Pengusaha Ungkap Sederet Tantangan Ekonomi RI di 2023, Apa Saja?
loading...
A
A
A
JAKARTA - Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) membeberkan sejumlah kondisi yang menjadi tantangan ekonomi Indonesia pada 2023. Hal ini perlu diwaspadai serta disikapi dengan kehati-hatian dan kebijakan yang tepat.
Menurut Apindo, terdapat dua hal yang perlu dicermati, baik dari sisi pemerintah maupun dunia usaha dan masyarakat. "Dari sisi pemerintah, ada 2 hal yang perlu dimitigasi dengan baik. Pertama adalah kondisi ruang fiskal yang terbatas untuk bisa mengagregasi pertumbuhan ekonomi," ujar Ketua Komite Analis Kebijakan Ekonomi Apindo Ajib Hamdani di Jakarta, Kamis (29/12/2022).
Dia menyebut, pemerintah sudah tidak bisa menggunakan instrumen Undang-undang Nomor 2 tahun 2020 tentang Sistem Stabilitas Keuangan Menghadapi Pandemi, sehingga pemerintah harus kembali menyusun struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) maksimal defisit 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB). "Pemerintah harus lebih prudent dalam mengalokasikan belanja dan jeli membuat target penerimaan negara," ungkapnya.
Kedua, Ajib mengingatkan bahwa pemerintah harus hati-hati mengelola kondisi sosial masyarakat karena tahun 2023 sudah mulai berjalan agenda politik. Sehingga, dibutuhkan stabilitas sosial maupun politik yang menjadi prasyarat agar investasi bisa mengalir dengan lancar.
Dia menilai target investasi tahun 2023 sebesar Rp1.400 triliun adalah target yang cukup menantang ketika Indonesia memasuki tahapan politik menjelang pemilihan legislatif (pileg) dan pemilihan presiden (pilpres).
Sementara itu dari sisi dunia usaha dan masyarakat, setidaknya ada 4 hal yang perlu dimitigasi dengan baik agar ekonomi bisa berjalan baik di tahun 2023 nanti.
Pertama, adanya pelemahan daya beli masyarakat. Hingga Desember 2022 ini, kata Ajib, pemerintah masih bisa mengintervensi dan menjaga daya beli masyarakat melalui program Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang dialokasikan melalui APBN.
Program ini cenderung tidak bisa dilanjutkan oleh pemerintah, sehingga akan membuat kontraksi dalam kemampuan daya beli masyarakat.
"Padahal daya beli inilah yang menjadi kekuatan konsumsi masyarakat, dan yang menjadi penopang signifikan PDB Indonesia," tuturnya.
Kedua, potensi kenaikan inflasi dibanding kondisi tahun 2022. Inflasi ini secara substantif mengurangi kesejahteraan masyarakat. Ketiga, pengangguran yang jumlahnya akan semakin naik. Keempat, kenaikan suku bunga yang cukup tinggi sebagai akibat kenaikan suku bunga acuan yang dilakukan oleh Bank Indonesia (BI).
"Dari sisi produksi, akan mengatrol cost of fund yang menjadi bagian penting Harga Pokok Penjualan (HPP). Sedangkan dari sisi masyarakat, akan menambah beban untuk kredit konsumsi," pungkasnya.
Menurut Apindo, terdapat dua hal yang perlu dicermati, baik dari sisi pemerintah maupun dunia usaha dan masyarakat. "Dari sisi pemerintah, ada 2 hal yang perlu dimitigasi dengan baik. Pertama adalah kondisi ruang fiskal yang terbatas untuk bisa mengagregasi pertumbuhan ekonomi," ujar Ketua Komite Analis Kebijakan Ekonomi Apindo Ajib Hamdani di Jakarta, Kamis (29/12/2022).
Dia menyebut, pemerintah sudah tidak bisa menggunakan instrumen Undang-undang Nomor 2 tahun 2020 tentang Sistem Stabilitas Keuangan Menghadapi Pandemi, sehingga pemerintah harus kembali menyusun struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) maksimal defisit 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB). "Pemerintah harus lebih prudent dalam mengalokasikan belanja dan jeli membuat target penerimaan negara," ungkapnya.
Kedua, Ajib mengingatkan bahwa pemerintah harus hati-hati mengelola kondisi sosial masyarakat karena tahun 2023 sudah mulai berjalan agenda politik. Sehingga, dibutuhkan stabilitas sosial maupun politik yang menjadi prasyarat agar investasi bisa mengalir dengan lancar.
Dia menilai target investasi tahun 2023 sebesar Rp1.400 triliun adalah target yang cukup menantang ketika Indonesia memasuki tahapan politik menjelang pemilihan legislatif (pileg) dan pemilihan presiden (pilpres).
Sementara itu dari sisi dunia usaha dan masyarakat, setidaknya ada 4 hal yang perlu dimitigasi dengan baik agar ekonomi bisa berjalan baik di tahun 2023 nanti.
Pertama, adanya pelemahan daya beli masyarakat. Hingga Desember 2022 ini, kata Ajib, pemerintah masih bisa mengintervensi dan menjaga daya beli masyarakat melalui program Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang dialokasikan melalui APBN.
Program ini cenderung tidak bisa dilanjutkan oleh pemerintah, sehingga akan membuat kontraksi dalam kemampuan daya beli masyarakat.
"Padahal daya beli inilah yang menjadi kekuatan konsumsi masyarakat, dan yang menjadi penopang signifikan PDB Indonesia," tuturnya.
Kedua, potensi kenaikan inflasi dibanding kondisi tahun 2022. Inflasi ini secara substantif mengurangi kesejahteraan masyarakat. Ketiga, pengangguran yang jumlahnya akan semakin naik. Keempat, kenaikan suku bunga yang cukup tinggi sebagai akibat kenaikan suku bunga acuan yang dilakukan oleh Bank Indonesia (BI).
"Dari sisi produksi, akan mengatrol cost of fund yang menjadi bagian penting Harga Pokok Penjualan (HPP). Sedangkan dari sisi masyarakat, akan menambah beban untuk kredit konsumsi," pungkasnya.
(ind)