Tanpa Gas Rusia, Musim Dingin Akan Uji Persatuan Eropa
loading...
A
A
A
JAKARTA - Rencana penjatahan gas yang disepakati Uni Eropa (UE) pada hari Selasa (26/7) mungkin tidak akan bertahan menghadapi ujian musim dingin. Musim dingin akan menguji solidaritas blok tersebut saat penjatahan mulai berdampak luas pada ekonomi masing-masing negara anggotanya.
RT.com yang mengutip majalah Inggris The Economist menuliskan, pemangkasan konsumsi gas dalam jumlah kecil seperti yang disepakati dinilai tidak akan menyelesaikan masalah Benua Biru tersebut. Seperti diketahui, kesepakatan itu mengharuskan sebagian besar negara Uni Eropa mengurangi penggunaan gas alam sebesar 15% antara 1 Agustus dan 31 Maret tahun depan.
Baca Juga: Gas Dipangkas Rusia, Uni Eropa Bisa Pecah, AS Marah-marah
Kesepakatan itu dicapai karena kekhawatiran atas kemungkinan penghentian pasokan gas Rusia. Saat ini pipa Nord Stream 1, jalur utama yang membawa gas alam dari Rusia ke Jerman, hanya beroperasi pada kapasitas 20%.
Raksasa energi Rusia Gazprom mengutip masalah teknis pada turbin sebagai alasan berkurangnya aliran gas. Sementara, UE menuding Moskow menggunakan gas untuk memberikan tekanan politik pada blok tersebut. Di bagian lain, rute gas alternatif melalui Ukraina telah dibatasi oleh Kiev.
"Alasan utama penjatahan adalah untuk memastikan bahwa kekurangan gas Rusia tidak membuat rumah tidak dipanaskan atau pabrik tutup," tulis The Economist. Akan tetapi, menurut publikasi tersebut, keberhasilan rencana itu juga sangat tergantung pada kondisi cuaca.
"Jika musim dingin yang akan datang ringan, UE dapat menahannya. Tetapi jika sangat dingin, blok tersebut harus membuktikan bahwa mereka dapat bertahan dalam masa-masa sulit. Jerman khususnya, perlu menunjukkan solidaritas dengan negara-negara anggota lainnya. Jerman terletak di pusat jaringan pipa gas Eropa, akankah, misalnya, membiarkan gas mengalir ke Republik Ceko untuk mencegah orang membeku di sana jika itu berarti pabrik-pabrik di negaranya harus berhenti?" tulis publikasi tersebut.
Majalah itu menambahkan, pada awal pandemi Covid1-19 pada tahun 2020 lalu, beberapa negara Eropa, termasuk Jerman, memberlakukan larangan ekspor alat pelindung untuk menghindari kekurangan di dalam negeri.
Rencana penjatahan tersebut juga memiliki beberapa kelemahan lain, seperti tingkat paparan yang berbeda terhadap gas Rusia di antara negara-negara tersebut.
Diketahui, sebelum kesepakatan terjadi, sejumlah negara termasuk Italia, Hongaria, Polandia, Portugal dan Spanyol menyuarakan keprihatinan mereka. Negara-negara itu menyatakan bahwa mereka sebelumnya telah memotong konsumsi, dengan alasan kurangnya koneksi ke jaringan pipa gas Eropa dan fakta bahwa keputusan tentang energi biasanya merupakan masalah nasional.
Pada akhirnya, kesepakatan penjatahan gas itu disetujui dengan beberapa pengecualian, seperti Spanyol dan Portugal yang dilaporkan diizinkan untuk menggunakan gas hanya 7% lebih sedikit. Konsesi lain juga dibuat, tetapi terbukti tidak cukup untuk mendapatkan suara bulat, dimana Hungaria memberikan suara menentang.
Sementara itu, CNN yang mengutip pejabat Amerika Serikat (AS) pada Rabu (27/7) melaporkan, negara itu tengah bekerja keras di belakang layar untuk menjaga Uni Eropa tetap bersatu melawan Moskow di tengah penurunan pasokan gas Rusia ke blok itu.
Ada kepanikan di kedua sisi Atlantik atas kemungkinan Eropa akan mengalami kekurangan gas parah pada musim dingin ini, kata pejabat yang tidak disebutkan namanya tersebut. "Ini adalah ketakutan terbesar kami," salah satu dari mereka mengakui.
Dia juga memperingatkan bahwa dampak krisis di Eropa dapat menjadi bumerang bagi AS, yang menyebabkan lonjakan lebih lanjut harga gas dan listrik untuk masyarakat Amerika. "Seluruh situasi juga akan menjadi ujian utama ketahanan dan persatuan Eropa melawan Rusia," tegasnya.
