Banyak Kendala, Pemanfaatan Getah Pinus Tak Sebesar Potensi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pusat Kebijakan Ekspor Impor dan Pengamanan Perdagangan (PKEIPP) mengungkap, Indonesia memiliki getah pinus yang berpotensi ekspor . Sayangnya, baru 1,19% yang dimanfaatkan untuk diproduksi.
"Kami mendapat informasi bahwa total getah pinus seluruh Indonesia kurang lebih mencapai 8.412.726 ton. Nilai tersebut didominasi oleh tegakkan pinus yang ditanam di wilayah Jawa yang telah dikelola oleh perum Perhutani dengan potensi mencapai 7,1 juta ton getah pinus," ujar Naufa Muna, analis kebijakan ahli muda PKEIPP dalam Diseminasi Hasil Analisis Badan Kebijakan Perdagangan, Kamis (22/9/2022).
Naufa juga menyayangkan produksi getah pinus di tahun 2020 yang hanya sebesar 100 ribu ton, atau hanya 1,19% dari potensinya. Dari data tersebut, Naufa menyampaikan bahwa ada permasalahan pengelolaan getah pinus sehingga hasil produksinya belum setara dengan total yang semestinya.
Dia menyebut, permasalahan pertama terkait pengetahuan petani terhadap teknik penyadapan masih rendah, dan kurangnya sosialisasi serta pelatihan penyadapan, terutama di luar Pulau Jawa.
"Sehingga menyebabkan produktivitas menjadi rendah," jelasnya.
Di sisi lain, lanjut Naufa, getah pinus baru bisa dipanen dalam kurun waktu 10 tahun. Makanya, penyadapan getah pinus di luar Pulau Jawa masih mengandalkan pinus alam dan pinus hasil tanaman rehabilitasi tahun 1990-an. Kemudian, ada potenis penyadapan ilegal, dan pengurangan lahan hutan pinus karena alih fungsi lahan dan/atau pergantian komoditas lain.
"Selain itu struktur biaya produksi turunan getah pinus yang masih mengandalkan harga bahan baku murah menyebabkan keberlanjutan kegiatan usaha pinus menjadi belum terjamin," papar Naufa.
Lebih lanjut Naufa menerangkan, jika getah pinus ini bisa diolah secara maksimal, bisa menyumbang ekspor nasional. Sebab, kata dia, ekspor Indonesia terkait getah pinus dan turunannya cukup berdaya saing di pasar dunia.
"Indonesia adalah eksportir 3 besar dunia untuk HS 13 01 90 90 yang di dalamnya terdapat produk getah pinus. Kemudian Indonesia juga eksportir peringkat pertama terbesar dunia untuk HS 38 06 10 00, terdapat gondorukem di dalamnya. Sementara produk terpentin dari olahan getah pinus ada di peringkat kedua terbesar di dunia untuk HS 38 05 10 00, terpentin ada di dalam HS tersebut," bebernya.
Naufa juga menyoroti kebijakan internasional dan kebijakan domestik yang mengatur ekspor getah pinus. Menurutnya, untuk kebijakan internasional, larangan ekspor getah pinus tidak disarankan kecuali untuk kekurangan bahan makanan atau produk penting lainnya. Tetapi, terkait pembatasan ekspor atau bea keluar dapat dilaksanakan untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri.
Sementara untuk kebijakan domestik, kata dia, perlu dilakukan justifikasi kepentingan nasional terhadap getah pinus. Kemudian kedua, kebijakan pembatasan ekspor dalam bea keluar dimungkinkan untuk diterapkan.
"Karena di PP No. 55 Tahun 2007 Pasal 2 ayat 2 ditegaskan bahwa tujuan pengenaan bea keluar untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan dalam negeri," pungkasnya.
"Kami mendapat informasi bahwa total getah pinus seluruh Indonesia kurang lebih mencapai 8.412.726 ton. Nilai tersebut didominasi oleh tegakkan pinus yang ditanam di wilayah Jawa yang telah dikelola oleh perum Perhutani dengan potensi mencapai 7,1 juta ton getah pinus," ujar Naufa Muna, analis kebijakan ahli muda PKEIPP dalam Diseminasi Hasil Analisis Badan Kebijakan Perdagangan, Kamis (22/9/2022).
Naufa juga menyayangkan produksi getah pinus di tahun 2020 yang hanya sebesar 100 ribu ton, atau hanya 1,19% dari potensinya. Dari data tersebut, Naufa menyampaikan bahwa ada permasalahan pengelolaan getah pinus sehingga hasil produksinya belum setara dengan total yang semestinya.
Dia menyebut, permasalahan pertama terkait pengetahuan petani terhadap teknik penyadapan masih rendah, dan kurangnya sosialisasi serta pelatihan penyadapan, terutama di luar Pulau Jawa.
"Sehingga menyebabkan produktivitas menjadi rendah," jelasnya.
Di sisi lain, lanjut Naufa, getah pinus baru bisa dipanen dalam kurun waktu 10 tahun. Makanya, penyadapan getah pinus di luar Pulau Jawa masih mengandalkan pinus alam dan pinus hasil tanaman rehabilitasi tahun 1990-an. Kemudian, ada potenis penyadapan ilegal, dan pengurangan lahan hutan pinus karena alih fungsi lahan dan/atau pergantian komoditas lain.
"Selain itu struktur biaya produksi turunan getah pinus yang masih mengandalkan harga bahan baku murah menyebabkan keberlanjutan kegiatan usaha pinus menjadi belum terjamin," papar Naufa.
Lebih lanjut Naufa menerangkan, jika getah pinus ini bisa diolah secara maksimal, bisa menyumbang ekspor nasional. Sebab, kata dia, ekspor Indonesia terkait getah pinus dan turunannya cukup berdaya saing di pasar dunia.
"Indonesia adalah eksportir 3 besar dunia untuk HS 13 01 90 90 yang di dalamnya terdapat produk getah pinus. Kemudian Indonesia juga eksportir peringkat pertama terbesar dunia untuk HS 38 06 10 00, terdapat gondorukem di dalamnya. Sementara produk terpentin dari olahan getah pinus ada di peringkat kedua terbesar di dunia untuk HS 38 05 10 00, terpentin ada di dalam HS tersebut," bebernya.
Naufa juga menyoroti kebijakan internasional dan kebijakan domestik yang mengatur ekspor getah pinus. Menurutnya, untuk kebijakan internasional, larangan ekspor getah pinus tidak disarankan kecuali untuk kekurangan bahan makanan atau produk penting lainnya. Tetapi, terkait pembatasan ekspor atau bea keluar dapat dilaksanakan untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri.
Sementara untuk kebijakan domestik, kata dia, perlu dilakukan justifikasi kepentingan nasional terhadap getah pinus. Kemudian kedua, kebijakan pembatasan ekspor dalam bea keluar dimungkinkan untuk diterapkan.
"Karena di PP No. 55 Tahun 2007 Pasal 2 ayat 2 ditegaskan bahwa tujuan pengenaan bea keluar untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan dalam negeri," pungkasnya.
(uka)