Meredam Fenomena Resign Massal, Simak Tips Mempertahankan Karyawan Jempolan

Kamis, 27 Oktober 2022 - 10:57 WIB
loading...
Meredam Fenomena Resign...
Perusahaan disarankan menyusun benefit baru yang dapat memotivasi karyawan. Ilustrasi foto/Dok SINDOnews/Yorri Farli
A A A
JAKARTA - Pandemi Covid-19 menyebabkan perubahan dalam banyak hal termasuk kebiasaan orang dalam bekerja. Saat akhir pandemi mulai terasa dan segala sesuatu berangsur normal, banyak orang yang lantas berfikir ulang atas karier, kondisi kerja, dan tujuan jangka panjang mereka.

Dunia kerja pun lantas dihebohkan dengan fenomena gelombang pekerja yang mengundurkan diri dari pekerjaannya secara besar-besaran atau dikenal dengan great resignation.

Tak hanya itu, muncul fenomena quiet quitting, di mana pekerja tidak sepenuhnya berhenti dari pekerjaan tapi bekerja hanya untuk memenuhi standar minimal saja.

Di Amerika Serikat (AS) , Departemen Tenaga Kerja mencatat, ada 11,5 juta pekerja yang berhenti dari pekerjaannya selama periode April-Juni 2021.

Sedangkan di Inggris, pada Agustus 2021 lalu, jumlah lowongan kerja melampaui satu juta pekerjaan, mengindikasikan banyaknya pekerja di perusahaan yang resign.

Sementara itu, berdasarkan survei firma konsultasi SDM Mercer terhadap 30.000 orang dari 31 negara, tahun ini ada 41% karyawan berniat mengundurkan diri.

Menilik survei terbaru Grant Thornton LLP dengan total 5000 responden pekerja profesional di AS dari berbagai industri dan demografi, terkuak beberapa faktor utama yang menjadi pertimbangan karyawan untuk meninggalkan perusahaan.

Faktor tersebut utamanya adalah kenaikan gaji pokok yang tidak memenuhi ekspektasi (37%) dan tidak adanya perkembangan karier yang jelas di perusahaan (27%).

Selain itu, benefit perusahaan di luar asuransi kesehatan dan pensiun yang tidak memenuhi ekspektasi (18%) dan perusahaan yang mulai menerapkan kebijakan Work From Office (WFO) setelah pandemi (16%).



Jika merujuk survei “The Great Resignation Reality Check” oleh Robert Walters, fenomena resign massal tidak terlalu masif di Asia Tenggara termasuk Indonesia.

Sebagai catatan, survei tersebut dilakukan terhadap 2.600 lebih tenaga kerja profesional dari 1.100 lebih perusahaan di enam negara.

Hasil survei menyebutkan bahwa para tenaga kerja profesional terbukti dapat lebih menghargai stabilitas pekerjaan terutama di era pandemi yang penuh ketidakpastian.



Adapun di Indonesia, sebanyak 77% tenaga kerja profesional masih mempertimbangkan untuk mengundurkan diri, sedangkan 45% lainnya belum ingin melakukannya.

Beberapa alasannya antara lain belum adanya pekerjaan yang cocok (56%), kurangnya peluang pekerjaan di bidang yang mereka tekuni (23%), dan kekhawatiran akan keamanan status pekerjaan di perusahaan baru (21%).

Meskipun fenomena resign massal tak terjadi di Indonesia, dengan dinamika yang terjadi saat ini, perusahaan harus tetap mengantisipasi.



Human Capital Director Grant Thornton Indonesia Emme Tarigan mengatakan, human capital sebagai salah satu pilar dalam perusahaan harus menginisiasi strategi program retensi layanan sebagai upaya untuk meredam dampak fenomena great resignation.

“Sehingga, walaupun fenomena tersebut terjadi di Indonesia, perusahaan dapat bertahan dan karyawan sudah memiliki engagement yang tinggi,” ujarnya melalui siaran pers, dikutip Kamis (27/10/2022).

Upaya meningkatkan keterikatan karyawan atau employee engagement guna mempertahankan karyawan sangatlah penting, terlebih lagi karyawan berkinerja cemerlang sebagai aset berharga bagi perusahaan.

Berdasarkan Grant Thornton “HR Leaders” survey 2022, terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan perusahaan lakukan untuk mempertahankan talenta-talenta terbaik yang dimiliki.

Seiring perkembangan zaman, teknologi digital juga mengalami perubahan. Mengingat saat ini pandemi belum sepenuhnya berlalu, perusahaan bisa mempertimbangkan implementasi kebijakan tempat kerja hybrid (daring dan luring) jika hal tersebut diinginkan oleh karyawan.

Menurut Emme, perusahaan dituntut untuk bisa mengimplementasikan hybrid working dengan bijak guna mempertahankan kualitas kerja karyawan serta mengedepankan hal-hal yang penting di mata karyawan, namun tetap seimbang dengan kelangsungan bisnis.

“Salah satu bentuk kebijakan yang dapat dilakukan agar perusahaan tetap beradaptasi dengan perkembangan zaman adalah bagaimana membentuk alur kerja yang efektif dengan dukungan alat dan sistem kerja yang relevan sehingga kualitas atau output kerja dapat lebih maksimal dengan usaha kerja yang efisien,” bebernya.



Selain itu, perusahaan juga disarankan menyusun benefit baru yang dapat memotivasi karyawan terutama dari sisi emosional, finansial, fisik, profesional dan kesejahteraan sosial.

Cara lainnya adalah dengan mengenali potensi gejala penyebab stres pada karyawan seperti work-life balance maupun kesehatan mental serta mampu menawarkan solusi bagi karyawan.

“Hal tersebut akan mendongkrak work-life balance karyawan, menghindari burnout, serta secara tidak langsung meningkatkan kepuasan dan engagement karyawan terhadap perusahaan,” pungkas Emme.
(ind)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2240 seconds (0.1#10.140)