Beda Nasib Petani Amerika dengan Indonesia
loading...
A
A
A
JAKARTA - Beda nasib petani Indonesia dengan Amerika Serikat (AS). Petani adalah pahlawan terbesar dalam mata rantai yang mencukupi kebutuhan manusia atas pangan. Tidak ada golongan lain yang layak menyandang gelar pahlawan pangan selain petani.
Petani adalah golongan pengolah pangan dengan sistem bercocok tanam. Segala bahan pangan pokok yang dibutuhkan manusia sehari-hari merupakan hasil kerja mereka di lahan-lahan yang diolahnya untuk menanam bibit pangan tersebut. Bahkan, di belahan dunia mana pun, hanya golongan petani yang hingga sekarang menjadi penyedia bahan pangan. Mulai dari makanan pokok, sayuran, hingga aneka buah yang menjadi pelengkap asupan.
Namun mayoritas petani di Indonesia belum merasakan kemerdekaan. Hingga kini, petani masih terkesan sebagai profesi miskin, bodoh, dan tidak punya masa depan. Padahal ketika sejumlah sektor terguncang pandemi Covid-19, pertanian menjadi tempat pulang bagi sebagian orang.
Sektor ini menampung para pekerja yang terlempar dari sektor lain. Tapi sebagai tempat kembali, sektor pertanian Indonesia masih rapuh dengan segudang masalah. Buruh tani yang mempunyai andil besar di sektor ini kurang mendapatkan perhatian salah satunya soal pendapatan.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat upah nominal harian buruh tani nasional pada April 2022 mengalami kenaikan sebesar 0,29% dibandingkan pada Maret 2022, yaitu dari Rp57.941,00 menjadi Rp58.109,00 per hari. Sementara upah riil buruh tani pada April 2022 turun sebesar 0,68% dibanding Maret 2022, yaitu dari Rp52.494,00 menjadi Rp52.139,00 per hari.
Sedangkan jumlah petani terus mengalami penurunan, meski di tahun 2020 naik 2,23%. Data BPS menunjukkan bahwa jumlah petani pada 2017 sebanyak 35,92 juta turun menjadi 35,7 juta orang pada 2018 dan 34,58 pada tahun 2019. Bappenas memperkirakan bahwa jika tren penurunan ini berlangsung secara terus menerus maka pada 2063, jumlah petani di Indonesia akan habis.
Salah satu faktor yang menyebabkan menurunnya jumlah petani di Indonesia adalah pendapatan yang rendah karena penguasaan lahan yang sempit dan produktivitas rendah. Berdasarkan data PSEKP petani padi dengan penguasaan lahan di kisaran 0,3 - 0,5 hektare pendapatannya sekitar Rp 1,3 – 2 juta per bulan.
Nasib petani Indonesia berbeda jauh dengan AS. Petani AS makmur sejahtera. Generasi muda di negeri Paman Sam bahkan banyak yang berminat menjadi petani karena menjanjikan. Terlebih, didukung dengan teknologi yang sangat maju sehingga memudahkan petani bercocok tanam.
ERS melaporkan pendapatan rata-rata petani secara keseluruhan di AS pada 2019 sebesar USD 65.000 atau sekitar Rp950 juta setahun. Jika harga gabah tingkat petani Rp 5000 per kilogram maka pendapatan rata-rata petani di AS setara dengan 182 ton gabah petani di Indonesia.
Apabila diasumsikan per satu hektare sawah menghasilkan 4 ton gabah maka 182 ton gabah tersebut setara dengan luas panen padi pada areal sawah 45,5 hektare. Luasan tersebut apabila di Indonesia mungkin digarap oleh sekitar 182 orang petani apabila per petani menggarap 0,25 hektare. Perbandingan tersebut sangat jauh dengan kesejahteraan petani Indonesia.
Sektor pertanian AS juga didukung penuh oleh pemerintah. Setiap tahun anggaran yang dikucurkan rata-rata mencapai USD 5 miliar atau setara Rp750 triliun.
Petani adalah golongan pengolah pangan dengan sistem bercocok tanam. Segala bahan pangan pokok yang dibutuhkan manusia sehari-hari merupakan hasil kerja mereka di lahan-lahan yang diolahnya untuk menanam bibit pangan tersebut. Bahkan, di belahan dunia mana pun, hanya golongan petani yang hingga sekarang menjadi penyedia bahan pangan. Mulai dari makanan pokok, sayuran, hingga aneka buah yang menjadi pelengkap asupan.
Namun mayoritas petani di Indonesia belum merasakan kemerdekaan. Hingga kini, petani masih terkesan sebagai profesi miskin, bodoh, dan tidak punya masa depan. Padahal ketika sejumlah sektor terguncang pandemi Covid-19, pertanian menjadi tempat pulang bagi sebagian orang.
Sektor ini menampung para pekerja yang terlempar dari sektor lain. Tapi sebagai tempat kembali, sektor pertanian Indonesia masih rapuh dengan segudang masalah. Buruh tani yang mempunyai andil besar di sektor ini kurang mendapatkan perhatian salah satunya soal pendapatan.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat upah nominal harian buruh tani nasional pada April 2022 mengalami kenaikan sebesar 0,29% dibandingkan pada Maret 2022, yaitu dari Rp57.941,00 menjadi Rp58.109,00 per hari. Sementara upah riil buruh tani pada April 2022 turun sebesar 0,68% dibanding Maret 2022, yaitu dari Rp52.494,00 menjadi Rp52.139,00 per hari.
Sedangkan jumlah petani terus mengalami penurunan, meski di tahun 2020 naik 2,23%. Data BPS menunjukkan bahwa jumlah petani pada 2017 sebanyak 35,92 juta turun menjadi 35,7 juta orang pada 2018 dan 34,58 pada tahun 2019. Bappenas memperkirakan bahwa jika tren penurunan ini berlangsung secara terus menerus maka pada 2063, jumlah petani di Indonesia akan habis.
Salah satu faktor yang menyebabkan menurunnya jumlah petani di Indonesia adalah pendapatan yang rendah karena penguasaan lahan yang sempit dan produktivitas rendah. Berdasarkan data PSEKP petani padi dengan penguasaan lahan di kisaran 0,3 - 0,5 hektare pendapatannya sekitar Rp 1,3 – 2 juta per bulan.
Nasib petani Indonesia berbeda jauh dengan AS. Petani AS makmur sejahtera. Generasi muda di negeri Paman Sam bahkan banyak yang berminat menjadi petani karena menjanjikan. Terlebih, didukung dengan teknologi yang sangat maju sehingga memudahkan petani bercocok tanam.
ERS melaporkan pendapatan rata-rata petani secara keseluruhan di AS pada 2019 sebesar USD 65.000 atau sekitar Rp950 juta setahun. Jika harga gabah tingkat petani Rp 5000 per kilogram maka pendapatan rata-rata petani di AS setara dengan 182 ton gabah petani di Indonesia.
Apabila diasumsikan per satu hektare sawah menghasilkan 4 ton gabah maka 182 ton gabah tersebut setara dengan luas panen padi pada areal sawah 45,5 hektare. Luasan tersebut apabila di Indonesia mungkin digarap oleh sekitar 182 orang petani apabila per petani menggarap 0,25 hektare. Perbandingan tersebut sangat jauh dengan kesejahteraan petani Indonesia.
Sektor pertanian AS juga didukung penuh oleh pemerintah. Setiap tahun anggaran yang dikucurkan rata-rata mencapai USD 5 miliar atau setara Rp750 triliun.
(nng)