Harga gas di Eropa pada Rabu melonjak mencapai USD2.300 per seribu meter kubik - level tertinggi sejak Maret - setelah Gazprom mengurangi aliran gas melalui pipa Nord Stream 1 menjadi hanya 20% dari kapasitas maksimumnya.
RT.com yang mengutip majalah Inggris The Economist menuliskan, pemangkasan konsumsi gas dalam jumlah kecil seperti yang disepakati dinilai tidak akan menyelesaikan masalah Benua Biru tersebut. Seperti diketahui, kesepakatan itu mengharuskan sebagian besar negara Uni Eropa mengurangi penggunaan gas alam sebesar 15% antara 1 Agustus dan 31 Maret tahun depan.
Baca Juga: Gas Dipangkas Rusia, Uni Eropa Bisa Pecah, AS Marah-marah
Kesepakatan itu dicapai karena kekhawatiran atas kemungkinan penghentian pasokan gas Rusia. Saat ini pipa Nord Stream 1, jalur utama yang membawa gas alam dari Rusia ke Jerman, hanya beroperasi pada kapasitas 20%.
Raksasa energi Rusia Gazprom mengutip masalah teknis pada turbin sebagai alasan berkurangnya aliran gas. Sementara, UE menuding Moskow menggunakan gas untuk memberikan tekanan politik pada blok tersebut. Di bagian lain, rute gas alternatif melalui Ukraina telah dibatasi oleh Kiev.
"Alasan utama penjatahan adalah untuk memastikan bahwa kekurangan gas Rusia tidak membuat rumah tidak dipanaskan atau pabrik tutup," tulis The Economist. Akan tetapi, menurut publikasi tersebut, keberhasilan rencana itu juga sangat tergantung pada kondisi cuaca.
"Jika musim dingin yang akan datang ringan, UE dapat menahannya. Tetapi jika sangat dingin, blok tersebut harus membuktikan bahwa mereka dapat bertahan dalam masa-masa sulit. Jerman khususnya, perlu menunjukkan solidaritas dengan negara-negara anggota lainnya. Jerman terletak di pusat jaringan pipa gas Eropa, akankah, misalnya, membiarkan gas mengalir ke Republik Ceko untuk mencegah orang membeku di sana jika itu berarti pabrik-pabrik di negaranya harus berhenti?" tulis publikasi tersebut.
Majalah itu menambahkan, pada awal pandemi Covid1-19 pada tahun 2020 lalu, beberapa negara Eropa, termasuk Jerman, memberlakukan larangan ekspor alat pelindung untuk menghindari kekurangan di dalam negeri.
Rencana penjatahan tersebut juga memiliki beberapa kelemahan lain, seperti tingkat paparan yang berbeda terhadap gas Rusia di antara negara-negara tersebut.
Diketahui, sebelum kesepakatan terjadi, sejumlah negara termasuk Italia, Hongaria, Polandia, Portugal dan Spanyol menyuarakan keprihatinan mereka. Negara-negara itu menyatakan bahwa mereka sebelumnya telah memotong konsumsi, dengan alasan kurangnya koneksi ke jaringan pipa gas Eropa dan fakta bahwa keputusan tentang energi biasanya merupakan masalah nasional.
Pada akhirnya, kesepakatan penjatahan gas itu disetujui dengan beberapa pengecualian, seperti Spanyol dan Portugal yang dilaporkan diizinkan untuk menggunakan gas hanya 7% lebih sedikit. Konsesi lain juga dibuat, tetapi terbukti tidak cukup untuk mendapatkan suara bulat, dimana Hungaria memberikan suara menentang.
Sementara itu, CNN yang mengutip pejabat Amerika Serikat (AS) pada Rabu (27/7) melaporkan, negara itu tengah bekerja keras di belakang layar untuk menjaga Uni Eropa tetap bersatu melawan Moskow di tengah penurunan pasokan gas Rusia ke blok itu.
Ada kepanikan di kedua sisi Atlantik atas kemungkinan Eropa akan mengalami kekurangan gas parah pada musim dingin ini, kata pejabat yang tidak disebutkan namanya tersebut. "Ini adalah ketakutan terbesar kami," salah satu dari mereka mengakui.
Dia juga memperingatkan bahwa dampak krisis di Eropa dapat menjadi bumerang bagi AS, yang menyebabkan lonjakan lebih lanjut harga gas dan listrik untuk masyarakat Amerika. "Seluruh situasi juga akan menjadi ujian utama ketahanan dan persatuan Eropa melawan Rusia," tegasnya.
Harga gas di Eropa pada Rabu melonjak mencapai USD2.300 per seribu meter kubik - level tertinggi sejak Maret - setelah Gazprom mengurangi aliran gas melalui pipa Nord Stream 1 menjadi hanya 20% dari kapasitas maksimumnya.
(fai)