Perkuat Literasi Hak Konsumen

Selasa, 15 Maret 2022 - 11:35 WIB
loading...
Perkuat Literasi Hak Konsumen
Literasi konsumen harus diperkuat untuk memperoleh hak-hak yang semestinya. FOTO/WIN CAHYONO
A A A
JAKARTA - Pengaduan konsumen Indonesia pada tahun 2021 meningkat 10 kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya. Perlu ada aturan yang jelas mengenai informasi suatu produk atau jasa, serta mekanisme pengaduan dan penyelesaiannya agar masyarakat memperoleh hak-haknya sebagai konsumen.

Data pengaduan konsumen sepanjang 2021 yang dirilis Direktorat Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga (PKTN) Kementerian Perdagangan (Kemendag) awal Januari lalu, cukup mengejutkan. Tahun lalu terdapat ada 9.393 pengaduan dari konsumen. Jumlah itu meningkat tajam dari tahun sebelumnya yang hanya 931 pengaduan.

Dari jumlah tersebut 95,3% di antaranya atau 8.949 pengaduan konsumen terjadi di sektor perdagangan elektronik (e-commerce).Rinciannya, pengaduan itu meliputi, sektor makanan dan minuman, jasa transportasi, pengembalian dana, pembelian barang yang tidak sesuai dengan perjanjian atau rusak, barang tidak diterima konsumen, pembatalan sepihak oleh pelaku usaha, penipuan belanja daring, dan waktu kedatangan barang tidak sesuai dengan yang dijanjikan.



Tingginya pengaduan di sektor e-commerce seiring dengan perilaku belanja masyarakat sebagai dampak pandemi Covid-19. pembatasan sosial membuat masyarakat lebih suka belanja secara daring. Banyaknya pengaduan di sektor perdagangan elektronik menjadi ironi karena dengan serbadigital seharusnya proses transaksi lebih transparan dan tercatat dengan baik.Namun, dunia digital merupakan ranah tak terbatas dan sulit diawasi. Tak heran salah satu jenis pengaduannya adalah penipuan belanja daring.

Dirjen PKTN Kemendag Veri Anggrijono menegaskan komitmennya untuk merespons pengaduan konsumen. Dia mengungkapkan, meskipun banyak pengaduan pihaknya telah menyelesaikan 99,2% atau 9.318 pengaduan. Tinggal tujuh pengaduan belum selesai.

"Pengaduan yang dinyatakan dalam proses merupakan yang masih menunggu kelengkapan data dari konsumen, dalam proses analisis dokumen, menunggu klarifikasi dari pelaku usaha atau konsumen, dan sedang proses mediasi. Pengaduan tidak diproses jika konsumen sudha menyampaikan pengaduan yang sama ke lembaga lain, seperti Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, pengadilan negeri atau kepolisian,” ujarnya dikutip dari keterangan resmi di situs Kemendag.

Berdasarkan penelusuran, masalah klasik konsumen Indonesia adalah pasrah ketika menerima produk atau jasa yang tak sesuai dan tidak tahu mekanisme pengaduan. Kondisi ini merembet pada banyak hal, seperti pelaku usaha, industri, dan produsen sesukanya memberikan layanan dan informasi, serta kualitas produk atau jasa menjadi tidak baik. Pemerintah atau aparat hukum pun sulit mendeteksi jika terjadi pelanggaran administrasi maupun dugaan tindak pidana.



Pelaku usaha, industri, atau produsen juga harus jujur dalam memberikan informasi mengenai produk atau jasa yang dijual, serta syarat dan ketentuan dalam pembelian. Ini harus diikuti dengan sikap konsumen yang kritis terhadap layanan, produk, dan jasa dibeli. Yang kerap terjadi adalah ketidakjujuran dari pelaku usaha bertemu dengan kelalaian atau kemalesan konsumen dalam membaca informasi dari suatu produk.

Kebiasaannya, konsumen baru sadar belakangan setelah merasa produk atau jasa tidak sesuai yang ditawarkan. Ketika situasi ini terjadi, konsumen kerap kebingungan harus melakukan apa dan mengadu kemana. Ada yang responsif melakukan protes dan menuntut haknya melalui nomor kontak atau media sosial (medsos) tertera pada produk.

