Siasat Rusia Meningkatkan Nilai Tukar Rubel Terhadap USD, Sulit Ditiru Indonesia
loading...
A
A
A
JAKARTA - Rusia telah membuktikan dirinya sebagai negara pemilik ketahanan ekonomi yang kuat di tengah sanksi yang diberikan oleh Uni Eropa dan Amerika Serikat .
Pada Juni kemarin, rubel mencapai 52,3 terhadap dolar yang merupakan level terkuatnya sejak Mei 2015. Hal itu jauh dari penurunan angka rubel yang sempat menjadi 139 terhadap dolar pada awal Maret.
Baca juga : Serang Ukraina, Ekonomi Rusia Bakal Masuk Jurang Resesi
Pada akhir Februari, menyusul kejatuhan awal rubel dan empat hari setelah invasi ke Ukraina dimulai pada 24 Februari, Rusia menggandakan suku bunga utama negara itu menjadi 20% dari sebelumnya 9,5%. Sejak itu, nilai mata uang telah meningkat ke titik yang menurunkan suku bunga tiga kali hingga mencapai 11% pada akhir Mei .
Dilansir dari bloomberg.com, peningkatan kekuatan rubel ini tampaknya didorong oleh perusahaan-perusahaan Eropa yang memenuhi permintaan Presiden Vladimir Putin agar mereka beralih membayar dalam mata uang Rusia untuk gas alam.
Menguatnya nilai tukar rubel ini membuat bank sentral Rusia mencoba untuk melemahkannya, karena dikhawatirkan akan membuat ekspor negara tersebut kurang kompetitif.
Tentunya terdapat beberapa faktor meningkatnya mata uang ini. Salah satunya adalah Rusia menjadi pengekspor gas dan minyak terbesar kedua di dunia.
Dalam 100 hari pertama perang Rusia-Ukraina, Federasi Rusia meraup pendapatan USD98 miliar dari ekspor bahan bakar fosil. Sementara itu beberapa negara Uni Eropa juga masih ketergantungan akan sumber daya mereka.
Untuk mengurangi ketergantungan ini saja diperkirakan membutuhkan waktu bertahun tahun. Bahkan pada tahun 2020 blok tersebut mengandalkan Rusia untuk 41% dari impor gasnya dan 36% dari impor minyaknya.
Selain itu Rusia juga memberlakukan kontrol modal yang ketat atau pembatasan mata uang asing. Sanksi ini juga membuat Moskow tak dapat mengimpor lebih banyak sehingga hanya menghabiskan sedikit uangnya.
Kemudian karena Rusia sekarang telah terputus dari sistem perbankan internasional SWIFT dan diblokir dari perdagangan internasional dalam dolar dan euro, pada dasarnya mereka dibiarkan berdagang dengan dirinya sendiri.
Namun apakah kebijakan ini dapat diberlakukan di Indonesia? Pada dasarnya kebijakan ini sangatlah sulit untuk diterapkan di tanah air.
Menganut kebijakan ini justru dapat memperburuk kondisi ekonomi di Indonesia. Kenaikan suku bunga ini mungkin dapat membuat nilai tukar mata uang menguat namun ada harga yang musti dibayar setelahnya.
Baca juga : Ekonomi Rusia Mulai Retak, Begini Proyeksi Para Ekonom
Pertumbuhan ekonomi nantinya akan terhambat, dampak terburuknya adalah resesi. Karena saat suku bunga naik, suku bunga pinjaman juga ikut naik. Inilah yang akan menghambat ekspansi dunia usaha.
Begitu juga terkait konsumsi masyarakat yang telah menjadi penopang perekonomian. Sehingga menerapkan kebijakan ini justru akan menyulitkan Indonesia sendiri.
Mengingat masih banyaknya masyarakat yang lebih menyukai produk luar. Bahkan produk luar di Indonesia telah menjadi komoditas utama.
