Covid di China Membandel, Harga Minyak Dunia Longsor 1%
loading...
A
A
A
JAKARTA - Harga minyak mentah global turun lebih dari USD1 per hari setelah otoritas China akhir pekan lalu menegaskan kembali komitmen mereka terhadap kebijakan pengetatan mobilitas untuk menahan laju Covid-19. Kebijakan tersebut membebani permintaan bahan bakar di China, yang notabene merupakan salah satu importir minyak terbesar dunia.
Data perdagangan menunjukkan minyak Brent di Intercontinental Exchange (ICE) untuk kontrak Januari 2023 anjlok 1,17% di level USD97,42 per barel. Sedangkan minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) di New York Mercantile Exchange (NYMEX) untuk pengiriman Januari turun 1,38% sebesar USD90,19 per barel.
"Harga minyak turun tajam karena pejabat China berjanji untuk tetap berpegang pada kebijakan nol COVID sementara kasus yang terinfeksi naik di China, yang dapat menyebabkan lebih banyak pembatasan, dan menggelapkan prospek permintaan," kata analis CMC Markets Tina Teng, dilansir Reuters, Senin (7/11/2022).
Selain China, Tina mengamati lonjakan dolar AS juga membebani harga minyak. Diketahui pada Jumat pekan lalu, para pejabat bank sentral Amerika Serikat/Federal Reserve dalam pernyataannya mengindikasikan akan mempertimbangkan kembali kenaikan suku bunga mereka pada pertemuan selanjutnya.
Sebelumnya Brent dan WTI menguat pada minggu lalu, masing-masing naik 2,9% dan 5,4%, karena desas-desus tentang kemungkinan berakhirnya lockdown Covid yang ketat, yang pada akhirnya mendongkrak bursa saham dan harga komoditas China. Namun, pada konferensi pers Sabtu kemarin (5/11), pejabat kesehatan China mengatakan mereka akan bertahan dengan pendekatan antisipatif terkait kasus baru. Data perdagangan China pada Senin (7/11) dapat menunjukkan penurunan lebih lanjut terhadap ekspor karena permintaan global terus melemah.
"Pasar masih menghadapi tanda-tanda melemahnya permintaan minyak dari harga yang sudah tinggi dan latar belakang ekonomi yang lemah di sejumlah pasar negara maju," kata analis ANZ dalam sebuah catatan, menambahkan permintaan di Eropa dan Amerika Serikat telah turun kembali ke level tahun 2019.
Satu hal yang mengimbangi penurunan harga datang dari ekspektasi pasokan yang lebih ketat karena embargo Uni Eropa terhadap ekspor minyak mentah Rusia akan mulai berlaku pada 5 Desember, sementara kilang di seluruh dunia telah beranjak untuk meningkatkan produksi mereka demi mengantisipasi kelangkaan pasokan.
Seperti misalnya, pabrik penyulingan minyak di AS pada kuartal ini telah menjalankan pabrik mereka pada kapasitas yang cukup tinggi di atas 90% dari total kapasitas, sementara pengilangan swasta terbesar di China, Zhejiang Petroleum and Chemical Co (ZPC) dikabarkan juga meningkatkan produksi.
Data perdagangan menunjukkan minyak Brent di Intercontinental Exchange (ICE) untuk kontrak Januari 2023 anjlok 1,17% di level USD97,42 per barel. Sedangkan minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) di New York Mercantile Exchange (NYMEX) untuk pengiriman Januari turun 1,38% sebesar USD90,19 per barel.
"Harga minyak turun tajam karena pejabat China berjanji untuk tetap berpegang pada kebijakan nol COVID sementara kasus yang terinfeksi naik di China, yang dapat menyebabkan lebih banyak pembatasan, dan menggelapkan prospek permintaan," kata analis CMC Markets Tina Teng, dilansir Reuters, Senin (7/11/2022).
Selain China, Tina mengamati lonjakan dolar AS juga membebani harga minyak. Diketahui pada Jumat pekan lalu, para pejabat bank sentral Amerika Serikat/Federal Reserve dalam pernyataannya mengindikasikan akan mempertimbangkan kembali kenaikan suku bunga mereka pada pertemuan selanjutnya.
Sebelumnya Brent dan WTI menguat pada minggu lalu, masing-masing naik 2,9% dan 5,4%, karena desas-desus tentang kemungkinan berakhirnya lockdown Covid yang ketat, yang pada akhirnya mendongkrak bursa saham dan harga komoditas China. Namun, pada konferensi pers Sabtu kemarin (5/11), pejabat kesehatan China mengatakan mereka akan bertahan dengan pendekatan antisipatif terkait kasus baru. Data perdagangan China pada Senin (7/11) dapat menunjukkan penurunan lebih lanjut terhadap ekspor karena permintaan global terus melemah.
"Pasar masih menghadapi tanda-tanda melemahnya permintaan minyak dari harga yang sudah tinggi dan latar belakang ekonomi yang lemah di sejumlah pasar negara maju," kata analis ANZ dalam sebuah catatan, menambahkan permintaan di Eropa dan Amerika Serikat telah turun kembali ke level tahun 2019.
Satu hal yang mengimbangi penurunan harga datang dari ekspektasi pasokan yang lebih ketat karena embargo Uni Eropa terhadap ekspor minyak mentah Rusia akan mulai berlaku pada 5 Desember, sementara kilang di seluruh dunia telah beranjak untuk meningkatkan produksi mereka demi mengantisipasi kelangkaan pasokan.
Seperti misalnya, pabrik penyulingan minyak di AS pada kuartal ini telah menjalankan pabrik mereka pada kapasitas yang cukup tinggi di atas 90% dari total kapasitas, sementara pengilangan swasta terbesar di China, Zhejiang Petroleum and Chemical Co (ZPC) dikabarkan juga meningkatkan produksi.
(nng)