Perkuat Literasi Hak Konsumen
loading...
A
A
A
Alphonzus mengklaim pihaknya selalu memfasilitasi untuk penyelesaian masalah jika ada keluhan dari konsumen terhadap produk atau pelayanan suatu toko. “Jika memang ditemukan adanya pelanggaran yang dilakukan oleh toko, pengelola akan memberikan sanksi, mulai dari teguran, penghentian sementara operasional sampai pengakhiran sewa lebih awal,” paparnya.
Rendahnya Literasi
Anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) Rolas Sitinjak mengatakan perlindungan dan pemenuhan hak-hak konsumen saat ini sudah cukup. Namun, pada beberapa hal belum maksimal. Dia merujuk pada Indeks Pemberdayaan Konsumen Indonesia (IKK) 2020 yang masih 49,07 persen.Dia mengakui ada masalah pada pemahaman dan pengetahuan masyarakat terhadap hak-haknya yang tercantum pada UU Nonor 8 Tahun 1999. “Budaya masyarakat kita ini kalau ada masalah dalam hal mengkonsumsi atau menggunakan barang atau jasa enggak melakukan pengaduan atau komplain,” ujarnya.
Hal tersebut, menurutnya, berdampak pada regulasi-regulasi yang menjadi tidak maksimal dalam melindungi dan memenuhi hak-hak konsumen. Berdasarkan data BPKN, sektor jasa keuangan, perdagangan elektronik, dan perumahan paling banyak diadukan pada tahun ini. Secara berurutan, jumlahnya 56, 51, dan 46 pengaduan.
Data Komisi Advokasi BPKN menyebutkan kerugian konsumen pada tahun lalu mencapai Rp2.457.836.109.715. Sementara untuk tahun ini, kerugian konsumen diperkirakan mencapai Rp25.275.767.997 (per 10 Maret 2022). Rolas menyatakan perlu adanya penguatan regulasi pada sektor-sektor yang banyak diadukan, yakni perdagangan elektronik dan jasa keuangan.
“Perlu sebuah regulasi atau sistem terintegrasi dengan seluruh kementerian/lembaga dalam melaksanakan pelayanan konsumen, seperti Online Dispute Resolution (ODR). Hal ini berfungsi untuk mengawasi dan melindungi setiap konsumen. Pelaku usaha yang memiliki izin atau melakukan usahanya di Indonesia harus memiliki layanan konsumen dan masuk sistem ini,” paparnya.
Sementara itu, Pengurus Harian Yayasan Konsumen Indonesia (YLKI) Sudaryatmo menjabarkan beberapa masalah yang membuat konsumen Indonesia tidak mendapatkan hak-haknya secara maksimal. Pertama, literasi masyarakat terhadap produk atau jasa, terutama sektor keuangan, masih rendah.
Dia mencontohkan kasus-kasus pinjamanonline(pinjol) dimana banyak masyarakat yang kaget atas besarnya tagihan yang harus ditanggung. Padahal, konsumen seharusnya tahu sejak awal melakukan peminjaman. Dia menyebut pelaku usaha memiliki banyak informasi, tetapi sedikit yang diperoleh konsumen.
“Tugas regulator untukmembalancinginformasi tadi. Informasi-informasibasicapa saja yang harus diketahui konsumen sebelum berhubungan dengan suatu produk jasa keuangan. Industri juga harus dipaksa untuk menjelaskan atau transparan mengenai produknya. Asimetris informasi memang industri diuntungkan,” ujarnya.
Sudaryanto juga memberikan contoh keluhan pada sektor perdagangan elektronik. Foto-foto produk yang dipajang di lokapasar (platform e-commerce) sering kali tanpa dilengkapi dimensi. Konsumen kerap langsung tertarik dengan foto-foto yang dipajang. Setelah menerima produk ternyata tidak sesuai dengan yang dibayangkan.