Yang ironi, tak sedikit yang menerima saja ketidaksesuain produk atau jasa yang diperoleh. Di sinilah pentingnya konsumen memahami hak-haknya. Padahal, pada Pasal 4a Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, disebutkankonsumen berhak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang/jasa.

Kemudian, Pasal 4b menyatakankonsumen berhak untuk memilih barang/jasa, serta mendapatkan barang/jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi, serta jaminan yang dijanjikan.Selanjutnya, pada Pasal 4c menyebutkankonsumen berhak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang/jasa.

Anggota DPR RI Intan Fauzi yang membidang perdagangan, menilai peningkatan jumlah aduan yang signifikan pada tahun lalu menunjukkan fungsi pelayanan dan perlindungan konsumen yang seharusnya dijalankan pemerintah masih lemah. Di sisi lain, luasnya wilayah Indonesia dari Sabang-Merauke menjadi tantangan bagi pemerintah dalam menyebarkan informasi dan mempermudah akses layanan pengaduan.

Intan secara khusus menyoroti kasus judionlineberkedoktrading, seperti Binomo dan Quotex. Dia mengatakan konsumen sepertinya hanya melihat dan mendapatkan informasi dari medsos tentanginfluencer-influenceryang memamerkan kekayaannya. Melihat hal tersebut, banyak masyarakat yang akhirnya terbuai untuk ikut investasi.

Mereka tidak melihat atau mengecek lagi beberapa aspek penting dalam investasi, seperti legalitas produk atau jasa yang dipromosikan ke badan terkait, seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti). “Ini harus diakui literasi digital dan finansial masyarakat masih rendah,” ucapnya.

Politisi Partai Amanat Nasional (PAN) itu mendorong untuk memberikan informasi dan edukasi yang akurat kepada masyarakat. Dia juga mendesak pemerintah membuat kebijakan dan regulasi turunan dari UU Nomor 8 Tahun 1999 untuk melindungi masyarakat dalam perdagangan elektronik. Akan tetapi, jangan pula melupakan perlindungan dan pengawasan pada transaksioffline.

Intan juga mendorong adanya tindakan tegas terhadap dugaan tindak pidana yang merugikan konsumen. Hal ini untuk memberikan efek jera. Selain itu, Intan mengusulkan adanya pengaturan mengenai pemanfaataninfluenceragar mereka tidak asal mempromosikan suatu produk atau jasa. “Baik pelaku usaha,influenceratau apapun harus mengetahui dan punya tanggung jawab bahwa apa yang dia sampaikan itu informasinya benar,” pungkasnya.

Salah satu pelaku usaha, Alphonzus Widjaja mengatakan pemahaman masyarakat terhadap hak dan kewajiban sebagai konsumen semakin hari, semakin meningkat. Dia menerangkan tuntutan masyarakat yang semakin tinggi merupakan hal positif. Sebab, hal tersebut memaksa produsen dan pedagang untuk selalu memperhatikan produk dan memberikan pelayanan terbaik untuk konsumen.

"Adanya berbagai pengaduan masyarakat atas produk dan layanan harus disikapi sebagai hal positif. Itu berfungsi sebagai kontrol dalam upaya selalu meningkatkan kualitas produk dan pelayanan,” ujar Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) itu kepada Koran SINDO, Sabtu (14/3/2022).

Alphonzus mengklaim pihaknya selalu memfasilitasi untuk penyelesaian masalah jika ada keluhan dari konsumen terhadap produk atau pelayanan suatu toko. “Jika memang ditemukan adanya pelanggaran yang dilakukan oleh toko, pengelola akan memberikan sanksi, mulai dari teguran, penghentian sementara operasional sampai pengakhiran sewa lebih awal,” paparnya.

Rendahnya Literasi
Anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) Rolas Sitinjak mengatakan perlindungan dan pemenuhan hak-hak konsumen saat ini sudah cukup. Namun, pada beberapa hal belum maksimal. Dia merujuk pada Indeks Pemberdayaan Konsumen Indonesia (IKK) 2020 yang masih 49,07 persen.Dia mengakui ada masalah pada pemahaman dan pengetahuan masyarakat terhadap hak-haknya yang tercantum pada UU Nonor 8 Tahun 1999. “Budaya masyarakat kita ini kalau ada masalah dalam hal mengkonsumsi atau menggunakan barang atau jasa enggak melakukan pengaduan atau komplain,” ujarnya.

