Pertama dalam Sejarah Target Pajak di Atas Rp2.000 Triliun, Begini Kata Sri Mulyani
loading...
A
A
A
JAKARTA - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan, bahwa penerimaan pajak Indonesia sudah kembali ke level pra-pandemi. Pemulihan ekonomi, tingginya harga komoditas, dan reformasi perpajakan turut mendorong peningkatan penerimaan perpajakan.
"Reform dari sisi perpajakan dari sisi legislasi yaitu UU yang terus kita perbaiki karena kita dihadapkan dengan kondisi global yang sangat dinamis, entah itu karena masalah teknologi digital dan globalisasi, entah itu global taxation regime, berhubungan dengan membatasi atau melawan terjadinya praktik tax avoidance, itu semuanya harus menjadi perhatian kita, karena mobilitas manusia dan capital menyebabkan lalu lintas manusia, kegiatan ekonomi, dan capital menjadi tantangan dalam tax collection yang adil," ujar Sri Mulyani dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI di Jakarta, Senin (5/9/2022).
Tak hanya itu, ada berbagai persetujuan atau pengaturan pajak secara regional dan global yang perlu diperhatikan. Ini kemudian terus direfleksikan pihaknya dalam berbagai update legislasi atau peraturan perpajakan Indonesia.
"Di sisi lain, penerimaan pajak kita juga sangat ditentukan oleh kondisi perekonomian, termasuk Indonesia sebagai ekonomi yang memiliki natural resources, maka harga komoditas juga memberikan kontribusi," ungkap Sri.
Dengan kondisi global ke depannya, ketidakpastian dan risiko global, dia menyebutkan bahwa dalam membuat proyeksi 2023 pihaknya harus sangat hati-hati supaya menjaga kemungkinan yang bisa terjadi dalam situasi yang serba tidak menentu.
"Oleh karena itu, tahun 2023 dengan gambar kurva kuning yang seperti roller coaster ini growth untuk tahun depan dipasang di 4,8%, tahun 2023 pertama kali ditargetkan perpajakan di atas Rp2.000 triliun, terdiri dari kepabeanan, pajak, dengan pertumbuhan yang relatif konservatif. Karena kita melihat pertumbuhan dua tahun berturut-turut, 2021 dan 2022 itu akan ternormalisasi dengan ancaman terjadinya resesi global dengan inflasi yang tinggi dan kenaikan suku bunga," pungkas Sri Mulyani.
"Reform dari sisi perpajakan dari sisi legislasi yaitu UU yang terus kita perbaiki karena kita dihadapkan dengan kondisi global yang sangat dinamis, entah itu karena masalah teknologi digital dan globalisasi, entah itu global taxation regime, berhubungan dengan membatasi atau melawan terjadinya praktik tax avoidance, itu semuanya harus menjadi perhatian kita, karena mobilitas manusia dan capital menyebabkan lalu lintas manusia, kegiatan ekonomi, dan capital menjadi tantangan dalam tax collection yang adil," ujar Sri Mulyani dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI di Jakarta, Senin (5/9/2022).
Tak hanya itu, ada berbagai persetujuan atau pengaturan pajak secara regional dan global yang perlu diperhatikan. Ini kemudian terus direfleksikan pihaknya dalam berbagai update legislasi atau peraturan perpajakan Indonesia.
"Di sisi lain, penerimaan pajak kita juga sangat ditentukan oleh kondisi perekonomian, termasuk Indonesia sebagai ekonomi yang memiliki natural resources, maka harga komoditas juga memberikan kontribusi," ungkap Sri.
Dengan kondisi global ke depannya, ketidakpastian dan risiko global, dia menyebutkan bahwa dalam membuat proyeksi 2023 pihaknya harus sangat hati-hati supaya menjaga kemungkinan yang bisa terjadi dalam situasi yang serba tidak menentu.
"Oleh karena itu, tahun 2023 dengan gambar kurva kuning yang seperti roller coaster ini growth untuk tahun depan dipasang di 4,8%, tahun 2023 pertama kali ditargetkan perpajakan di atas Rp2.000 triliun, terdiri dari kepabeanan, pajak, dengan pertumbuhan yang relatif konservatif. Karena kita melihat pertumbuhan dua tahun berturut-turut, 2021 dan 2022 itu akan ternormalisasi dengan ancaman terjadinya resesi global dengan inflasi yang tinggi dan kenaikan suku bunga," pungkas Sri Mulyani.
(akr)