#IBF2020: The Inside Story
loading...
A
A
A
AWALNYA saya tak ingin membeberkan cerita ini karena merupakan bagian dari “rahasia dapur”. Namun, karena begitu banyak pelajaran berharga di dalamnya, tak ada salahnya berbagi. Kata anaknya, “Sharing is caring.”
Ceritanya mengenai Indonesia Brand Forum #IBF2020 yang rampung saya gelar minggu lalu, 30 Juni–2 Juli 2020. Pandemi telah membangkitkan sense of crisis dan memberanikan saya mengubah format #IBF2020 dari seminar di hotel menjadi web conference dalam waktu supersingkat.
Ada 5 pelajaran berharga dari event akbar yang untuk ke-4 kalinya saya gelar ini. Berikut pelajaran-pelajarannya.
#1. The Magic of Digital
#IBF2020 terselenggara dalam waktu supersingkat hanya dalam waktu 1 bulan sejak pertama kali mendapatkan ide hingga event terselenggara. Padahal, tiga kali penyelenggaraan IBF sebelumnya praktis saya membutuhkan persiapan setahun full. Wow, dari setahun menjadi hanya sebulan? Itulah keajaiban digital.
Untuk menggelar event seminar besar dengan puluhan pembicara dan 1.000 lebih peserta tentu tak mudah. Rentetan aktivitas harus disiapkan, mulai riset untuk menentukan tema, menetapkan line-up pembicara, hingga mendapatkan konfirmasi kesediaan, booking tempat setidaknya setahun sebelumnya, memilih dan menetapkan EO, promosi event untuk menarik peserta, dan tentu penggalangan sponsor. (Baca: Digital Marketing Cara Ampuh Hadapi Kebuntuan di Era Pandemi)
Dengan diubah ke format web conference, maka aktivitas seperti menyiapkan makanan, venue, panggung, sound system/lighting, hingga transportasi yang sebelumnya sangat merepotkan dan menguras sebagian besar biaya event, bisa dihapuskan. Dengan begitu, event menjadi mudah, murah, dan efisien.
Keajaiban digital inilah yang menjadikan saya punya nyali untuk mempersiapkannya hanya dalam waktu sebulan.
#2. An Offer Customers Can’t Refuse
Keajaiban digital juga memungkinkan terciptanya “an offer customers can’t refuse“: tawaran yang tidak mungkin ditolak konsumen. Yaitu tawaran yang “more for less“: konsumen dapat superbanyak, tapi bayar supersedikit.
Coba bandingkan, rata-rata tarif webinar saat ini sekitar Rp100–300.000 dengan 1–2 pembicara dan waktu webinar rata-rata 2–3 jam. #IBF2020 menawarkan tiket terendah Rp150.000 (termahal Rp400.000 dengan fasilitas video dokumentasi) dengan lebih dari 40 pembicara (sebagian besar founder, CEO, BOD), 35 sesi, selama 3 hari full dari pukul 08.00 hingga 18.00.
Inilah “tawaran yang tidak bisa ditolak konsumen” karena memberikan more benefit dengan less cost. Itu semua dimungkinkan karena sebagian besar komponen biaya dihapuskan karena adanya keajaiban digital.
Tak hanya itu, karena web conference tak mengenal “kapasitas tempat duduk”, maka berapa pun jumlah peserta bakal bisa ditampung tanpa ada tambahan biaya (near-zero marginal cost). Kalau demikian keadaannya, kenapa tidak kita “bermain volume”? Artinya, menurunkan harga untuk menggaet peserta sebanyak mungkin.
#3. It’s Blue Ocean
Barangkali Anda bertanya, kenapa saya berani menggelar webinar sebesar #IBF2020 ketika kini webinar bisa begitu mudah dan murah dilakukan oleh setiap orang dan digelar secara gratis.
