaan tindak pidana.
Pelaku usaha, industri, atau produsen juga harus jujur dalam memberikan informasi mengenai produk atau jasa yang dijual, serta syarat dan ketentuan dalam pembelian. Ini harus diikuti dengan sikap konsumen yang kritis terhadap layanan, produk, dan jasa dibeli. Yang kerap terjadi adalah ketidakjujuran dari pelaku usaha bertemu dengan kelalaian atau kemalesan konsumen dalam membaca informasi dari suatu produk.
Data pengaduan konsumen sepanjang 2021 yang dirilis Direktorat Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga (PKTN) Kementerian Perdagangan (Kemendag) awal Januari lalu, cukup mengejutkan. Tahun lalu terdapat ada 9.393 pengaduan dari konsumen. Jumlah itu meningkat tajam dari tahun sebelumnya yang hanya 931 pengaduan.
Dari jumlah tersebut 95,3% di antaranya atau 8.949 pengaduan konsumen terjadi di sektor perdagangan elektronik (e-commerce).Rinciannya, pengaduan itu meliputi, sektor makanan dan minuman, jasa transportasi, pengembalian dana, pembelian barang yang tidak sesuai dengan perjanjian atau rusak, barang tidak diterima konsumen, pembatalan sepihak oleh pelaku usaha, penipuan belanja daring, dan waktu kedatangan barang tidak sesuai dengan yang dijanjikan.
Tingginya pengaduan di sektor e-commerce seiring dengan perilaku belanja masyarakat sebagai dampak pandemi Covid-19. pembatasan sosial membuat masyarakat lebih suka belanja secara daring. Banyaknya pengaduan di sektor perdagangan elektronik menjadi ironi karena dengan serbadigital seharusnya proses transaksi lebih transparan dan tercatat dengan baik.Namun, dunia digital merupakan ranah tak terbatas dan sulit diawasi. Tak heran salah satu jenis pengaduannya adalah penipuan belanja daring.
Dirjen PKTN Kemendag Veri Anggrijono menegaskan komitmennya untuk merespons pengaduan konsumen. Dia mengungkapkan, meskipun banyak pengaduan pihaknya telah menyelesaikan 99,2% atau 9.318 pengaduan. Tinggal tujuh pengaduan belum selesai.
"Pengaduan yang dinyatakan dalam proses merupakan yang masih menunggu kelengkapan data dari konsumen, dalam proses analisis dokumen, menunggu klarifikasi dari pelaku usaha atau konsumen, dan sedang proses mediasi. Pengaduan tidak diproses jika konsumen sudha menyampaikan pengaduan yang sama ke lembaga lain, seperti Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, pengadilan negeri atau kepolisian,” ujarnya dikutip dari keterangan resmi di situs Kemendag.
Berdasarkan penelusuran, masalah klasik konsumen Indonesia adalah pasrah ketika menerima produk atau jasa yang tak sesuai dan tidak tahu mekanisme pengaduan. Kondisi ini merembet pada banyak hal, seperti pelaku usaha, industri, dan produsen sesukanya memberikan layanan dan informasi, serta kualitas produk atau jasa menjadi tidak baik. Pemerintah atau aparat hukum pun sulit mendeteksi jika terjadi pelanggaran administrasi maupun dugaan tindak pidana.
Pelaku usaha, industri, atau produsen juga harus jujur dalam memberikan informasi mengenai produk atau jasa yang dijual, serta syarat dan ketentuan dalam pembelian. Ini harus diikuti dengan sikap konsumen yang kritis terhadap layanan, produk, dan jasa dibeli. Yang kerap terjadi adalah ketidakjujuran dari pelaku usaha bertemu dengan kelalaian atau kemalesan konsumen dalam membaca informasi dari suatu produk.