Hal tersebut, menurutnya, berdampak pada regulasi-regulasi yang menjadi tidak maksimal dalam melindungi dan memenuhi hak-hak konsumen. Berdasarkan data BPKN, sektor jasa keuangan, perdagangan elektronik, dan perumahan paling banyak diadukan pada tahun ini. Secara berurutan, jumlahnya 56, 51, dan 46 pengaduan.

Data Komisi Advokasi BPKN menyebutkan kerugian konsumen pada tahun lalu mencapai Rp2.457.836.109.715. Sementara untuk tahun ini, kerugian konsumen diperkirakan mencapai Rp25.275.767.997 (per 10 Maret 2022). Rolas menyatakan perlu adanya penguatan regulasi pada sektor-sektor yang banyak diadukan, yakni perdagangan elektronik dan jasa keuangan.

“Perlu sebuah regulasi atau sistem terintegrasi dengan seluruh kementerian/lembaga dalam melaksanakan pelayanan konsumen, seperti Online Dispute Resolution (ODR). Hal ini berfungsi untuk mengawasi dan melindungi setiap konsumen. Pelaku usaha yang memiliki izin atau melakukan usahanya di Indonesia harus memiliki layanan konsumen dan masuk sistem ini,” paparnya.

Sementara itu, Pengurus Harian Yayasan Konsumen Indonesia (YLKI) Sudaryatmo menjabarkan beberapa masalah yang membuat konsumen Indonesia tidak mendapatkan hak-haknya secara maksimal. Pertama, literasi masyarakat terhadap produk atau jasa, terutama sektor keuangan, masih rendah.

Dia mencontohkan kasus-kasus pinjamanonline(pinjol) dimana banyak masyarakat yang kaget atas besarnya tagihan yang harus ditanggung. Padahal, konsumen seharusnya tahu sejak awal melakukan peminjaman. Dia menyebut pelaku usaha memiliki banyak informasi, tetapi sedikit yang diperoleh konsumen.

“Tugas regulator untukmembalancinginformasi tadi. Informasi-informasibasicapa saja yang harus diketahui konsumen sebelum berhubungan dengan suatu produk jasa keuangan. Industri juga harus dipaksa untuk menjelaskan atau transparan mengenai produknya. Asimetris informasi memang industri diuntungkan,” ujarnya.

Sudaryanto juga memberikan contoh keluhan pada sektor perdagangan elektronik. Foto-foto produk yang dipajang di lokapasar (platform e-commerce) sering kali tanpa dilengkapi dimensi. Konsumen kerap langsung tertarik dengan foto-foto yang dipajang. Setelah menerima produk ternyata tidak sesuai dengan yang dibayangkan.

Masalah kedua konsumen Indonesia adalah rendahnya literasi terkait perjanjian. Dalam transaksi di perdagangan elektronik dan pinjol, konsumen harus memberikan persetujuan. Sudaryatmo menyatakan rata-rata konsumen tidak membaca syarat dan ketentuan. Mereka biasanya langsung setuju saja. Baru sadar jika isinya tidak adil setelah ada masalah di kemudian hari.

"Rata-rata konsumen dalam posisi sulit karena dia pilihannyatake it or leave itistilahnya. Dalam konteksnya perjanjian semestinya dalam pembuatan syarat dan ketentuan itu ada campur tangan pemerintah supaya penyelenggaraan platform tidak menyalahgunakan atau membentuk perjanjian yang berat sebelah,” tegasnya.

Terakhir, rendahnya literasi mengenai mekanisme pengaduan dan penyelesaian masalah. Sudaryatmo menyebutkan sebuah masalah besar yang dihadapi konsumen di era digital ini, yakni UU Perlindungan Konsumen yang berlaku masih mengatur secara umum dan regulasi-regulasi yang ada dibuat secara sektoral.

Dalam konteks ekonomi digital, menurutnya, harusnya pendekatan regulasinya secara ekosistem atau menyeluruh. ”Di era digital ini perkembangannya begitu cepat yang tidak mungkin diikuti regulasi. Banyak model bisnis yang aturannya enggak bisa mengikuti, kadang-kadang karena aturan enggak bisa mengikuti, pelaku industri digital bikin aturan sendiri,” jelasnya.
(ynt)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.8512 seconds (0.1#10.140)