Memang betul, dengan adanya pandemi, di mana kita dipaksa mengikuti seminar secara daring, maka industri seminar mengalami “komoditisasi” karena semua orang kini bisa dengan mudah membuat webinar dan menawarkannya secara gratis. Logikanya, konsumen akan bilang: “kenapa harus bayar, kalau ada banyak yang lain gratis”. (Baca juga: AS Puji Respons Indonesia Terkait Pengungsi Rohingya)
Namun logika itu tak sepenuhnya benar. #IBF2020 diikuti sekitar 1.200 peserta secara daring dan semuanya bayar. Kenapa mereka mau bayar, ketika begitu banyak webinar gratis bertebaran? Kuncinya ada di kurasi.
Ada begitu banyak webinar digelar, namun tak banyak yang bisa seperti #IBF2020 di mana 40 lebih pembicara dijalin melalui sebuah conceptual framework yang sistematik, runut, dan solid dalam satu tema besar “Rebound, Reboot, Reborn after Pandemic“. Pembicara satu dengan pembicara lain, sesi satu dengan sesi lain, nyambung rapi dan kait-mengait satu sama lain membentuk benang merah dalam kerangka tema besar di atas.
Kurasi memungkinkan #IBF2020 bermain di ladang blue ocean ketika industri webinar terjebak dalam perangkap komoditisasi.
#4. Handling Angry Customers
Pelajaran paling tough dari #IBF2020 adalah pelajaran crisis management dan handling angry customers.
Tak ada gading yang tak retak. #IBF2020 pun tak sepenuhnya berjalan lancar. Justru di titik kritis pada saat sesi pembukaan (“it’s the first impression”), event mengalami kendala teknis gambar video dan suara yang tidak jelas. Sumbernya adalah crash antara platform Streamyard (back-end) dengan Zoom (front-end). Sontak ini memicu kemarahan peserta. Memang saya marah habis-habisan ke EO, tapi sesungguhnya saya memakluminya. Ya, karena ini memang ekspertis baru, belum genap tiga bulan terbentuk industrinya.
Sampai selesai semua sesi hari pertama petang, kami belum menemukan solusinya. Namun, “langkah penyelamatan” harus cepat diambil, yaitu meredam kemarahan peserta. Maka tanpa pikir panjang, petang itu juga saya putuskan untuk mengganti sesi-sesi yang terkendala dalam bentuk webinar series setelah #IBF2020 berakhir. Petang itu juga kami melayangkan surat permohonan maaf dan mengumumkan program penggantinya via email dan WhatsApp. (Baca juga: Banyak Lembaga Pendidikan Gulung Tikar, Pemerintah Diminta Turun Tangan)
Ingat, ketika konsumen sudah marah, maka hal pertama dan cepat harus dilakukan adalah meminta maaf dan mengompensasi kemarahan tersebut.
Alhamdulillah, kemarahan mereda dan malam itu juga kami bersama tim digital EO menemukan solusi, yaitu memindahkan platform front-end dari Zoom ke YouTube. Dan berkat pertolongan Tuhan, dua hari berikutnya event berjalan lancar praktis tanpa komplain.
#5. It’s about Momentum
Di atas itu semua, pelajaran terbesar #IBF2020 adalah tentang keberanian memanfaatkan momentum, yaitu menjadi yang pertama.
Ingat, dalam marketing, menjadi yang pertama adalah segalanya. Saya sering memberikan contoh, kita semua tahu siapa orang pertama yang mendarat di bulan (Neil Armstrong), namun kita tak tahu siapa yang kedua, ketiga, atau kelima. (Lihat videonya: Kapal Tak Bisa Sandar, Sapi Dilempar ke Laut)
Ketika dunia berubah 180 derajat karena Covid-19; ketika semua pemain takut, galau, dan wait & see; maka begitu banyak peluang bagi kita untuk menjadi yang pertama. Karena itu, ketika kelahiran industri web conference belum genap tiga bulan, saya berani memosisikan #IBF2020 sebagai “The first and most comprehensive branding web conference in Indonesia”.
