Diskon Rokok, Pendapatan Negara Bisa Hilang Rp2,6 Triliun
loading...
A
A
A
JAKARTA - Peneliti kebijakan publik Emerson Yuntho menilai ketentuan diskon rokok menimbulkan potensi kehilangan pendapatan negara. Menurutnya, potensi kehilangan negara bisa mencapai Rp2,3 triliun-Rp2,6 triliun di tahun ini.
"Penerimaan negara bisa banyak hilang kalau seperti ini. Jumlah industri juga akan turun, tenaga kerja berkurang, dan pemerintah akan mengalami penerimaan cukai yang semakin menurun," kata Emerson dalam diskusi secara virtual di Jakarta, Kamis (18/6/2020).
Ia menjelaskan, diskon rokok ini tercantum dalam Peraturan Direktur Jenderal Bea Cukai Nomor 37 Tahun 2017 tentang Tata Cara Penetapan Tarif Cukai Hasil Tembakau. Aturan itu merupakan turunan dari Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 146 Tahun 2017 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau.
Ketentuan yang memperbolehkan diskon harga rokok itu pun tidak diubah saat PMK 146/207 direvisi menjadi PMK Nomor 156 Tahun 2018. Hasilnya dari aturan itu, harga transaksi pasar (HTP) yang merupakan harga jual akhir rokok ke konsumen. Artinya rokok dijual seharga 85% dari harga jual eceran (HJE) atau banderol yang tercantum dalam pita cukai.
"Konsumen mendapatkan keringanan harga sampai 15% dari tarif yang tertera dalam banderol," terangnya.
Selain kehilangan pendapatan negara, harga rokok di pasar tradisional dan ritel modern yang masih terjangkau menyebabkan jumlah perokok aktif dengan usia di bawah 18 tahun meningkat.
"Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, jumlah perokok aktif di bahwa usia 18 tahun sebanyak 7,8 juta jiwa. Angka ini akan meningkat jika harga rokok terus dijual murah," terangnya.
"Penerimaan negara bisa banyak hilang kalau seperti ini. Jumlah industri juga akan turun, tenaga kerja berkurang, dan pemerintah akan mengalami penerimaan cukai yang semakin menurun," kata Emerson dalam diskusi secara virtual di Jakarta, Kamis (18/6/2020).
Ia menjelaskan, diskon rokok ini tercantum dalam Peraturan Direktur Jenderal Bea Cukai Nomor 37 Tahun 2017 tentang Tata Cara Penetapan Tarif Cukai Hasil Tembakau. Aturan itu merupakan turunan dari Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 146 Tahun 2017 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau.
Ketentuan yang memperbolehkan diskon harga rokok itu pun tidak diubah saat PMK 146/207 direvisi menjadi PMK Nomor 156 Tahun 2018. Hasilnya dari aturan itu, harga transaksi pasar (HTP) yang merupakan harga jual akhir rokok ke konsumen. Artinya rokok dijual seharga 85% dari harga jual eceran (HJE) atau banderol yang tercantum dalam pita cukai.
"Konsumen mendapatkan keringanan harga sampai 15% dari tarif yang tertera dalam banderol," terangnya.
Selain kehilangan pendapatan negara, harga rokok di pasar tradisional dan ritel modern yang masih terjangkau menyebabkan jumlah perokok aktif dengan usia di bawah 18 tahun meningkat.
"Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, jumlah perokok aktif di bahwa usia 18 tahun sebanyak 7,8 juta jiwa. Angka ini akan meningkat jika harga rokok terus dijual murah," terangnya.
(bon)