Masalah kedua konsumen Indonesia adalah rendahnya literasi terkait perjanjian. Dalam transaksi di perdagangan elektronik dan pinjol, konsumen harus memberikan persetujuan. Sudaryatmo menyatakan rata-rata konsumen tidak membaca syarat dan ketentuan. Mereka biasanya langsung setuju saja. Baru sadar jika isinya tidak adil setelah ada masalah di kemudian hari.
Rendahnya Literasi
Anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) Rolas Sitinjak mengatakan perlindungan dan pemenuhan hak-hak konsumen saat ini sudah cukup. Namun, pada beberapa hal belum maksimal. Dia merujuk pada Indeks Pemberdayaan Konsumen Indonesia (IKK) 2020 yang masih 49,07 persen.Dia mengakui ada masalah pada pemahaman dan pengetahuan masyarakat terhadap hak-haknya yang tercantum pada UU Nonor 8 Tahun 1999. “Budaya masyarakat kita ini kalau ada masalah dalam hal mengkonsumsi atau menggunakan barang atau jasa enggak melakukan pengaduan atau komplain,” ujarnya.
Hal tersebut, menurutnya, berdampak pada regulasi-regulasi yang menjadi tidak maksimal dalam melindungi dan memenuhi hak-hak konsumen. Berdasarkan data BPKN, sektor jasa keuangan, perdagangan elektronik, dan perumahan paling banyak diadukan pada tahun ini. Secara berurutan, jumlahnya 56, 51, dan 46 pengaduan.
Data Komisi Advokasi BPKN menyebutkan kerugian konsumen pada tahun lalu mencapai Rp2.457.836.109.715. Sementara untuk tahun ini, kerugian konsumen diperkirakan mencapai Rp25.275.767.997 (per 10 Maret 2022). Rolas menyatakan perlu adanya penguatan regulasi pada sektor-sektor yang banyak diadukan, yakni perdagangan elektronik dan jasa keuangan.
“Perlu sebuah regulasi atau sistem terintegrasi dengan seluruh kementerian/lembaga dalam melaksanakan pelayanan konsumen, seperti Online Dispute Resolution (ODR). Hal ini berfungsi untuk mengawasi dan melindungi setiap konsumen. Pelaku usaha yang memiliki izin atau melakukan usahanya di Indonesia harus memiliki layanan konsumen dan masuk sistem ini,” paparnya.
Sementara itu, Pengurus Harian Yayasan Konsumen Indonesia (YLKI) Sudaryatmo menjabarkan beberapa masalah yang membuat konsumen Indonesia tidak mendapatkan hak-haknya secara maksimal. Pertama, literasi masyarakat terhadap produk atau jasa, terutama sektor keuangan, masih rendah.
Dia mencontohkan kasus-kasus pinjamanonline(pinjol) dimana banyak masyarakat yang kaget atas besarnya tagihan yang harus ditanggung. Padahal, konsumen seharusnya tahu sejak awal melakukan peminjaman. Dia menyebut pelaku usaha memiliki banyak informasi, tetapi sedikit yang diperoleh konsumen.
“Tugas regulator untukmembalancinginformasi tadi. Informasi-informasibasicapa saja yang harus diketahui konsumen sebelum berhubungan dengan suatu produk jasa keuangan. Industri juga harus dipaksa untuk menjelaskan atau transparan mengenai produknya. Asimetris informasi memang industri diuntungkan,” ujarnya.
Sudaryanto juga memberikan contoh keluhan pada sektor perdagangan elektronik. Foto-foto produk yang dipajang di lokapasar (platform e-commerce) sering kali tanpa dilengkapi dimensi. Konsumen kerap langsung tertarik dengan foto-foto yang dipajang. Setelah menerima produk ternyata tidak sesuai dengan yang dibayangkan.
Masalah kedua konsumen Indonesia adalah rendahnya literasi terkait perjanjian. Dalam transaksi di perdagangan elektronik dan pinjol, konsumen harus memberikan persetujuan. Sudaryatmo menyatakan rata-rata konsumen tidak membaca syarat dan ketentuan. Mereka biasanya langsung setuju saja. Baru sadar jika isinya tidak adil setelah ada masalah di kemudian hari.