Gagal Menstabilkan Harga Minyak Goreng, Pemerintah Kini Mempertaruhkan Masalah Kesehatan Masyarakat
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kebijakan Kementerian Perdagangan mengatur stabilitas harga dan ketersediaan minyak goreng saat ini belum membuahkan hasil yang terbaik untuk masyarakat. Setelah pemerintah mencabut HET untuk minyak goreng sehingga harganya menjadi tinggi, kini pemerintah justru mempertaruhkan kesehatan masyarakat.
Disatu sisi pemerintah berkeinginan untuk memukul harga murah meski harga minyak mentah dunia sedang tinggi, melalui kebijakan penetapan HET (harga eceran tertinggi) serta pengaturan DMO (Domestic Price Obligation) dan DPO (Domestic Price Obligation) 20% untuk ketersediaan minyak goreng.
Namun kebijakan tersebut dianggap melawan pasar, hasilnya minyak goreng mengalami kelangkaan. Berbagai tuduhan atas minyak goreng pun muncul, mulai dari adanya sinyal kartel mafia minyak goreng, hingga penimbunan minyak. Terlepas dari semua isu tuduhan tersebut, pada intinya masyarakat bawah atau konsumen akhir lah yang sulit mendapatkan barang tersebut. Hal tersebut membuat para pedagang khususnya yang menjadikan minyak goreng sebagai modal utama menjadi beban baru.
Mereka harus menaikan harga barang dagangannya, atau mencari cara untuk menipiskan modal sehingga tidak berpengaruh besar terhadap harga barang yang dijualnya. Misalnya salah satu pedagangan gorengan yang ditemui MNC Portal di Lubang Buaya, Jakarta Timur, Edi (60) yang sudah sejak lama berjualan gorengan keliling. Edi mengaku sejak harga minyak goreng naik keuntungannya tergerus karena harus mengeluarkan modal yang lebih untuk minyak goreng.
"Sekarang membeli minyak Rp49.000, sudah dua hari (menaikan harga gorengan), sebelumnya Rp1.000 satu, sekarang Rp5.000 dapay 4," ujar Edi saat ditemui MNC Portal.
Edi mengatakan dalam satu hari bisa menggunakan 3 botol minyak goreng ukuran 2 liter atau setara 6 liter satu harinya. Jika harga minyak goreng yang dibeli Edi dengan harga Rp49.000, maka dalam sehari ada modal yang dikeluarkan sebanyak Rp147.000 untuk membeli minyak goreng saja.
Oleh sebab itu Edi mengaku jika terdapat minyak yang tidak habis digunakan pada hari untuk berjualan, maka akan tidak dibuang karena bisa digunakan kembali untuk perdagangan esok hari, untuk menekan modal yang dikeluarkan untuk membeli minyak. Selain itu upaya menekan penggunaan minyak goreng, saat ini Edi mengurangi satu item barang dagangannya, yaitu singkong goreng. Sebab menurutnya singkong goreng paling banyak menyerap minyak.
"Makanya saya sekarang singkong tidak jual, karena boros minyak, terus kalau keras juga kan tidak laku," kata Edi.
Disisi lain tidak sekedar harga minyak goreng yang meningkat, dampak konflik Ukraina-Rusia juga tengah membuat harga tepung terigu yang menjadi bahan baku membuat gorengan juga mengalami peningkatan harga. International Grains Council (IGC) Market Indicator mencatat harga gandum di pasar dunia sudah mencapai US$335 per ton pada Maret 2022. Nilai tersebut mengalami kenaikan jika dibandingkan dengan harga tahun lalu yaitu USD229 per ton.
Disatu sisi pemerintah berkeinginan untuk memukul harga murah meski harga minyak mentah dunia sedang tinggi, melalui kebijakan penetapan HET (harga eceran tertinggi) serta pengaturan DMO (Domestic Price Obligation) dan DPO (Domestic Price Obligation) 20% untuk ketersediaan minyak goreng.
Namun kebijakan tersebut dianggap melawan pasar, hasilnya minyak goreng mengalami kelangkaan. Berbagai tuduhan atas minyak goreng pun muncul, mulai dari adanya sinyal kartel mafia minyak goreng, hingga penimbunan minyak. Terlepas dari semua isu tuduhan tersebut, pada intinya masyarakat bawah atau konsumen akhir lah yang sulit mendapatkan barang tersebut. Hal tersebut membuat para pedagang khususnya yang menjadikan minyak goreng sebagai modal utama menjadi beban baru.
Mereka harus menaikan harga barang dagangannya, atau mencari cara untuk menipiskan modal sehingga tidak berpengaruh besar terhadap harga barang yang dijualnya. Misalnya salah satu pedagangan gorengan yang ditemui MNC Portal di Lubang Buaya, Jakarta Timur, Edi (60) yang sudah sejak lama berjualan gorengan keliling. Edi mengaku sejak harga minyak goreng naik keuntungannya tergerus karena harus mengeluarkan modal yang lebih untuk minyak goreng.
"Sekarang membeli minyak Rp49.000, sudah dua hari (menaikan harga gorengan), sebelumnya Rp1.000 satu, sekarang Rp5.000 dapay 4," ujar Edi saat ditemui MNC Portal.
Edi mengatakan dalam satu hari bisa menggunakan 3 botol minyak goreng ukuran 2 liter atau setara 6 liter satu harinya. Jika harga minyak goreng yang dibeli Edi dengan harga Rp49.000, maka dalam sehari ada modal yang dikeluarkan sebanyak Rp147.000 untuk membeli minyak goreng saja.
Oleh sebab itu Edi mengaku jika terdapat minyak yang tidak habis digunakan pada hari untuk berjualan, maka akan tidak dibuang karena bisa digunakan kembali untuk perdagangan esok hari, untuk menekan modal yang dikeluarkan untuk membeli minyak. Selain itu upaya menekan penggunaan minyak goreng, saat ini Edi mengurangi satu item barang dagangannya, yaitu singkong goreng. Sebab menurutnya singkong goreng paling banyak menyerap minyak.
"Makanya saya sekarang singkong tidak jual, karena boros minyak, terus kalau keras juga kan tidak laku," kata Edi.
Disisi lain tidak sekedar harga minyak goreng yang meningkat, dampak konflik Ukraina-Rusia juga tengah membuat harga tepung terigu yang menjadi bahan baku membuat gorengan juga mengalami peningkatan harga. International Grains Council (IGC) Market Indicator mencatat harga gandum di pasar dunia sudah mencapai US$335 per ton pada Maret 2022. Nilai tersebut mengalami kenaikan jika dibandingkan dengan harga tahun lalu yaitu USD229 per ton.