Tipe Masyarakat Ini Sering Terjebak Pinjaman Online Bodong
loading...
A
A
A
JAKARTA - Maraknya korban yang terjebak dalam praktik pinjaman online bodong, sejalan dengan perilaku masyarakat dan lemahnya peran pemerintah. Perencana Keuangan Tejasari Asad mengakui ada cukup banyak kliennya yang mengadu telah terjerumus dalam praktik pinjaman online.
Dengan bercerita mereka bermimpi bisa menemukan jalan keluar yang seketika. Dalam beberapa kasus kliennya dia menyebut ada yang mengoleksi hingga 50 aplikasi pinjaman online di smartphonenya. Ini sebagai gambaran kasus pinjamannya sudah menggurita di mana-mana.
"Ada yang sampai mengaku pinjam dari 50 aplikasi. Banyak juga aplikasi ilegal, tapi mereka tidak peduli. Saya yakin ini hanya puncak gunung es, sebatas yang mau diskusi. Tapi yang diam pasti lebih besar jumlahnya," ujar Tejasari saat dihubungi di Jakarta, Selasa (7/7/2020).
( )
Menurut analisa sederhananya, ada berbagai tipe masyarakat yang menggunakan pinjaman online bodong. Beberapa yang berkonsultasi ada yang terpaksa karena harus membiayai orang tua, saudara, dan keluarganya sendiri. Mereka sering disebut sebagai sandwich generation.
Namun ada juga yang menganggap pinjaman online sebagai rezeki dan bisa dipakai tanpa peduli risiko di belakangnya. "Ada yang santai saja. Mereka merasa berhak dapat uang tersebut. Tidak sedikit mereka kalangan mampu atau level menengah atas. Gajinya Rp10 juta ke atas. Seharusnya mereka sudah berkecukupan, ternyata tidak," ujarnya.
Dia mengkhawatirkan semakin banyak juga orang yang beritikad buruk dan sekedar memanfaatkan peluang pinjaman online bodong. Mereka paham batasan penyedia ilegal tersebut dan mencoba mengambil untung. Biasanya mereka sengaja menyiapkan smartphone khusus untuk meminjam melalui aplikasi.
"Mereka tutup mata saja karena yakin bisa lolos dari kejaran debt collector. Biasanya mereka baru selamat bila OJK menutup aplikasi tersebut. Tapi kebiasaan seperti itu sudah menjadi kecanduan dan sulit dihilangkan," ujarnya.
( )
Dalam beberapa kasus kliennya dia menemukan pasangan yang sampai berpisah. Pihak istri yang terjebak pinjaman dalam jumlah besar baru mengaku belakangan ke suaminya saat sudah genting. Namun juga tidak sedikit yang nyaris bercerai karena tidak terbuka dalam urusan keuangan.
"Banyak yang mulai mencoba meminjam karena gaya hidup yang salah. Itu sangat keliru karena meminjam tujuannya konsumtif dan bunganya juga sangat tinggi. Tidak benar seperti itu," ungkapnya.
Dalam kasus pinjaman online, dirinya tidak akan pernah memberikan saran tersebut kepada yang awam. Terlebih bagi klien yang punya hobi belanja. Kerap kali orang akan menjadi candu setelah pertama merasakan. Bagi yang sudah terjebak, dia akan menyarankan untuk menyelesaikan secepatnya.
"Bila sudah sangat besar jumlahnya sebaiknya cari penyelesaian dengan sumber dana dari pihak keluarga. Itu salah satu opsi terbaik. Bila belum pernah, jangan sekalipun mencoba," terangnya.
Penasihat Keuangan Eko Endarto juga menilai ada beberapa tipe masyarakat yang meminjam pada pinjaman online bodong. Menurutnya ada beberapa kemungkinan; pertama karena tidak mengetahui dan kurang informasi, kedua sangat butuh dan aksesnya terbatas selain kepada pinjaman online.
Tapi juga ada untuk beberapa orang yang menganggap ini sebagai hal yang tidak masalah. Karena baginya teror hanya via online dan tidak akan sampai ke ranah hukum. "Buat yang seperti ini tipe orang yang suka spekulasi dan memang sudah biasa. Mungkin sebelumnya sudah pernah bermasalah dengan kartu kredit atau leasing. Jadi kalau dengan fintech pun juga tidak ada masalah buat mereka," ujar Eko menambahkan.
Pengamat IT Heru Sutadi menilai sebenarnya pada satu sisi pinjaman online membantu masyarakat yang membutuhkan dana segar. Aksesnya lebih mudah dan mengikuti perkembangan digitalisasi keuangan. Namun kendalanya pengaturan dan pengawasan OJK dan Kementerian Kominfo belum optimal sehingga banyak terjadi masalah.
"Hendaknya masyarakat menggunakan layanan fintech yang resmi terdaftar di OJK. Lalu sebelum meminjam perlu tahu syarat dan ketentuan berlaku agar tidak dirugikan di kemudian hari," ujar Heru.
Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi menilai dalam masalah pinjaman online sangat sulit mengandalkan kesadaran masyarakat akan tumbuh dengan cepat. Menurutnya literasi digital masyarakat masih sangat lemah sehingga belum sadar untuk melakukan klarifikasi produk-produk digital.
