China Lockdown Lagi, Harga Minyak Dunia Terkoreksi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Harga minyak mentah merosot pada perdagangan hari ini dipicu sentimen pembatasan baru Covid-19 di China , yang merupakan importir minyak mentah terbesar dunia. Data bursa Intercontinental Exchange (ICE), Selasa (12/7/2022), hingga pukul 09:32 WIB, harga Brent untuk kontrak September 2022 turun 0,84% di USD106,20 per barel.
Adapun West Texas Intermediate (WTI) di New York Mercantile Exchange (NYMEX) untuk pengiriman Agustus berada di USD103,11 per barel, alias turun 0,94%. Sejumlah analis menilai pengetatan kembali mobilitas China dapat menambah kegelisahan pasar terhadap perlambatan pertumbuhan global alias resesi.
"Kekhawatiran yang meningkat atas resesi dan permintaan yang terus lesu di China dapat membuat harga minyak lebih rendah, meskipun keseimbangan pasokan-permintaan saat ini masih tetap genting," kata Analis Eurasia Group dalam sebuah catatan, dilansir Reuters, Selasa (12/7/2022).
Diketahui, beberapa kota di China kembali mengadopsi kebijakan pembatasan Covid-19, mulai dari penghentian bisnis hingga lockdown, untuk mengendalikan infeksi baru karena subvarian BA.5.2.1 yang sangat menular telah terdeteksi di negara tersebut.
Di tengah kabar tersebut, arus perdagangan minyak mentah dan bahan bakar juga sedang terganggu berkat pemberlakuan sanksi barat terhadap Rusia. Kekhawatiran atas gangguan pada sistem Konsorsium Pipa Kaspia (CPC) telah mereda setelah otoritas Rusia pada Senin kemarin (11/7) membatalkan keputusan penangguhan operasi selama 30 hari.
Namun, para pedagang dan analis tetap khawatir bahwa Rusia akan menangguhkan pipa, yang membawa minyak dari Kazakhstan ke Laut Hitam itu, berpotensi mengganggu 1% dari pasokan minyak mentah global. Selain itu, kapasitas cadangan di Organisasi Negara Pengekspor Minyak Bumi (OPEC) hampir habis. Sebagian besar produsen dikabarkan telah memompa produksi pada kapasitas maksimum.
Presiden AS Joe Biden dijadwalkan akan bertemu para pemimpin OPEC di Arab Saudi minggu ini. Kabar tersebut dikonfirmasi penasihat keamanan nasional Gedung Putih, Jake Sullivan, pada hari Senin.
"Arab Saudi diperkirakan tidak akan menambah volume yang signifikan dalam waktu dekat, terlepas dari kunjungan Presiden Joe Biden yang akan datang, karena Riyadh akan memprioritaskan komitmennya terhadap manajemen pasar dan menjaga kapasitas cadangan untuk kerugian yang bersifat darurat," kata analis Eurasia.
Adapun West Texas Intermediate (WTI) di New York Mercantile Exchange (NYMEX) untuk pengiriman Agustus berada di USD103,11 per barel, alias turun 0,94%. Sejumlah analis menilai pengetatan kembali mobilitas China dapat menambah kegelisahan pasar terhadap perlambatan pertumbuhan global alias resesi.
"Kekhawatiran yang meningkat atas resesi dan permintaan yang terus lesu di China dapat membuat harga minyak lebih rendah, meskipun keseimbangan pasokan-permintaan saat ini masih tetap genting," kata Analis Eurasia Group dalam sebuah catatan, dilansir Reuters, Selasa (12/7/2022).
Diketahui, beberapa kota di China kembali mengadopsi kebijakan pembatasan Covid-19, mulai dari penghentian bisnis hingga lockdown, untuk mengendalikan infeksi baru karena subvarian BA.5.2.1 yang sangat menular telah terdeteksi di negara tersebut.
Di tengah kabar tersebut, arus perdagangan minyak mentah dan bahan bakar juga sedang terganggu berkat pemberlakuan sanksi barat terhadap Rusia. Kekhawatiran atas gangguan pada sistem Konsorsium Pipa Kaspia (CPC) telah mereda setelah otoritas Rusia pada Senin kemarin (11/7) membatalkan keputusan penangguhan operasi selama 30 hari.
Namun, para pedagang dan analis tetap khawatir bahwa Rusia akan menangguhkan pipa, yang membawa minyak dari Kazakhstan ke Laut Hitam itu, berpotensi mengganggu 1% dari pasokan minyak mentah global. Selain itu, kapasitas cadangan di Organisasi Negara Pengekspor Minyak Bumi (OPEC) hampir habis. Sebagian besar produsen dikabarkan telah memompa produksi pada kapasitas maksimum.
Presiden AS Joe Biden dijadwalkan akan bertemu para pemimpin OPEC di Arab Saudi minggu ini. Kabar tersebut dikonfirmasi penasihat keamanan nasional Gedung Putih, Jake Sullivan, pada hari Senin.
"Arab Saudi diperkirakan tidak akan menambah volume yang signifikan dalam waktu dekat, terlepas dari kunjungan Presiden Joe Biden yang akan datang, karena Riyadh akan memprioritaskan komitmennya terhadap manajemen pasar dan menjaga kapasitas cadangan untuk kerugian yang bersifat darurat," kata analis Eurasia.
(nng)