Bukan Setop Sementara, Pungutan Sawit Perlu Dievaluasi
loading...
A
A
A
"Pemanfaatan saat ini lebih banyak digunakan untuk subsidi program biodiesel. Padahal, ada sasaran lain seperti peningkatan SDM petani, peremajaan sawit, dan lainnya, yang porsinya sangat kecil sekali. Belum lagi untuk porsi lainnya. Jadi alokasi saat ini masih timpang," tegas dia.
Daripada untuk mensubsidi biodiesel, lanjut dia, dana sawit ini sebenarnya punya peran yang lebih penting sebagai penyeimbang kala harga minyak goreng di tengah masyarakat melambung tinggi dan harga TBS sawit petani terjun bebas.
"Justru petani lah yang berhak mendapatkan keuntungan paling besar dari dana sawit bukan pengusaha. Salah satu contohnya juga bisa dijadikan tools untuk stabilisasi harga minyak goreng atau TBS bagi petani. Jauh lebih bermanfaat bagi masyarakat luas dibandingkan diberikan ke pengusaha kelapa sawit," tutur dia.
Berangkat dari sana, ia menyarankan agar pemerintah mulai melakukan evaluasi terhadap penerapan pungutan ekspor produk sawit.
"Maka sudah seharusnya pemerintah mengevaluasi BPDKS secara menyeluruh. Terutaman setelah kejadian fenomenal kemarin dimana kelangkaan minyak goreng terjadi dan harga minyak goreng melambung tinggi. Evaluasi bukan hanya di perdagangan, tapi dari pemanfaatan dana pungutan dari sawit," tegas dia.
Berdasarkan laporan Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) pungutan sawit telah berdampak pada penurunan TBS di tingkat petani.
Melalui pungutan USD50 per ton, harga TBS (tandan buah segar) petani telah mengalami penurunan sekitar Rp 120-150 per kilogram (kg).
Dalam konteks kekinian, dampaknya pada penurunan harga TBS sawit bisa lebih besar lantaran saat ini besaran pungutan sawit telah mencapai USD 200 per kg. Dampak pungutan ke petani justru paling minim menerima manfaat.
Bandan Pengelola Dana Perkebunan Sawit (BPDP-Sawit) melaporkan sejak 2015 telah mengumpulkan dana kurang lebih sekitar Rp 137,28 triliun dari potongan penjualan ekpor CPO (Crude Palm Oil) hingga 2021. Sedangkan total insentif yang diterima oleh produsen biodiesel sekitar Rp 110,05 triliun dalam periode 2015-2021 atau mencapai 80,16% dari total dana sawit.
Namun demikian anggaran industri sawit justru sangat minim. Hingga tahun 2021, dari total dana pungutan sawit, anggaran peremajaan sawit hanya sebesar Rp 6,59 triliun atau setara 4,8%. Sementara anggaran pengembangan SDM (petani) hanya Rp 199 miliar atau hanya 0,14% dari total dana sawit.
Hal senada diutarakan Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Hamdan Zoelva. Dana pungutan ekspor bukan hanya untuk biodiesel, namun praktiknya mayoritas untuk subsidi biodiesel. "Artinya dana yang dihimpun tidak kembali ke petani, khususnya untuk pengembangan sember daya manusia dan replanting," tandas dia.
Daripada untuk mensubsidi biodiesel, lanjut dia, dana sawit ini sebenarnya punya peran yang lebih penting sebagai penyeimbang kala harga minyak goreng di tengah masyarakat melambung tinggi dan harga TBS sawit petani terjun bebas.
"Justru petani lah yang berhak mendapatkan keuntungan paling besar dari dana sawit bukan pengusaha. Salah satu contohnya juga bisa dijadikan tools untuk stabilisasi harga minyak goreng atau TBS bagi petani. Jauh lebih bermanfaat bagi masyarakat luas dibandingkan diberikan ke pengusaha kelapa sawit," tutur dia.
Berangkat dari sana, ia menyarankan agar pemerintah mulai melakukan evaluasi terhadap penerapan pungutan ekspor produk sawit.
"Maka sudah seharusnya pemerintah mengevaluasi BPDKS secara menyeluruh. Terutaman setelah kejadian fenomenal kemarin dimana kelangkaan minyak goreng terjadi dan harga minyak goreng melambung tinggi. Evaluasi bukan hanya di perdagangan, tapi dari pemanfaatan dana pungutan dari sawit," tegas dia.
Berdasarkan laporan Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) pungutan sawit telah berdampak pada penurunan TBS di tingkat petani.
Melalui pungutan USD50 per ton, harga TBS (tandan buah segar) petani telah mengalami penurunan sekitar Rp 120-150 per kilogram (kg).
Dalam konteks kekinian, dampaknya pada penurunan harga TBS sawit bisa lebih besar lantaran saat ini besaran pungutan sawit telah mencapai USD 200 per kg. Dampak pungutan ke petani justru paling minim menerima manfaat.
Bandan Pengelola Dana Perkebunan Sawit (BPDP-Sawit) melaporkan sejak 2015 telah mengumpulkan dana kurang lebih sekitar Rp 137,28 triliun dari potongan penjualan ekpor CPO (Crude Palm Oil) hingga 2021. Sedangkan total insentif yang diterima oleh produsen biodiesel sekitar Rp 110,05 triliun dalam periode 2015-2021 atau mencapai 80,16% dari total dana sawit.
Namun demikian anggaran industri sawit justru sangat minim. Hingga tahun 2021, dari total dana pungutan sawit, anggaran peremajaan sawit hanya sebesar Rp 6,59 triliun atau setara 4,8%. Sementara anggaran pengembangan SDM (petani) hanya Rp 199 miliar atau hanya 0,14% dari total dana sawit.
Hal senada diutarakan Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Hamdan Zoelva. Dana pungutan ekspor bukan hanya untuk biodiesel, namun praktiknya mayoritas untuk subsidi biodiesel. "Artinya dana yang dihimpun tidak kembali ke petani, khususnya untuk pengembangan sember daya manusia dan replanting," tandas dia.