"Seharusnya lebih fokus pada pada penegakan hukum. Selama ini penegakan hukum secara preventif masih lemah. Sulit mengandalkan masyarakat karena kurangnya literasi digital. Jadi yang lebih efektif adalah penegakan hukum secara masif," ujar Tulus.
Dengan bercerita mereka bermimpi bisa menemukan jalan keluar yang seketika. Dalam beberapa kasus kliennya dia menyebut ada yang mengoleksi hingga 50 aplikasi pinjaman online di smartphonenya. Ini sebagai gambaran kasus pinjamannya sudah menggurita di mana-mana.
"Ada yang sampai mengaku pinjam dari 50 aplikasi. Banyak juga aplikasi ilegal, tapi mereka tidak peduli. Saya yakin ini hanya puncak gunung es, sebatas yang mau diskusi. Tapi yang diam pasti lebih besar jumlahnya," ujar Tejasari saat dihubungi di Jakarta, Selasa (7/7/2020).
( )
Menurut analisa sederhananya, ada berbagai tipe masyarakat yang menggunakan pinjaman online bodong. Beberapa yang berkonsultasi ada yang terpaksa karena harus membiayai orang tua, saudara, dan keluarganya sendiri. Mereka sering disebut sebagai sandwich generation.
Namun ada juga yang menganggap pinjaman online sebagai rezeki dan bisa dipakai tanpa peduli risiko di belakangnya. "Ada yang santai saja. Mereka merasa berhak dapat uang tersebut. Tidak sedikit mereka kalangan mampu atau level menengah atas. Gajinya Rp10 juta ke atas. Seharusnya mereka sudah berkecukupan, ternyata tidak," ujarnya.
Dia mengkhawatirkan semakin banyak juga orang yang beritikad buruk dan sekedar memanfaatkan peluang pinjaman online bodong. Mereka paham batasan penyedia ilegal tersebut dan mencoba mengambil untung. Biasanya mereka sengaja menyiapkan smartphone khusus untuk meminjam melalui aplikasi.
"Mereka tutup mata saja karena yakin bisa lolos dari kejaran debt collector. Biasanya mereka baru selamat bila OJK menutup aplikasi tersebut. Tapi kebiasaan seperti itu sudah menjadi kecanduan dan sulit dihilangkan," ujarnya.
( )
Dalam beberapa kasus kliennya dia menemukan pasangan yang sampai berpisah. Pihak istri yang terjebak pinjaman dalam jumlah besar baru mengaku belakangan ke suaminya saat sudah genting. Namun juga tidak sedikit yang nyaris bercerai karena tidak terbuka dalam urusan keuangan.
"Banyak yang mulai mencoba meminjam karena gaya hidup yang salah. Itu sangat keliru karena meminjam tujuannya konsumtif dan bunganya juga sangat tinggi. Tidak benar seperti itu," ungkapnya.
Dalam kasus pinjaman online, dirinya tidak akan pernah memberikan saran tersebut kepada yang awam. Terlebih bagi klien yang punya hobi belanja. Kerap kali orang akan menjadi candu setelah pertama merasakan. Bagi yang sudah terjebak, dia akan menyarankan untuk menyelesaikan secepatnya.
"Bila sudah sangat besar jumlahnya sebaiknya cari penyelesaian dengan sumber dana dari pihak keluarga. Itu salah satu opsi terbaik. Bila belum pernah, jangan sekalipun mencoba," terangnya.
Penasihat Keuangan Eko Endarto juga menilai ada beberapa tipe masyarakat yang meminjam pada pinjaman online bodong. Menurutnya ada beberapa kemungkinan; pertama karena tidak mengetahui dan kurang informasi, kedua sangat butuh dan aksesnya terbatas selain kepada pinjaman online.
Tapi juga ada untuk beberapa orang yang menganggap ini sebagai hal yang tidak masalah. Karena baginya teror hanya via online dan tidak akan sampai ke ranah hukum. "Buat yang seperti ini tipe orang yang suka spekulasi dan memang sudah biasa. Mungkin sebelumnya sudah pernah bermasalah dengan kartu kredit atau leasing. Jadi kalau dengan fintech pun juga tidak ada masalah buat mereka," ujar Eko menambahkan.
Pengamat IT Heru Sutadi menilai sebenarnya pada satu sisi pinjaman online membantu masyarakat yang membutuhkan dana segar. Aksesnya lebih mudah dan mengikuti perkembangan digitalisasi keuangan. Namun kendalanya pengaturan dan pengawasan OJK dan Kementerian Kominfo belum optimal sehingga banyak terjadi masalah.
"Hendaknya masyarakat menggunakan layanan fintech yang resmi terdaftar di OJK. Lalu sebelum meminjam perlu tahu syarat dan ketentuan berlaku agar tidak dirugikan di kemudian hari," ujar Heru.
Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi menilai dalam masalah pinjaman online sangat sulit mengandalkan kesadaran masyarakat akan tumbuh dengan cepat. Menurutnya literasi digital masyarakat masih sangat lemah sehingga belum sadar untuk melakukan klarifikasi produk-produk digital.
"Seharusnya lebih fokus pada pada penegakan hukum. Selama ini penegakan hukum secara preventif masih lemah. Sulit mengandalkan masyarakat karena kurangnya literasi digital. Jadi yang lebih efektif adalah penegakan hukum secara masif," ujar Tulus.
(akr)