Di tengah krisis pandemi, speed dan agility memanfaatkan momentum adalah faktor kunci kemenangan.
Ceritanya mengenai Indonesia Brand Forum #IBF2020 yang rampung saya gelar minggu lalu, 30 Juni–2 Juli 2020. Pandemi telah membangkitkan sense of crisis dan memberanikan saya mengubah format #IBF2020 dari seminar di hotel menjadi web conference dalam waktu supersingkat.
Ada 5 pelajaran berharga dari event akbar yang untuk ke-4 kalinya saya gelar ini. Berikut pelajaran-pelajarannya.
#1. The Magic of Digital
#IBF2020 terselenggara dalam waktu supersingkat hanya dalam waktu 1 bulan sejak pertama kali mendapatkan ide hingga event terselenggara. Padahal, tiga kali penyelenggaraan IBF sebelumnya praktis saya membutuhkan persiapan setahun full. Wow, dari setahun menjadi hanya sebulan? Itulah keajaiban digital.
Untuk menggelar event seminar besar dengan puluhan pembicara dan 1.000 lebih peserta tentu tak mudah. Rentetan aktivitas harus disiapkan, mulai riset untuk menentukan tema, menetapkan line-up pembicara, hingga mendapatkan konfirmasi kesediaan, booking tempat setidaknya setahun sebelumnya, memilih dan menetapkan EO, promosi event untuk menarik peserta, dan tentu penggalangan sponsor. (Baca: Digital Marketing Cara Ampuh Hadapi Kebuntuan di Era Pandemi)
Dengan diubah ke format web conference, maka aktivitas seperti menyiapkan makanan, venue, panggung, sound system/lighting, hingga transportasi yang sebelumnya sangat merepotkan dan menguras sebagian besar biaya event, bisa dihapuskan. Dengan begitu, event menjadi mudah, murah, dan efisien.
Keajaiban digital inilah yang menjadikan saya punya nyali untuk mempersiapkannya hanya dalam waktu sebulan.
#2. An Offer Customers Can’t Refuse
Keajaiban digital juga memungkinkan terciptanya “an offer customers can’t refuse“: tawaran yang tidak mungkin ditolak konsumen. Yaitu tawaran yang “more for less“: konsumen dapat superbanyak, tapi bayar supersedikit.
Coba bandingkan, rata-rata tarif webinar saat ini sekitar Rp100–300.000 dengan 1–2 pembicara dan waktu webinar rata-rata 2–3 jam. #IBF2020 menawarkan tiket terendah Rp150.000 (termahal Rp400.000 dengan fasilitas video dokumentasi) dengan lebih dari 40 pembicara (sebagian besar founder, CEO, BOD), 35 sesi, selama 3 hari full dari pukul 08.00 hingga 18.00.
Inilah “tawaran yang tidak bisa ditolak konsumen” karena memberikan more benefit dengan less cost. Itu semua dimungkinkan karena sebagian besar komponen biaya dihapuskan karena adanya keajaiban digital.
Tak hanya itu, karena web conference tak mengenal “kapasitas tempat duduk”, maka berapa pun jumlah peserta bakal bisa ditampung tanpa ada tambahan biaya (near-zero marginal cost). Kalau demikian keadaannya, kenapa tidak kita “bermain volume”? Artinya, menurunkan harga untuk menggaet peserta sebanyak mungkin.
#3. It’s Blue Ocean
Barangkali Anda bertanya, kenapa saya berani menggelar webinar sebesar #IBF2020 ketika kini webinar bisa begitu mudah dan murah dilakukan oleh setiap orang dan digelar secara gratis.