Selain itu mengenai kekuatan rubel dapat dipertahankan? Tentunya hal ini sangat tidak pasti dan tergantung pada bagaimana geopolitik berkembang dan kebijakan yang menyesuaikan.
Pada Juni kemarin, rubel mencapai 52,3 terhadap dolar yang merupakan level terkuatnya sejak Mei 2015. Hal itu jauh dari penurunan angka rubel yang sempat menjadi 139 terhadap dolar pada awal Maret.
Baca juga : Serang Ukraina, Ekonomi Rusia Bakal Masuk Jurang Resesi
Pada akhir Februari, menyusul kejatuhan awal rubel dan empat hari setelah invasi ke Ukraina dimulai pada 24 Februari, Rusia menggandakan suku bunga utama negara itu menjadi 20% dari sebelumnya 9,5%. Sejak itu, nilai mata uang telah meningkat ke titik yang menurunkan suku bunga tiga kali hingga mencapai 11% pada akhir Mei .
Dilansir dari bloomberg.com, peningkatan kekuatan rubel ini tampaknya didorong oleh perusahaan-perusahaan Eropa yang memenuhi permintaan Presiden Vladimir Putin agar mereka beralih membayar dalam mata uang Rusia untuk gas alam.
Menguatnya nilai tukar rubel ini membuat bank sentral Rusia mencoba untuk melemahkannya, karena dikhawatirkan akan membuat ekspor negara tersebut kurang kompetitif.
Tentunya terdapat beberapa faktor meningkatnya mata uang ini. Salah satunya adalah Rusia menjadi pengekspor gas dan minyak terbesar kedua di dunia.
Dalam 100 hari pertama perang Rusia-Ukraina, Federasi Rusia meraup pendapatan USD98 miliar dari ekspor bahan bakar fosil. Sementara itu beberapa negara Uni Eropa juga masih ketergantungan akan sumber daya mereka.
Untuk mengurangi ketergantungan ini saja diperkirakan membutuhkan waktu bertahun tahun. Bahkan pada tahun 2020 blok tersebut mengandalkan Rusia untuk 41% dari impor gasnya dan 36% dari impor minyaknya.
Selain itu Rusia juga memberlakukan kontrol modal yang ketat atau pembatasan mata uang asing. Sanksi ini juga membuat Moskow tak dapat mengimpor lebih banyak sehingga hanya menghabiskan sedikit uangnya.
Kemudian karena Rusia sekarang telah terputus dari sistem perbankan internasional SWIFT dan diblokir dari perdagangan internasional dalam dolar dan euro, pada dasarnya mereka dibiarkan berdagang dengan dirinya sendiri.
Namun apakah kebijakan ini dapat diberlakukan di Indonesia? Pada dasarnya kebijakan ini sangatlah sulit untuk diterapkan di tanah air.
Menganut kebijakan ini justru dapat memperburuk kondisi ekonomi di Indonesia. Kenaikan suku bunga ini mungkin dapat membuat nilai tukar mata uang menguat namun ada harga yang musti dibayar setelahnya.
Baca juga : Ekonomi Rusia Mulai Retak, Begini Proyeksi Para Ekonom
Pertumbuhan ekonomi nantinya akan terhambat, dampak terburuknya adalah resesi. Karena saat suku bunga naik, suku bunga pinjaman juga ikut naik. Inilah yang akan menghambat ekspansi dunia usaha.
Begitu juga terkait konsumsi masyarakat yang telah menjadi penopang perekonomian. Sehingga menerapkan kebijakan ini justru akan menyulitkan Indonesia sendiri.
Mengingat masih banyaknya masyarakat yang lebih menyukai produk luar. Bahkan produk luar di Indonesia telah menjadi komoditas utama.
Selain itu mengenai kekuatan rubel dapat dipertahankan? Tentunya hal ini sangat tidak pasti dan tergantung pada bagaimana geopolitik berkembang dan kebijakan yang menyesuaikan.
(bim)