Surplus Neraca Dagang Bukan Berarti Ekonomi Baik, Ini Saran CIPS
loading...
A
A
A
JAKARTA - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan Indonesia pada September 2022 mengalami surplus USD4,99 miliar, dengan nilai ekspor sebesar USD24,8 miliar.
Meski begitu, peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Hasran menegaskan bahwa surplus neraca perdagangan bukanlah ukuran performa ekonomi sedang berjalan baik. Menurut dia, harus dilihat secara detil pada ekspor-impor setiap komoditas.
"Pemerintah perlu mengutamakan perdagangan terbuka atau open trade dengan tidak melupakan kepentingan kelancaran rantai pasok dalam negeri yang dapat mendukung perekonomian di daerah," kata dia dalam keterangannya, Rabu (19/10/2022).
Hasran menuturkan, kerja sama perdagangan perlu diperluas, dengan tidak hanya menyasar negara-negara tujuan tradisional, seperti Amerika Serikat (AS), China dan Jepang, tetapi juga ke negara-negara non-tradisional seperti Pakistan, Palestina, Chili dan Mozambique.
Ketika perdagangan dengan negara-negara tradisional dilakukan dalam skema perjanjian perdagangan bebas atau Free Trade Agreement (FTA), maka Indonesia juga perlu melakukan hal yang sama dengan negara-negara non-tradisional.
FTA ini akan menghilangkan tarif dan mengurangi hambatan non-tarif yang selama ini membuat produk-produk Indonesia sulit bersaing di pasar non-tradisional.
"Selain itu, perjanjian dagang juga dapat membuat akses bahan baku menjadi lebih murah dan lancar, sesuatu yang akan sangat membantu memberikan nilai tambah pada produk Indonesia," tandasnya.
Lebih lanjut dia mengemukakan, kinerja perdagangan Indonesia sangat bergantung pada kondisi global. Fluktuasi harga komoditas ekspor utama Indonesia sangat tergantung pada kondisi ini dan hal ini menyebabkan nilai ekspor Indonesia mengalami kenaikan walaupun secara volume mengalami stagnansi.
"Diperkirakan kenaikan ekspor ini akan berakhir ketika harga-harga komoditas ini kembali ke titik normal," tukasnya.
Meski begitu, peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Hasran menegaskan bahwa surplus neraca perdagangan bukanlah ukuran performa ekonomi sedang berjalan baik. Menurut dia, harus dilihat secara detil pada ekspor-impor setiap komoditas.
"Pemerintah perlu mengutamakan perdagangan terbuka atau open trade dengan tidak melupakan kepentingan kelancaran rantai pasok dalam negeri yang dapat mendukung perekonomian di daerah," kata dia dalam keterangannya, Rabu (19/10/2022).
Hasran menuturkan, kerja sama perdagangan perlu diperluas, dengan tidak hanya menyasar negara-negara tujuan tradisional, seperti Amerika Serikat (AS), China dan Jepang, tetapi juga ke negara-negara non-tradisional seperti Pakistan, Palestina, Chili dan Mozambique.
Ketika perdagangan dengan negara-negara tradisional dilakukan dalam skema perjanjian perdagangan bebas atau Free Trade Agreement (FTA), maka Indonesia juga perlu melakukan hal yang sama dengan negara-negara non-tradisional.
FTA ini akan menghilangkan tarif dan mengurangi hambatan non-tarif yang selama ini membuat produk-produk Indonesia sulit bersaing di pasar non-tradisional.
"Selain itu, perjanjian dagang juga dapat membuat akses bahan baku menjadi lebih murah dan lancar, sesuatu yang akan sangat membantu memberikan nilai tambah pada produk Indonesia," tandasnya.
Lebih lanjut dia mengemukakan, kinerja perdagangan Indonesia sangat bergantung pada kondisi global. Fluktuasi harga komoditas ekspor utama Indonesia sangat tergantung pada kondisi ini dan hal ini menyebabkan nilai ekspor Indonesia mengalami kenaikan walaupun secara volume mengalami stagnansi.
"Diperkirakan kenaikan ekspor ini akan berakhir ketika harga-harga komoditas ini kembali ke titik normal," tukasnya.