Memang betul, dengan adanya pandemi, di mana kita dipaksa mengikuti seminar secara daring, maka industri seminar mengalami “komoditisasi” karena semua orang kini bisa dengan mudah membuat webinar dan menawarkannya secara gratis. Logikanya, konsumen akan bilang: “kenapa harus bayar, kalau ada banyak yang lain gratis”. (Baca juga: AS Puji Respons Indonesia Terkait Pengungsi Rohingya)
Namun logika itu tak sepenuhnya benar. #IBF2020 diikuti sekitar 1.200 peserta secara daring dan semuanya bayar. Kenapa mereka mau bayar, ketika begitu banyak webinar gratis bertebaran? Kuncinya ada di kurasi.
Ada begitu banyak webinar digelar, namun tak banyak yang bisa seperti #IBF2020 di mana 40 lebih pembicara dijalin melalui sebuah conceptual framework yang sistematik, runut, dan solid dalam satu tema besar “Rebound, Reboot, Reborn after Pandemic“. Pembicara satu dengan pembicara lain, sesi satu dengan sesi lain, nyambung rapi dan kait-mengait satu sama lain membentuk benang merah dalam kerangka tema besar di atas.
Kurasi memungkinkan #IBF2020 bermain di ladang blue ocean ketika industri webinar terjebak dalam perangkap komoditisasi.
#4. Handling Angry Customers
Pelajaran paling tough dari #IBF2020 adalah pelajaran crisis management dan handling angry customers.
Tak ada gading yang tak retak. #IBF2020 pun tak sepenuhnya berjalan lancar. Justru di titik kritis pada saat sesi pembukaan (“it’s the first impression”), event mengalami kendala teknis gambar video dan suara yang tidak jelas. Sumbernya adalah crash antara platform Streamyard (back-end) dengan Zoom (front-end). Sontak ini memicu kemarahan peserta. Memang saya marah habis-habisan ke EO, tapi sesungguhnya saya memakluminya. Ya, karena ini memang ekspertis baru, belum genap tiga bulan terbentuk industrinya.
Sampai selesai semua sesi hari pertama petang, kami belum menemukan solusinya. Namun, “langkah penyelamatan” harus cepat diambil, yaitu meredam kemarahan peserta. Maka tanpa pikir panjang, petang itu juga saya putuskan untuk mengganti sesi-sesi yang terkendala dalam bentuk webinar series setelah #IBF2020 berakhir. Petang itu juga kami melayangkan surat permohonan maaf dan mengumumkan program penggantinya via email dan WhatsApp. (Baca juga: Banyak Lembaga Pendidikan Gulung Tikar, Pemerintah Diminta Turun Tangan)
Ingat, ketika konsumen sudah marah, maka hal pertama dan cepat harus dilakukan adalah meminta maaf dan mengompensasi kemarahan tersebut.
Alhamdulillah, kemarahan mereda dan malam itu juga kami bersama tim digital EO menemukan solusi, yaitu memindahkan platform front-end dari Zoom ke YouTube. Dan berkat pertolongan Tuhan, dua hari berikutnya event berjalan lancar praktis tanpa komplain.
#5. It’s about Momentum
Di atas itu semua, pelajaran terbesar #IBF2020 adalah tentang keberanian memanfaatkan momentum, yaitu menjadi yang pertama.
Ingat, dalam marketing, menjadi yang pertama adalah segalanya. Saya sering memberikan contoh, kita semua tahu siapa orang pertama yang mendarat di bulan (Neil Armstrong), namun kita tak tahu siapa yang kedua, ketiga, atau kelima. (Lihat videonya: Kapal Tak Bisa Sandar, Sapi Dilempar ke Laut)
Ketika dunia berubah 180 derajat karena Covid-19; ketika semua pemain takut, galau, dan wait & see; maka begitu banyak peluang bagi kita untuk menjadi yang pertama. Karena itu, ketika kelahiran industri web conference belum genap tiga bulan, saya berani memosisikan #IBF2020 sebagai “The first and most comprehensive branding web conference in Indonesia”.
Di tengah krisis pandemi, speed dan agility memanfaatkan momentum adalah faktor kunci kemenangan.
(ysw)