Indonesia Dorong Kesetaraan dalam Sertifikasi Pengelolaan Hutan
loading...
A
A
A
Lebih lanjut Onte menjelaskan, dengan memperoleh sertifikat FSC maka ada peluang bagi produk-produk kehutanan Indonesia memasuki pasar-pasar tertentu yang memang mempersyaratkan sertifikat FSC.
Sementara itu Sekjen Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia Purwadi Soeprihanto mengatakan komitmen Indonesia dalam pengelolaan hutan lestari sesungguhnya sudah dibuktikan dengan adanya Sistem Verifikasi Legalitas dan Kelestarian (SVLK) yang diterapkan secara mandatory.
SVLK secara internasional juga mendapat pengakuan di antaranya adalah sebagai satu-satunya skema sertifikasi yang disetarakan sebagai lisensi FLEGT oleh Uni Eropa. “Dengan SVLK ditambah sertifikat voluntary seperti FSC maka rekognisi pasar terhadap produk kehutanan Indonesia bisa semakin luas,” kata dia.
Purwadi mengatakan dengan persetujuan mosi 37/2021 pada General Assembly FSC maka diharapkan luas hutan di dunia yang tersertifikasi semakin luas dan memberi kesempatan yang sama untuk perbaikan tata kelola hutan di berbagai belahan dunia.
Sementara itu Peneliti Pusat Studi Kehutanan Internasional (Cifor) Prof. Herry Purnomo mendukung jika batas cut of date FSC menyesuaikan dengan kondisi pada sebuah negara atau wilayah. “Secara scientific standard seharusnya adaptif sesuai konteks. Tidak ada satu standard yang cocok untuk semua kondisi karena ekosistem atau sosialnya pasti berbeda,” katanya.
Sementara itu Sekjen Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia Purwadi Soeprihanto mengatakan komitmen Indonesia dalam pengelolaan hutan lestari sesungguhnya sudah dibuktikan dengan adanya Sistem Verifikasi Legalitas dan Kelestarian (SVLK) yang diterapkan secara mandatory.
SVLK secara internasional juga mendapat pengakuan di antaranya adalah sebagai satu-satunya skema sertifikasi yang disetarakan sebagai lisensi FLEGT oleh Uni Eropa. “Dengan SVLK ditambah sertifikat voluntary seperti FSC maka rekognisi pasar terhadap produk kehutanan Indonesia bisa semakin luas,” kata dia.
Purwadi mengatakan dengan persetujuan mosi 37/2021 pada General Assembly FSC maka diharapkan luas hutan di dunia yang tersertifikasi semakin luas dan memberi kesempatan yang sama untuk perbaikan tata kelola hutan di berbagai belahan dunia.
Sementara itu Peneliti Pusat Studi Kehutanan Internasional (Cifor) Prof. Herry Purnomo mendukung jika batas cut of date FSC menyesuaikan dengan kondisi pada sebuah negara atau wilayah. “Secara scientific standard seharusnya adaptif sesuai konteks. Tidak ada satu standard yang cocok untuk semua kondisi karena ekosistem atau sosialnya pasti berbeda,” katanya.
(dar)