Ketakutan Inflasi Tinggi Masih Akan Membayangi Tahun Baru 2023

Sabtu, 31 Desember 2022 - 15:42 WIB
loading...
Ketakutan Inflasi Tinggi...
Hampir setiap negara di dunia telah bergulat dengan melonjaknya harga-harga pada tahun 2022. Apa yang membuat 2022 begitu tidak biasa? dan bagaimana proyeksinya tahun depan. Foto/Ilustrasi
A A A
JAKARTA - Hampir setiap negara di dunia telah bergulat dengan melonjaknya harga -harga pada tahun 2022. Pada akhir 2019, Presiden Federal Reserve Bank of New York, John Williams sempat mengatakan bahwa inflasi yang rendah menjadi masalah pada era sekarang ini.



Namun sejak saat itu inflasi terus melesat naik, dan masalah yang terjadi justru sebaliknya. Puncak inflasi tinggi terjadi pada tahun 2022, dan sepertinya harus dibayar mahal oleh pertumbuhan ekonomi .

Apa yang membuat 2022 begitu tidak biasa adalah meluasnya tekanan harga. Tingkat inflasi global hingga akhir tahun ini berada pada kisaran level 9%.



Bagi banyak negara berkembang, inflasi tinggi menjadi tantangan yang kembali berulang. Tetapi terakhir kali inflasi sangat tinggi terjadi di negara-negara kaya adalah pada awal 1980-an.

Di Amerika harga konsumen berada dalam jalur kenaikan sekitar 7% pada tahun 2022, atau menjadi yang tertinggi dalam empat dekade. Di Jerman bahkan mendekati 10%, serangan inflasi dua digit pertamanya sejak 1951.

Faktor umum yang mendorong kenaikan inflasi di mana-mana adalah melonjaknya biaya bahan bakar dan harga makanan. Kecenderungan kenaikan untuk banyak barang konsumsi sudah terlihat sejak awal tahun 2022 sebagai dampak Pandemi Covid-19 berkepanjangan kepada rantai pasokan.

Pecahnya perang Rusia Ukraina pada Februari, membuat tekanan semakin berat. Harga minyak naik sepertiga karena negara-negara Barat menjatuhkan sanksi terhadap Rusia, sebagai produsen minyak mentah utama.

Harga pangan juga ikut melonjak, didorong oleh biaya pupuk dan logistik imbas blokade Rusia terhadap ekspor biji-bijian dari Ukraina yang merupakan produsen gandum utama. Dalam istilah ekonomi, ini merupakan kejutan pasokan klasik.

Kenaikan harga secara mendadak untuk komoditas utama dengan cepat berdampak ke dalam kehidupan sehari-hari bagi warga dunia. Di Eropa dengan ketergantungan mereka terhadap gas Rusia, jutaan orang berjuang untuk membeli pemanas musim dingin ini.

Di semua wilayah, makanan dan bahan bakar menyumbang rata-rata lebih dari setengah inflasi pada tahun 2022. Jika inflasi hanya fenomena dari sisi pasokan, itu akan cukup menyakitkan.

Tetapi perkembangan yang paling mengkhawatirkan bagi para bankir sentral adalah bahwa tekanan merembes ke dalam komponen "inti" dari indeks harga — yaitu, barang dan jasa selain makanan dan energi yang mudah menguap.

Kenaikan harga inti merupakan indikasi bahwa inflasi menjadi momentum tersendiri. Pada gilirannya, menunjuk ke penyebab di luar kejutan harga minyak.

Banyak pasar tenaga kerja di banyak negara menjadi sangat ketat, sebagian merupakan hasil dari gelombang pensiun dini selama covid. Akibatnya perusahaan membayar upah yang lebih tinggi untuk menarik pekerja, menambah dorongan inflasi.

Kondisi di Amerika, dimana kenaikan inflasi inti sangat curam yang menjadi penyebab tambahannya adalah stimulus yang berlebihan — baik oleh pemerintah maupun Fed — pada puncak covid.

Sementara itu ekonomi besar dengan inflasi terendah adalah China. Strategi "nol-covid" mendorong pengeluaran jauh di bawah tren pra-pandemi.

Hampir di mana-mana ada kecemasan bahwa kenaikan harga akan mengatur ulang ekspektasi inflasi masyarakat, yang membuat mereka menuntut gaji yang lebih tinggi. Dikenal sebagai spiral harga dan upah, dinamika seperti itu akan membuat inflasi jauh lebih sulit untuk diberantas.

Ancaman dinamika saja sudah cukup untuk menggerakkan bank sentral agar bertindak. The Fed menjadi yang paling agresif, menaikkan suku bunga dari nol pada bulan Maret menjadi lebih dari 4% hari ini, untuk menjadi pengetatan moneter tertajamnya dalam empat dekade. Bank-bank sentral di seluruh dunia dari Stockholm hingga Sydney mengikuti jejaknya.

Salah satu cara untuk melihat prospek inflasi tahun 2023 adalah sebagai duel antara rebound supply dan penurunan permintaan. Tahun depan diyakini menjanjikan, dimana beberapa faktor yang memicu inflasi di awal tahun 2022 sudah mulai memudar.

Harga barang-barang konsumsi telah menurun karena rantai pasokan berangsur kembali normal. Harga minyak telah jatuh kembali ke level setahun yang lalu.

Kebijakan moneter yang lebih ketat dengan menekan permintaan juga mulai terjadi. Sektor yang paling sensitif terhadap suku bunga terpukul keras seperti pasar properti dengan minim transaksi.

Jika pemulihan pasokan terjadi cukup besar dan cepat, bank sentral mungkin dapat menghentikan pengetatan sebelum memicu resesi yang dalam.

Tetapi pada titik ini tampaknya lebih mungkin bahwa mereka akan memberikan dampak nyata pada ekonomi global. Pada tahun 2023 kekhawatiran inflasi dapat memicu kecemasan lain seperti pengangguran.

(akr)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1795 seconds (0.1#10.140)